Kompleksitas penanganan konflik manusia dan satwa membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Tanpa penanganan yang komprehensif, konflik bakal terus berulang.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Berbagai upaya mencegah konflik antara manusia dan satwa di Sumatera terus dilakukan agar kerugian dan korban bisa dihindari. Sejumlah kendala masih melingkupi sehingga berbagai upaya pencegahan konflik belum berjalan secara efektif.Seperti diberitakan sebelumnya, Kompas (17/2/2020), konflik manusia dan satwa di Sumatera kian masif akibat degradasi hutan yang menjadi habitat satwa. Konflik melibatkan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), serta badak (Dicerorhinus sumatrensis).
Ratusan konflik terjadi selama tiga tahun terakhir, dengan korban puluhan warga tewas dan terluka. Satwa yang mati mencapai puluhan. Konflik muncul karena habitat satwa terganggu oleh penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan permukiman, serta perburuan satwa.
Upaya yang sudah dilakukan untuk mencegah konflik manusia dan satwa, di antaranya dengan membuat regulasi, melakukan patroli penegakan hukum, pemberdayaan warga sekitar hutan, hingga mendorong terwujudnya kawasan ekosistem esensial atau KEE. Dalam hal regulasi, sejumlah peraturan perundang-undangan sudah memadai untuk mencegah degradasi hutan dan memberikan perlindungan terhadap satwa liar.
Di antaranya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pedoman penanggulangan konflik manusia dan satwa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut- II/2008.
Di situ ditegaskan penanganan konflik yang mengedepankan prinsip manusia dan satwa liar sama-sama penting, adanya spesifik areal, tidak mengacu pada solusi tunggal, bekerja berdasarkan skala lanskap, dan perlunya tanggung jawab multipihak. Namun, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto menyebutkan, ada beberapa kendala yang dialami pemerintah provinsi dalam menanggulangi konflik satwa.
Kendala itu, di antaranya, kapasitas aparatur sipil negara dalam penanggulangan konflik yang belum optimal, termasuk keterbatasan sumber daya manusia. Untuk itu, pihaknya terus menggandeng berbagai pihak yang mengerti soal satwa liar ini agar penanggulangan konflik lebih tepat sasaran.
Di tingkat daerah, sejumlah pemerintah daerah berinisiatif untuk mencegah konflik manusia dan satwa. Pemerintah Provinsi Aceh, misalnya, tahun lalu mengesahkan qanun atau peraturan daerah tentang pengelolaan satwa lindung. Qanun mengatur penetapan kawasan, pengelolaan, perlindungan, dan sanksi terhadap pelaku kejahatan satwa lindung.
Meski demikian, Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengakui, pembalakan liar dan perambahan hutan masih terjadi. Upaya pencegahan kerusakan hutan dilakukan melalui patroli rutin, penegakan hukum, dan mengelola hutan yang melibatkan warga.
Bahkan, Pemprov Aceh dan pemkab di Aceh juga bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melalui dukungan biaya operasional mitigasi konflik satwa, membiayai pembangunan barrier atau parit jelajah gajah, dan bantuan operasional penggiringan. ”Tahun ini kami pakai dana darurat kebencanaan untuk bangun barrier di Bener Meriah. Ini bukti kami terlibat penuh penanganan konflik satwa,” kata Daud, Senin (17/2/2020).
Di Sumsel, rumusan penanggulangan konflik manusia dan satwa ini disusun dalam Rencana Tindak Lanjut (RTL), yang dirangkum dalam beberapa poin kebijakan. Kebijakan itu meliputi penanggulangan konflik, pencegahan konflik, serta pemulihan dan perlindungan habitat satwa.
