Indonesia perlu pusat kesenian. Itu jelas, jika dipahami bahwa selayaknya suatu negara berbudaya memiliki setidaknya satu kompleks pusat kesenian berskala nasional bahkan internasional.
Oleh
Ashadi Siregar
·4 menit baca
Dengan menyandang sebutan daerah khusus ibu kota (DKI), kendati dikepalai gubernur, Jakarta tak sekadar wilayah provinsi. Selaku ibu kota negara tentu membawa konsekuensi yang berimbas ke antero negeri, melampaui lingkup kota metropolitan itu. Karena itu, dimensi kegiatan yang berlangsung layak jadi perhatian se-Nusantara.
Jadi, kalau ada penduduk setempat berseru agar orang di luar Jakarta tak usah usil mengomentari apa yang terjadi di sini, agaknya tidak menghayati atribut keibukotaan negara. Atau boleh pula lebih dipersempit, yang bukan turunan (genetik?) Betawi tidak berhak membahas Jakarta?
Di Jakarta ada kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM). Secara pribadi, penulis terkait erat sejak awal keberadaannya. Di tempat ini berlangsung pergaulan intens antarseniman dari banyak daerah.
Dewan Kesenian Djakarta pada masa itu di satu sisi sadar atas peran menjadikan TIM sebagai inkubator kesenian, dan di sisi lain sebagai counter-part, bukan bawahan Pemda DKI. Akademi Djakarta selaku institusi intelektual bagi pusat kesenian ini ditempatkan pada level nasional. Seiring pula dengan sikap gubernur selaku pemrakarsa.
Kompleks bangunan di sini pernah jadi sentrum bagi kiprah kesenian seniman-seniman se-Nusantara, tak sebatas seniman Betawi ataupun lokal Jakarta. Boleh dibilang segenap seniman Indonesia pernah bersentuhan dengan TIM. Betul, tempat ini dilekati nama seorang berasal-usul Betawi, tapi dari awal kesenimanannya dikenal sebagai komponis lagu dengan syair berbahasa Indonesia. Tak ada yang mengaitkannya dengan seni daerah tertentu.
Kalau kebijakan gubernur sekarang menarik TIM ke ranah lokalitas Jakarta, tentu sesuai kewenangannya. Apalagi jika langkah pembiayaan renovasi dan operasional dipandang dengan dimensi ekonomi, parameternya sudah semestinya memperhitungkan return of investment dan profit. Sebagai pemimpin yang muncul dari zaman now, dapat dimaklumi manakala tak mau menoleh ke masa lalu, saat TIM diresmikan 10 November 1968.
Sebagai pemimpin yang muncul dari zaman now, dapat dimaklumi manakala tak mau menoleh ke masa lalu, saat TIM diresmikan 10 November 1968.
Seniman yang pernah terkait erat dari awal dengan sentrum kesenian ini jumlahnya sudah langka, lainnya kebanyakan sudah mendahului ke alam keabadian. Maka yang tersisa hanya teriakan dari seniman sebagai gaung masa lalu.
Mengenang kejayaan TIM tak terlepas dari Gubernur Ali Sadikin. Gagasan seniman dapat ditangkap dengan cerdas dan diimplementasikan sebagai kebijakan. Ternyata seorang militer lebih spesifik marinir memiliki kepekaan intuitif untuk memahami tentang arti penting ekspresi kesenian dalam konteks kreativitas.
Beberapa kali memang terjadi ketegangan antara kebebasan untuk kreativitas seniman dan standar normatif sang gubernur. Namun, dengan dialog, kekuasaan dapat cair, dan pada rentang kepemimpinannya, TIM bak suaka bagi kreativitas seniman.
Sekarang, Jakarta biarlah dikelola dengan lingkup lokal dan orientasi kapitalisasi termasuk dalam pengelolaan TIM. Karena itu, jangan berharap lagi pada TIM dengan dinamika yang mendenyutkan kreativitas ke seluruh Indonesia. TIM dapat menjadi kompleks gedung untuk penampilan dan pertunjukan kesenian dalam kerangka komersial. Siapa sanggup bayar sewa, silakan pakai. Jangan menuntut lebih dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun, Indonesia perlu pusat kesenian. Itu jelas, jika dipahami bahwa selayaknya suatu negara berbudaya memiliki setidaknya satu pusat kesenian berskala nasional bahkan internasional. Menempatkannya di level lokal dan beban anggaran daerah, memerlukan kehadiran kepala daerah visioner kaliber Ali Sadikin agar dapat jadi kontribusi bagi kehidupan bangsa. Jika yang ada hanya gubernur dengan visi lokal, jangan berharap lebih.
Namun, Indonesia perlu pusat kesenian. Itu jelas, jika dipahami bahwa selayaknya suatu negara berbudaya memiliki setidaknya satu pusat kesenian berskala nasional bahkan internasional.
Kesenian harkat bangsa
Masalahnya bersumber dari cara pandang tentang kebudayaan. Karya seni sebagai produk kebudayaan dapat dilihat sebagai puncak substansial dari kehidupan manusia.
Sebagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dapat menjadi cerminan dari puncak kebudayaan, seni pun dapat mengangkat harkat dari bangsa suatu negeri. Iptek berdampak pada rasionalitas dan kehidupan empiris, sedangkan seni pada penghayatan rasa dan kehidupan humaniora.
Karena itu, dorongan bagi proses kreatif berkesenian selayaknya menjadi perhatian bersama. Untuk itu lebih sesuai menunggu kebijakan pada level pusat. Akan tetapi, adakah pertanda bahwa pemerintah punya perhatian untuk bidang ini?
Selama ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sibuk dengan urusan pengajaran sebagai bagian pendidikan, terutama dalam penataan enrolment dan ujian nasional siswa. Sementara bidang kebudayaan oleh kementerian dijalankan dengan batas anggaran demi jalannya birokrasi. Padahal, kesenian sebagai kristalisasi kebudayaan memerlukan dorongan dari negara dengan politik kebudayaan yang multidimensional.
Padahal, kesenian sebagai kristalisasi kebudayaan memerlukan dorongan dari negara dengan politik kebudayaan yang multidimensional.
Pemerintah akan membangun kompleks riset dan inovasi di areal ibu kota negara baru (Kompas, 3/12/2019). Memang sebagai inkubator iptek, kompleks semacam ini sangat layak diadakan pada level negara. Bersamaan dengan itu, kalangan yang menyadari nilai humaniora hendaknya perlu menitipkan harapan besar tentang arti penting pusat kesenian yang dapat gerakkan denyut kreativitas.
Kerja membangun ibu kota negara baru tidak pelak untuk infrastruktur dan sarana fisik sebagai smart city dan smart office yang kondusif bagi kreativitas SDM, termasuk aparatur sipil negara kelak. Begitu pula kompleks iptek di ibu kota negara baru optimistis terwujud dengan kerja, kerja, kerja bak ”Bandung Bondowoso”-nya Presiden Jokowi.
Pada sisi lain kehadiran kompleks pusat kesenian berskala negara sudah mendesak dan dapat dikerjakan di mana saja. Artinya tak perlu menunggu pemindahan ibu kota negara.
Pemerintah dapat menempatkan pembangunan pusat kesenian sebagai proyek nasional, bukan sebatas program reguler kementerian, berlokasi entah di daerah mana saja. Dengan begitu dari pemerintahannya, Presiden Jokowi nanti memberi legacy sebuah kompleks pusat kesenian bagi rakyat Indonesia. Apakah utopia?