Cilok, jajanan jalanan yang populer di banyak kota di Tanah Air, ternyata punya ”prosedur” makan yang unik di Manado. Namun, bukan sekadar kuliner, jajanan itu juga mengakrabkan warga kota.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Langkah dara muda berambut panjang di depan warung membuyarkan lamunan, Kamis (13/2/2020) malam, di seputaran Sario, Kota Manado, Sulawesi Utara. Hati-hati ia memotong arus lalu lintas di Jalan Bethesda, lalu menghampiri gerobak pedagang cilok di seberang. Sembari bertukar canda dengan si penjual, gadis itu mengambil tusuk sate di atas gerobak, mencucukkannya ke sebutir cilok, mencelupkannya ke bumbu kacang, dan langsung melahapnya di tempat.
Didatangi sosok rupawan, si pedagang cilok semringah. Dari kejauhan, ia tampak terus menyisipkan senyum dalam cengkerama. Dan, si gadis meneruskan. Tusuk demi tusuk, celup demi celup, ke dalam wadah bumbu kacang, sebelum butiran cilok itu ia kunyah.
Ya, inilah ”prosedur” makan cilok di Manado yang berbeda dari tempat-tempat lain. Pembeli melayani diri sendiri dengan mengambil cilok yang dikehendaki dari gerobak, kemudian langsung melahapnya di tempat. Jika perut sudah kenyang, tinggal hitung-hitungan dan bayar.
Rasanya lebih nikmat kalau makan langsung di tempat.
Ketika si gadis beranjak masuk ke minimarket di belakang penjual cilok, datang dua pemuda menunggangi sebuah skuter matik. Mereka parkir di sebelah gerobak cilok, lalu langsung mengambil tusuk sate. Tanpa tedeng aling-aling, mereka mencucuk butiran cilok goreng, membenamkannya ke genangan bumbu kacang, lalu memakannya. Sesekali, cilok rebus di dalam dandang juga jadi incaran.
Mereka adalah Renaldy (21) dan Sukhit (21), mahasiswa Jurusan Teknik Komputer Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). ”Rasanya lebih nikmat kalau makan langsung di tempat. Esensi makan cilok sangat terasa, lebih menghayati,” kata Renaldy.
Sukhit menambahkan, makan terasa lebih penuh gairah di depan gerobak di tepi jalan. Kalau langsung dari gerobak, cilok dan tahu masih hangat. ”Kadang-kadang saya bungkus untuk dibawa pulang. Tetap enak, tetapi sensasinya beda saja,” katanya.
Cilok, jajanan jalanan khas Jawa Barat, telah lama jadi favorit di mana-mana, termasuk di Manado. Namun, memperlakukan gerobak cilok seperti meja makan sendiri tidak umum di beberapa kota di Jawa, seperti Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta.
Biasanya orang akan minta cilok dibungkus dalam plastik karena akan dimakan di tempat lain sambil melakukan aktivitas lain. Meskipun akan dimakan di tempat, cilok tetap dibungkus plastik.
Tak demikian halnya di Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Di jalan mana pun, siang atau malam, gerobak cilok akan dikerumuni para penggemarnya, yang ingin menyantapnya langsung dari dandang atau wadah di atas gerobak.
Di mana-mana, langsung makan dari gerobaknya.
Renaldy dan Sukhit yang lahir dan besar di Manado tak bisa mencari penjelasan yang kuat, mengapa gaya jajan cilok seperti itu yang berlaku di kota mereka. Sejak masa SD, begitulah cara makan cilok yang selalu mereka lihat di muka gerbang sekolah. Kebiasaan itu akhirnya mereka tiru dan bawa, tak pernah berubah hingga beranjak dewasa.
”Bagaimana kang? Memang sobagitu (sudah begitu). Di mana-mana, langsung makan dari gerobaknya,” kata Renaldy, disusul afirmasi Sukhit.
Hemat plastik
Sesaat setelah dua mahasiswa itu pergi, si gadis yang tadi kembali. Ternyata, Nadia (17) namanya. Ia membayarkan sejumlah uang lagi kepada Wahyu (30), sang abang cilok, lalu melahap beberapa tusuk cilok dan tahu lagi. Dia mengatakan, cara santap langsung dari gerobak itu memudahkan. ”Kalau pakai plastik, ribet,” ujarnya dengan cilok masih dalam kunyahan.
Pelanggan datang silih berganti, mulai dari pegawai kantor, pengojek online (dalam jaringan), sampai bocah SD. Hanya sepasang suami-istri bersama anak mereka yang meminta Wahyu membungkuskan cilok rebus.