Kepala BBKSDA Sumsel Genman Suhefti Hasibuan mengatakan, dalam rumusan RTL tertuang adanya revisi Surat Keputusan Gubernur Sumsel No 233/2018 tentang Penanggulangan Konflik Satwa Liar dan Manusia. Di dalamnya diatur prosedur standar operasi (SOP) yang akan menjadi pedoman kerja bagi satuan tugas (satgas) yang telah terbentuk di setiap kabupaten dan kota.
Penegakan hukum
Patroli dan pengawasan di kawasan hutan menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum terkait pelanggaran kehutanan dan ketentuan perlindungan satwa. Namun, pelaksanaannya belum optimal. Seperti diakui Panji, pengawasan masih terkendala kurangnya sumber daya manusia. Luas kawasan hutan di Sumsel 3,46 juta hektar, sedangkan jumlah polisi hutan hanya 85 orang. Idealnya, jumlah polisi hutan 600 orang.
Kendala coba diatasi dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, salah satunya melalui perhutanan sosial. Warga diberdayakan untuk memelihara dan mengelola kawasan hutan secara lestari. Di luar persoalan menjaga kawasan hutan, ada problem perburuan satwa liar dengan motif ekonomi.
”Ada keuntungan yang diperoleh dari perburuan liar kemudian dijual kepada pasar, bahkan ada yang sampai diekspor,” kata Direktur Penegakan Hukum Pidana Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yazid Nurhuda, saat dihubungi kemarin.
Perdagangan satwa-satwa dilindungi dari hutan Sumatera terindikasi melibatkan jaringan perdagangan internasional. Satwa yang paling banyak diperdagangkan di antaranya kulit harimau sumatera, orangutan, serta beberapa jenis burung dan primata. Beberapa jaringan terungkap saat hendak menyelundupkan satwa atau bagian tubuh satwa ke luar negeri.
”Jaringan perdagangan satwa dilindungi cukup besar hingga berskala internasional. Kalau kita telusuri beberapa kasus, jumlah rupiahnya cukup menggiurkan bagi mereka,” kata Kepala Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Sumatera Eduard Hutapea.
Di sisi lain, sanksi bagi pelaku perdagangan satwa dilindungi, menurut Eduard, juga belum mendatangkan efek jera. Sebagaimana diatur dalam UU No 5/1990, hukuman maksimal adalah lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Regulasi ini perlu dievaluasi agar bisa memberikan hukuman yang lebih tinggi kepada para pelaku.
Ekosistem esensial
Upaya penanganan konflik juga dilakukan sejumlah daerah dengan mendorong penetapan kawasan ekosistem esensial (KEE). KEE merupakan hamparan saling terhubung sebagai ruang hidup satwa dilindungi. Untuk menjaga keamanan dalam ruang jelajah tersebut, dibangun pagar listrik sepanjang ratusan kilometer melintasi hutan tanaman industri, area penggunaan lain, serta hutan produksi yang kondisinya sebagian diokupasi penggarap lahan.
Sementara area yang berbatasan langsung dengan taman nasional tidak dipagari agar saling terhubung. Di area itu dimungkinkan dibangun pusat pendidikan dan konservasi satwa hingga pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Dalam jangka panjang, Pemprov Aceh dan BKSDA Aceh menyusun rencana penetapan KEE. Sepuluh calon kawasan KEE di Aceh sedang dikaji untuk menjadi koridor khusus gajah dan satwa lindung lain.
Dorongan membuat KEE juga mengemuka di Jambi. Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh mengatakan, pihaknya tengah mendorong KEE seluas 50.000-an hektar di Kabupaten Tebo guna melindungi kawanan satwa di ekosistem Bukit Tigapuluh.
”Sosialisasi sedang berjalan. Awal tahun ini ditargetkan sudah mulai pembangunan fisik,” katanya. Adapun payung hukum soal KEE masih menunggu pengesahan KLHK. Pengaturan KEE membutuhkan koordinasi pusat karena kawasan yang bersinggungan itu beralas izin pemerintah pusat. (AIN/RAM/ITA/VIO/NSA/SAH/wsi)