Seiring kemajuan teknologi, kini beredar robot seks dengan kecerdasan buatan. Bentuknya menyerupai perempuan dan menyasar konsumen lelaki. Namun, alat ini tetaplah mesin dan rentan memicu kerusakan psikologis.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Pemanfaatan robot dengan kecerdasan buatan kini makin luas, termasuk untuk memuaskan hasrat seksual. Kini, robot seks yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan sudah tersedia di pasaran. Namun, para ahli mengingatkan, kehadiran robot seks itu mengancam kondisi psikologis serta moral individu dan masyarakat.
Sejumlah peneliti Amerika Serikat dalam pertemuan tahunan Perhimpunan untuk Kemajuan Sains Amerika (American Association for the Advancement Science) di Seattle, Amerika Serikat (AS), Sabtu (15/2/2020), mengingatkan bahaya robot seks tersebut. Robot seks adalah bentuk lebih maju dari boneka seks karena dilengkapi dengan kecerdasan buatan.
Disematkannya kecerdasan buatan membuat robot ini memiliki ekspresi. Beberapa robot dirancang untuk memprotes sehingga bisa diprogram untuk skenario aktivitas seksual dengan pemerkosaan. Robot itu bisa dimanfaatkan oleh mereka yang menginginkan hubungan seksual dengan kekerasan.
Sejumlah robot juga dirancang dengan wajah anak-anak. Robot model ini diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan hubungan seksual dengan anak atau paedofil. Menurut produsen robot ini di Jepang, penggunaan robot ini diharapkan bisa menghindarkan paedofil dari melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak di dunia nyata.
Christine Hendren dari Universitas Duke, Durham, AS, mengatakan, taruhan dari penggunaan robot seks sangat tinggi. ”Penggunaan robot seks itu seperti menormalkan dan memberi kesempatan seseorang untuk mempraktikkan perilaku (seksual) yang seharusnya justru mendapat penanganan,” ujarnya.
Robot seks yang diproduksi di sejumlah negara itu kini bisa ditemukan di pasaran. Mereka umumnya dijual secara daring (dalam jaringan) atau online. Salah satunya produsennya adalah Realrobitix yang berbasis di AS dan menjual robot seks dengan nama Harmony.
Robot seks Harmony itu berupa boneka seukuran manusia yang dapat berkedip, menggerakkan mata, leher, hingga bibirnya saat mereka berbicara. Kepala robot seks ini bisa dicopot untuk diletakkan pada bentuk tubuh yang berbeda. Robot ini juga bisa berbicara dengan akses Skotlandia untuk menggoda pemiliknya.
Di pasaran, robot ini dijual 8.000-10.000 dollar AS atau antara Rp 109 juta dan Rp 137 juta dengan kurs Rp 13.700 per dollar AS.
”Harmony memiliki kecerdasan buatan yang memungkinkan robot seks itu mengembangkan hubungan dengan pemiliknya,” kata Pendiri dan Pemimpin Eksekutif Tertinggi (CEO) Realrobitix Matt McMullen kepada BBC, Sabtu. Robot ini bisa mengingatkan sesuatu hal pada pemiliknya, tahu kesukaan, apa yang dibenci, hingga pengalaman sang tuan.
Robot seks itu selama ini lolos dari perhatian dan pengawasan karena lembaga pemerintah dan akademik terlalu malu untuk menyelidikinya. Membicarakan robot seks, termasuk boneka seks yang sudah ada lebih dulu, masih ditabukan. Karena itu, sejumlah ilmuwan mengingatkan pentingnya pengaturan untuk penggunaan robot seks tersebut akibat dampaknya yang luar biasa.
Produsen robot seks itu umumnya menyasar orang-orang yang di dunia nyata tidak memiliki atau kesulitan membangun hubungan sosial yang berarti. Karena itu, mereka mengiklankan produknya dengan iming-iming agar seseorang bisa memiliki sahabat atau pasangan seksual.
Profesor Etika Budaya Robot dan Kecerdasan Buatan dari Universitas De Montfort, Leicester, Inggris, Kathleen Richardson menegaskan, pemasaran seperti itu dilarang. ”Hubungan dengan pasangan didasarkan pada keintiman, keterikatan, dan hubungan timbal balik. Hubungan seperti itu tidak dapat ditiru oleh mesin,” katanya.
Meski robot seks bisa mengerti apa yang seseorang suka dan tidak suka, dia sejatinya tetaplah mesin. Dia tidak bisa meniru manusia sama persis, apalagi menggantikan hubungan antarmanusia.
Profesor Psikologi di Universitas Negeri New York, New Paltz, AS, Glenn Geher dalam tulisannya di pscychologytoday.com, 10 Juni 2019, yang mengutip pendapat psikolog klinis dan ahli terapi seks Marianne Brandon, menyebut kemunculan robot seks bisa menjadi pertanda runtuhnya hubungan intim di dunia modern.
Kemunculan robot seks bisa menjadi pertanda runtuhnya hubungan intim di dunia modern.
Robot seks umumnya menyasar laki-laki sebagai konsumen, sama seperti pornografi yang lebih banyak menyasar kelompok ini. Kehadiran robot ini juga akan terus menurunkan keinginan manusia modern untuk membangun interaksi seksual yang berkomitmen, yang saat ini sudah makin turun.
Rendahnya hubungan berkomitmen itu bisa dilihat dari sejumlah indikator, seperti makin memudarnya lembaga perkawinan, berkurangnya frekuensi hubungan seksual, meningkatnya jumlah orang yang melajang, menurunnya tingkat kesuburan masyarakat, atau terus mundurnya usia perkawinan.
Robot seks juga bisa menurunkan kualitas hubungan yang intim. Demikian pula keinginan untuk membangun persahabatan.
Besarnya dampak robot seks itu membuat saat ini berkembang kelompok penekan yang menginginkan agar penggunaan robot seks dengan kecerdasan buatan diatur dengan ketat. Salah satunya, Campaign Against Sex Robots (CASR) atau Kampanye Melawan Robot Seks, lembaga yang didirikan di Inggris pada 2015.
Robot seks itu umumnya berupa boneka perempuan, sama seperti boneka seks sebelumnya. Kondisi itu dikhawatirkan akan terus menjadikan perempuan sebagai obyek seksual semata. ”Apakah kita akan bergerak ke masa depan yang akan menormalkan perempuan sebagai obyek seksual semata?” kata Richardson yang juga menjadi salah satu pegiat CASR.
Menurut Richardson, jika seseorang memiliki persoalan dalam membangun relasi sosial dalam kehidupan nyata, upaya yang dilakukan seharusnya justru memupuk dan membangun relasi dengan orang lain dalam hubungan nyata. Ketidakmampuan membangun relasi sosial itu tidak bisa dinormalkan hanya dengan memiliki robot, termasuk robot seks, karena robot tetaplah mesin yang belum bisa sesempurna manusia.