Bersama Kita Lindungi Anak dari Eksploitasi Seksual
›
Bersama Kita Lindungi Anak...
Iklan
Bersama Kita Lindungi Anak dari Eksploitasi Seksual
Anak-anak masih saja menjadi korban kekerasan seksual, eksploitasi, dan perdagangan. Semua pihak, terutama pemerintah dan lembaga-lembaga perlindungan anak, perlu bekerja sama melindungi anak-anak dari kejahatan itu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini masih saja terjadi berbagai praktik eksploitasi seksual dan perdagangan orang di banyak kota dan daerah. Sebagian korbannya adalah anak-anak. Untuk mengantisipasi masalah ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyerukan kepada semua jajaran pemerintah dan masyarakat hingga desa, kelurahan, bahkan kampung-kampung untuk bersama melindungi anak-anak dari kejahatan tersebut.
Gerakan melindungi harus dilakukan secara nyata, bersama, dalam bentuk kolaborasi serta sinergi antarlembaga, dan semua pemangku kebijakan. Berbagai kasus eksploitasi seksual dan perdagangan anak yang mencuat ke publik selama beberapa tahun terakhir, hingga Januari-Februari 2020, seharusnya menjadi peringatan bagi kita. Semua itu semestinya mendorong semua pihak untuk bergerak secara aktif melindungi anak-anak.
Terungkapnya praktik prostitusi di Rawa Bebek, Jakarta Utara, baru-baru ini, sangat melukai perasaan kemanusiaan karena ada sejumlah anak-anak perempuan menjadi korban.
”Di media sosial belakangan ini banyak sekali kasus yang menimpa anak-anak kita, terutama kasus eksploitasi seksual dan perdagangan orang secara online (dalam jaringan). Kita tidak bisa bekerja sendiri, kita harus bergandengan tangan, melindungi anak-anak kita,” kata I Gusti Ayu Bintang Darmawati di Jakarta, Senin (17/2/2020).
Menteri PPPA bersama pemimpin sejumlah lembaga sepakat untuk bergerak dan melawan praktik-praktik eksploitasi seksual komersial pada anak. Mereka diwakili Semuel Abrijani Pangerapan (Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kominfo), Susanto (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Arist Merdeka Sirait (Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia), Ajun Komisaris Piter Yanottama (Kepala Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya), dan Astrid Dionisio (Unicef Indonesia).
Pada kesempatan tersebut, Arist Merdeka Sirait menyatakan sangat prihatin akan maraknya kasus eksploitasi seksual dan perdagangan anak dengan berbagai modus, terutama iming-iming pekerjaan bergaji tinggi melalui aplikasi media sosial. Fakta di lapangan, anak-anak tidak hanya dieksploitasi, tetapi juga lebih mengerikan lagi karena sebagian besar anak-anak menjadi korban perbudakan.
Eksploitasi seksual anak-anak menyentuh rasa kemanusiaan karena perlakuan yang tidak diterima tidak manusia. Anak-anak dan keluarganya bahkan dijerat sehingga tersandera setelah masuk dalam lingkaran utang yang tak mungkin bisa dibayar.
”Karena itu, patut pemerintah hadir mengatasi persoalan anak-anak yang saat ini berada dalam situasi perbudakan seks. Apa yang terjadi saat ini sudah masuk dan memenuhi unsur kejahatan seksual. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan tindakan nyata, memutus mata rantai eksploitasi seksual komersial dan ekonomi terhadap anak,” kata Arist.
Piter mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir, pengungkapan kasus prostitusi di Polda Metro Jaya adalah 63 kasus (2018), 41 kasus (2018), dan 15 kasus (hingga Februari 2020). Modusnya bermacam-macam, misalnya pelaku menebar informasi terkait lowongan kerja untuk menjadi penjaga toko, atau kerja di rumah makan. Setelah itu, korban mendaftar, korban dibawa ke suatu tempat dan telepon diambil sehingga komunikasi terputus. Korban selanjutnya dieksploitasi seksual.
”Saat ini kondisinya sangat miris sekali, sangat menyedihkan, karena beberapa perkara yang kami ungkap terkait anak sebagai korban. Kami melihatnya bukan seperti biasa-biasa saja, tetapi ini seperti semacam perbudakan di zaman sekarang. Anak tidak hanya dikerjakan di tempat yang biasa, misalnya masalah kelebihan jam kerja, tetapi bagaimana anak dieksploitasi secara ekonomi dan seksual,” ujar Piter.
Dia memaparkan pengungkapan kasus prostitusi daring dengan korban anak-anak di Kafe Khayangan di Gang Royal, Jakarta Utara.
Dari pengungkapan kasus prostitusi di kafe tersebut, menurut Piter, ditemukan sejumlah fakta yang sangat memprihatikan, bagaimana anak-anak dilacurkan, tidak mendapat jaminan kesehatan, bahkan dihukum jika tidak melayani 10 tamu. Dalam dua bulan pertama bekerja, anak tidak digaji, dan pada masa menstruasi tetap bekerja dengan diberikan suntikan dan pil. ”Itu begitu miris dan sedih ketika kami ungkap ini,” paparnya.
Susanto menegaskan, isu ini tidak bisa didekati dengan pendekatan parsial, tetapi semua pihak harus terlibat mendidik, mencegah, serta berperan dalam melindungi anak. Apalagi, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi anak terus meningkat. ”Upaya ini harus terintegrasi dan harus serius,” ucap Susanto.
Hal senada disampaikan Astrid bahwa pencegahan harus dilakukan dengan melibatkan anak-anak dan orangtua itu sendiri.
Semuel menyatakan, pada era digital memang memberikan banyak kemudahan, tetapi juga banyak yang disalahgunakan. Kuncinya adalah memberikan literasi sejak dini kepada anak-anak, tidak hanya terkait penggunaan teknologi, tetapi juga terkait kesehatan reproduksi.