Layaknya penjual cilok kebanyakan, Wahyu sudah siap dengan botol-botol berisi bumbu, kecap, dan sambal untuk dituangkan ke plastik bagi yang ingin membungkus ciloknya. Awal mulai berjualan, Wahyu memang terheran-heran melihat kebiasaan pelanggan di Manado. Namun, akhirnya ia mengatur tatanan gerobaknya sesuai kebiasaan itu.
Dulu, saya pernah jualan di Jakarta. Di sana, sehari bisa habis 10 pak plastik, sekitar 1.000 lembar.
Selain menyediakan wadah bumbu kacang untuk langsung dicocol dengan cilok dan tahu oleh pelanggan, ia juga meletakkan semua produknya di wadah terbuka. Dandang berisi cilok rebus akan dibuka setiap kali ada pembeli.
Ada pula tisu bungkus isi 250 lembar bagi pelanggan yang ingin mengusap sisa bumbu di sudut bibir seusai makan. Sebuah keranjang sampah juga disediakan di bawah gerobak. Lebih banyak tusuk sate daripada plastik dalam keranjang itu.
”Dulu, saya pernah jualan di Jakarta. Di sana, sehari bisa habis 10 pak plastik, sekitar 1.000 lembar. Di sini, karena orang suka langsung makan di tempat, jadi lebih hemat. Sehari paling-paling cuma habis dua pak plastik,” kata Wahyu yang asal Lembang, Kabupaten Bandung Barat, itu.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah sampah plastik di Indonesia selama 2019 mencapai 6,7 juta ton. Sebanyak 1,3 ton diperkirakan terbuang ke laut, sedangkan 3,3 ton lainnya tidak terkelola. Tanpa sadar, dengan cara jajan cilok seperti itu, warga Manado berkontribusi tak menambah lebih banyak sampah plastik.
Akrab
Mendengar Wahyu berasal dari Bandung, Nadia bertanya. ”Mas dari Bandung? Kenal sama Dilan, dong?” tanyanya bercanda, mengacu tokoh fiksi Dilan dari novel Pidi Baiq yang difilmkan dalam Dilan 1990 (2018) dengan latar Kota Bandung.
Wahyu tak mau kalah. Ia membalas dengan tebak-tebakan. ”Ngana (kamu)tahu perbedaan cilok deng (dengan)cewek?” Nadia menggeleng sambil terus mengunyah. ”Kalau cilok mah enak dimakan. Kalau ngana, enak dipandang,” katanya, mencampur bahasa Melayu Manado dengan aksen Sunda yang kental.
Wahyu menambahkan, ”Memang kalu bajualmusti baku-baku sedu (kalau jualan, harus sambil bercanda). Ya kan, Nadia?” katanya. Keduanya akrab karena sering bertemu. Nadia yang bekerja di minimarket di Jalan Bethesda adalah pelanggan tetap cilok Wahyu.
Dian (41), pedagang cilok asal Sukabumi, merasa ada kedekatan antara pedagang dan pembeli di Manado karena kebiasaan makan di tempat. ”Enggak ada jarak antara penjual sama pembeli. Kalau di Jakarta, kan, orang kantoran pasti malu makan di gerobak. Di sini enggak begitu,” katanya.
Penghasilan pun mengikuti. Dalam sehari, Dian yang berjualan di depan IT Center Manado, Jalan Boulevard Piere Tendean, bisa membawa omzet Rp 400.000.
Bulan Rumambi (21), mahasiswi Kedokteran Gigi Unsrat, juga selalu makan langsung cilok dari gerobak penjual di depan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Unsrat. Karena sering makan dan bercengkerama, suatu kali si penjual bertanya di mana ia tinggal.
Kalau enggak sering makan cilok di sana, enggak akan tahu.
”Mungkin masnya merasa aku familiar. Ternyata, dia tinggal di satu lorong (gang) yang sama dengan rumahku. Kalau enggak sering makan cilok di sana, enggak akan tahu,” kata Bulan.
Sosiolog Jerman, Max Weber (1922), mencetuskan, manusia terbagi dalam kelas-kelas sosial berdasarkan kekayaan (wealth), wibawa (prestige), dan kekuasaan (power). Status seseorang dalam masyarakat kapitalis berdasarkan tiga faktor ini akan menentukan kelas mereka. Walakin, di Manado, kelas dan status sosial melebur dalam lezatnya cilok di kunyahan, langsung dari gerobaknya.