Habitat badak terdesak akibat aktivitas perambahan dan perburuan satwa liar di hutan. Adanya gangguan manusia itu membuat badak yang mempunyai sifat penyendiri terganggu. Kondisi ini memicu badak sulit bereproduksi.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Sejumlah satwa kunci yang memiliki kawasan jelajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan hutan lindung di Provinsi Lampung semakin terdesak. Hal itu memicu konflik satwa dengan manusia. Diperlukan solusi jangka panjang dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk menangani konflik berlarut itu.
Saat ini, di kawasan TNBBS masih bisa ditemukan sekitar 38 gajah liar yang kerap keluar hingga ke perkampungan warga. Gajah-gajah liar itu terbagi dalam dua kelompok kecil. Kelompok pertama berjumlah 12 ekor yang area jelajahnya di sekitar Register 39, KPH Kota Agung Utara, Tanggamus. Kelompok kedua berjumlah 26 ekor yang area jelajahnya hingga ke Kabupaten Pesisir Barat dan Tanggamus.
Ketua Satgas Penggiringan Gajah di Pekon Tulung Asahan, Kecamatan Semaka, Tanggamus, M Yasin Irma, mengatakan, gajah sering keluar dari taman nasional, terutama saat musim panen. Warga biasanya merusak tanaman pisang, pepaya, dan padi yang ditanam warga di kawasan hutan lindung.
Dalam setahun terakhir, setidaknya sudah dilakukan 12 kali penghalauan dan penggiringan gajah liar menggunakan mercon. Warga dari sembilan desa di Kecamatan Semaka yang tergabung dalam satgas saling membantu menghalau gajah liar. ”Penggiringan gajah liar bisa bisa berlangsung berhari-hari,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Tanggamus, Jumat (14/2/2020).
Selama ini, pemerintah dan sejumlah organisasi pemerhati satwa telah memberikan pendampingan dan pelatihan pada warga untuk menghalau gajah. Namun, peralatan yang digunakan untuk menghalau gajah masih terbatas. Selain minimnya alat komunikasi, keselamatan warga juga tidak terjamin.
Pada Jumat (7/2/2020), Saridi (43), warga yang juga anggota satgas, terluka akibat diserang gajah liar saat proses penggiringan. Paha kanan Saridi robek dan harus dioperasi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Wiyogo Supriyanto mengatakan, pemerintah telah berupaya memberikan pelatihan dan pendampingan untuk memperkuat mitigasi konflik di tingkat tapak. Masyarakat yang mengelola kawasan hutan lindung melalui skema perhutanan sosial dilibatkan dalam penanganan konflik satwa dan manusia dengan tetap berbasis pada konservasi. Artinya, cara-cara untuk menghalau dan menggiring gajah dilakukan tanpa melukai satwa dilindungi tersebut.
Untuk solusi jangka panjang, Pihaknya juga mengusulkan mendirikanElephant Response Unit (ERU) seperti yang sudah ada di Taman Nasional Way Kambas. Adanya tim khusus yang membantu warga untuk menggiring gajah liar diyakini akan dapat mencegah konflik antara gajah dan manusia.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar TNBBS Heru Rudiharto menuturkan, pihaknya berupaya memasang GPS collar untuk memantau pergerakan gajah liar. Lima gajah jinak dari TNWK juga sedang dilatih menjadi gajah patroli untuk menggiring gajah liar ke dalam kawasan TNBBS.
Selain itu, pihaknya juga bekerja sama dengan lembaga pemerhati satwa dalam memberikan pendampingan pada warga yang tinggal di desa penyangga TNBBS. Salah satu desa yang telah mandiri dalam penanggulangan konflik satwa dengan manusia adalah Desa Margomulyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Desa itu menjadi satu dari 16 desa di Sumatera yang telah dinilai telah mandiri dalam penanganan konflik. Warga setempat menggunakan kawat sirene dan alat dentuman untuk menghalau gajah. Alat ini aman digunakan dan murah.
Badak
Selain gajah, satwa kunci lain yang semakin terdesak di habitatnya adalah badak sumatera. Menurut Manajer Perlindungan Wilayah Sumatera dari Yayasan Badak Indonesia Muniful Hamid, dari hasil analisis temuan tapak badak pada 2019, populasi badak sumatera di kawasan TNBBS diperkirakan 7-11 ekor. Namun, hingga saat ini, tim survei belum dapat menemukan badak melalui pantauan kamera trap atau temuan langsung.
Dia mengatakan, habitat badak terdesak akibat aktivitas perambahan dan perburuan satwa liar di dalam hutan. Adanya gangguan manusia itu membuat badak yang mempunyai sifat penyendiri terganggu. Kondisi ini memicu badak sulit bereproduksi secara alami.
Dia menambahkan, tim terakhir kali menemukan bangkai badak mati di dalam kawasan TNBBS pada 2002. Hingga kini, belum ada hasil temuan yang menunjukkan kematian badak.
Terkait hal itu, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menggagas pembentukan Suaka Rhino Sumatera di TNBBS. Muniful mengatakan, pihaknya menyambut baik gagasan itu. Namun, diperlukan kajian tentang kondisi habitat dan kondisi badak yang masih ada. Selain itu, diperlukan pula dana yang besar untuk bisa mewujudkannya.