RUU Cipta Kerja, Target Penyelesaian 100 Hari Tak Akan Jadi Pertimbangan Utama
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan segera dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan segera dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan banyaknya hal yang harus dilakukan untuk menyusun sebuah undang-undang, target penyelesaian regulasi itu pada Mei 2020 tak akan menjadi pertimbangan utama.
Mengacu pada tenggat yang sudah ditetapkan pemerintah, RUU Cipta Kerja ditargetkan rampung pada Mei 2020, bersamaan dengan pengesahan sejumlah peraturan turunan dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Sementara itu, masih ada sejumlah pasal problematik dalam rancangan legislasi itu yang dinilai berpihak pada kepentingan investor tetapi merugikan hak-hak buruh dan mengabaikan dampak buruk terhadap lingkungan.
Dari aspek ketenagakerjaan, ada isu terkait pengurangan daya tawar buruh lewat penghapusan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selama ini memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi buruh dalam perjanjian hubungan kerja. Ada pula persoalan kesejahteraan dan daya beli buruh karena perubahan formula penghitungan upah minimum dan pesangon bisa mengurangi pendapatan rutin buruh.
RUU Cipta Kerja juga dinilai tidak memberikan perlindungan bagi pekerja lokal dalam konteks penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Draf yang disusun pemerintah justru membuat longgar aturan mengenai perizinan perekrutan tenaga kerja asing yang bisa membuat pekerja lokal sulit bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
Baca juga: Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh
RUU Cipta Kerja juga menghilangkan sejumlah ketentuan izin lingkungan untuk mempermudah izin berusaha. Perubahan ketentuan itu bisa mempersulit upaya melawan perusakan lingkungan sebagai dampak masuknya perusahaan-perusahaan besar.
Di tengah masih banyaknya isu problematik tersebut, pemerintah memasang target yang singkat, yakni 100 hari. DPR pun diharapkan bisa segera menindaklanjuti dan memulai proses pembahasan.
Baca juga: Jaga Daya Tawar Buruh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/2/2020), mengatakan, mekanisme pembahasan RUU Cipta Kerja perlu diproses sesuai undang-undang sebagaimana proses pembahasan RUU pada umumnya.
DPR diharapkan bisa menindaklanjuti dengan mengagendakan jadwal rapat Badan Musyawarah dan rapat paripurna untuk memulai proses pembahasan. Terkait alat kelengkapan Dewan yang ditugaskan membahas RUU lintas sektor itu, Airlangga menyerahkan pada forum rapat Bamus DPR untuk menentukannya.
Saat ini, ada tiga opsi yang berkembang di DPR, yakni pembahasan melalui Badan Legislasi, pembentukan Panitia Khusus, atau pembahasan diserahkan kepada komisi sesuai kluster isu masing-masing.
”Berikutnya, harus ada rapat-rapat dengar pendapat untuk mengundang dan melibatkan ahli dan pihak-pihak terkait dalam pembahasan, dilanjutkan dengan membahas daftar inventarisasi masalah dari masing-masing fraksi,” kata Airlangga.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga menyerahkan mekanisme pembahasan pada keputusan DPR.
”Baik Baleg maupun pansus memungkinkan karena anggotanya sudah terdiri atas lintas komisi. Di samping itu, kami juga akan tetap menyosialisasikan kepada komisi-komisi terkait sesuai mitra kerja pemerintah serta menyosialisasikan RUU ini ke daerah-daerah,” katanya.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang meyakini target 100 hari bisa segera dikejar. ”Saya kira kalau semua mau duduk bareng-bareng bicara, kenapa tidak? Kan kita semua unsur-unsur yang punya kewajiban dan tanggung jawab. Harus komitmen, dong,” kata Haiyani.
Tetap realistis
Meski demikian, Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR Taufik Basari mengatakan, DPR akan tetap realistis. Target waktu 100 hari yang singkat dari pemerintah atau hingga Mei 2020 tidak akan dijadikan pertimbangan utama.
Apalagi, di tengah banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan, mulai dari menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) per fraksi, rapat dengar pendapat dengan berbagai pihak yang terdampak RUU, sosialisasi ke publik, hingga proses pembahasan RUU itu sendiri.
”Kami akan coba memenuhi target yang diminta presiden, tetapi kami juga harus realistis. Jangan karena ada target waktu itu lalu kita jadi mengesampingkan kedalaman pembahasan,” kata Taufik.
Saat ini, Nasdem sedang menyiapkan tim untuk membahas RUU Cipta Lapangan Kerja dan menyusun DIM berupa tanggapan fraksi terhadap draf yang disusun pemerintah. Menurut dia, pihak buruh yang sebelumnya tidak dilibatkan dalam penyusunan draf oleh pemerintah juga akan dimintai pendapat dalam proses penyusunan DIM.
Terkait mekanisme pembahasan, Taufik berharap pembahasan RUU per kluster itu bisa disesuaikan dengan sektor komisi yang ada di DPR. Selain opsi Baleg dan pansus, ada kemungkinan RUU itu dibahas di masing-masing komisi terkait sesuai kluster isunya agar pembahasan tetap mendalam dan komprehensif. Pembahasan di tiap komisi kemudian dibahas dalam rapat-rapat gabungan lintas komisi untuk menyinkronkan hasil pembahasan per kluster isu.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dengan banyaknya pasal yang harus dibahas dan isu yang kompleks, seluruh komisi harus dilibatkan berdasarkan kluster, tidak bisa hanya dibahas di Baleg. Aspek keterbukaan yang sudah dijanjikan DPR dan pemerintah juga diharapkan tidak hanya pepesan kosong.
”Keterbukaan sangat penting mengingat DPR dikuasai partai koalisi pemerintah. Kita akan melihat langsung apakah anggota DPR konsisten berjuang untuk rakyat atau untuk ketua umum partai,” kata Timboel.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Melenceng dari Tujuan Awal
Buruh walk out
Sementara itu, serikat buruh satu per satu memilih keluar dari Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Tim bentukan pemerintah itu melibatkan asosiasi buruh dan pengusaha, tetapi baru dibentuk pemerintah satu hari sebelum menyerahkan draf ke DPR.
Ada empat tugas tim itu, yakni memetakan isu terkait substansi ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Kedua, menyiapkan bahan tanggapan pemerintah terhadap DIM dari DPR. Ketiga, menunjuk anggota dalam pembahasan RUU di DPR. Keempat, menyiapkan ahli untuk memberikan penjelasan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR.
Setelah mempelajari isi draf RUU Cipta Kerja yang disusun pemerintah secara tertutup, beberapa asosiasi buruh menilai RUU itu tidak berpihak sama sekali pada kepentingan buruh.
Sejauh ini, sudah ada tiga serikat buruh yang resmi menyatakan keluar dari tim itu, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang dipimpin Said Iqbal, Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (Kasbi) yang dipimpin Nining Elitos, dan Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi dan Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPKEP-SPSI) di bawah kepemimpinan R Abdullah.
Pada pertemuan lanjutan Tim Koordinasi, Selasa (18/2/2020) nanti, beberapa serikat pekerja lain juga akan menyampaikan penolakan.
”Kami jelas menolak, tidak ada gunanya, lebih baik kami mencari saluran lain lewat fraksi-fraksi di DPR atau komisi. Mungkin DPR bisa lebih terbuka dan lebih memahami aspirasi publik, meski kami tetap harus ulet memperjuangkan,” kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia Indra Munaswar.
Penolakan buruh semakin kuat karena ada keharusan anggota tim menandatangani surat perjanjian untuk merahasiakan pembahasan dan dokumen draf RUU. Surat ini serupa dengan yang diterapkan pada anggota Satgas perumusan RUU Cipta Kerja yang terdiri dari pengusaha dan akademisi.
”Alasannya karena draf belum terbuka untuk umum. Padahal, kami sudah dapat langsung A1 dari DPR, lengkap dengan paparan pemerintah,” katanya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dibahas secara Terbuka
Nining Elitos mengatakan, Kasbi menolak pembahasan RUU itu secara keseluruhan. ”Karena sekarang terbukti korbannya bukan hanya buruh, melainkan juga lingkungan, pers, dan lain -lain. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Jangan segala sesuatu dipaksakan instan, tetapi mengabaikan masukan publik dan aspek kemanusiaan,” katanya.
Baca juga: Mimpi Sejahtera Buruh Jakarta
Berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2019 yang dikeluarkan World Economic Forum, ada 16 faktor yang dinilai menghambat investasi di Indonesia. Faktor utama adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, kebijakan tidak stabil, instabilitas pemerintah, serta tarif pajak. Faktor etos kerja buruh, pendidikan tenaga kerja, dan peraturan tenaga kerja ada di urutan tengah ke bawah.
”Kenapa yang dikorbankan justru rakyat? Kalau masalahnya di korupsi, birokrasi, perizinan, silakan perbaiki. Kami ini tidak anti-investasi dan lapangan kerja, justru sangat mendukung. Tetapi, konsep yang dibuat pemerintah hari ini hanya sekadar membuka lapangan kerja, tetapi memperlakukan buruh dengan sewenang-wenang,” katanya.