Muslim, Laki-laki Pembela Satwa
Ketika remaja, Muslim pernah ikut berburu harimau bersama ayahnya. Kini, ia berada di barisan pembela satwa.
Saat remaja, Muslim (34), warga Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, adalah pemburu harimau. Suatu ketika, dia ditangkap polisi dan pengadilan memvonisnya 21 hari penjara. Namun, itu cerita lama, kini Muslim adalah ketua tim pengamanan satwa.
Muslim lahir di Desa Karang Ampar, sebuah desa terpencil di pedalaman hutan Gayo, Aceh Tengah. Orangtuanya petani kopi dan palawijaya. Namun, untuk menambah penghasilan, ayahnya kerap berburu satwa liar, seperti rusa dan harimau.
Muslim yang kala itu remaja sering ikut berburu bersama ayah. Lokasi perburuan di hutan kawasan Ketol. Muslim tahu betul cara memasang jerat dan jalur-jalur yang dilewati harimau. Setelah jerat dipasang, mereka kembali ke lokasi satu minggu kemudian.
Harimau yang terkena jerat itu kulitnya diambil. Tulang, taring, dan kerangka pun dikumpulkan untuk dijual. Harga kulit utuh sekitar tahun 2000 berkisar Rp 6 juta. ”Dalam sebulan terkadang dapat satu ekor,” kata Muslim kepada Kompas yang ditemui pada Selasa (11/2/2020) di Desa Karang Ampar.
Suatu hari, Muslim ditangkap polisi saat hendak menjual kulit harimau. Dia diproses hukum. Namun, karena masih di bawah umur, dia mendapat keringanan hukum. ”Saya takut sekali, tidak pernah membayangkan risikonya seperti itu (penjara),” kata Muslim.
Setelah menamatkan sekolah menengah atas, 2004, Muslim melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Politeknik TEDC Bandung, Jawa Barat. Muslim bekerja di pusat pendidikan intelijen TNI AD Bogor. Saat bekerja di sana, Muslim menikah dengan Noviana, gadis asal Bogor.
Tahun 2013, setelah ayahnya meninggal, Muslim memboyong istri dan anak ke Karang Ampar. Meski tinggal di daerah terpencil, dia merasa kehidupan lebih tenang. Dia merawat kebun peninggalan sang ayah.
Bertemu gajah
Suatu malam pada awal 2015, saat sedang membakar sampah di belakang rumah, Muslim dikagetkan dengan kehadiran seekor gajah liar. Kakinya kaku dan lidahnya kelu. Pelan-pelan dia bergerak mundur kembali ke rumah untuk memberi tahu ibunya.
”Ine (Ibu), ada abang kul di belakang rumah,” kata Muslim, meminta ibunya keluar dari rumah. Dalam bahasa Gayo, abang kul artinya abang besar. Orang Gayo menghormati gajah dengan menyebutnya sebagai abang besar.
Hutan rimba yang berbatasan dengan Karang Ampar merupakan habitat gajah. Dari jalan nasional Bireuen-Takengon, butuh waktu 1 jam sampai ke Karang Ampar. Waktu konflik bersenjata mendera, warga Karang Ampar mengungsi ke Ronga-Ronga, Kabupaten Bener Meriah.
Saat Muslim masih anak-anak, gajah jarang masuk ke desa, paling tidak lima tahun sekali. Namun, 10 tahun terakhir, satwa lindung itu kian sering masuk ke perkebunan warga dan permukiman. Tanaman warga porak poranda, rumah rusak, dan warga hidup dalam ketakutan.
Tim penghalau
Muslim berpikir, jika gajah masuk permukiman, warga tidak bisa hidup tenang dan bisa mencari nafkah. Dia mengajak para pemuda di Karang Ampar dan Bergang, desa tetangga, untuk menghalau gajah agar tidak masuk ke permukiman.
”Kita harus menjaga desa. Jika abang kul ke sini, yang rugi kita juga. Kalau menunggu petugas pemerintah, keburu habis tanaman baru mereka sampai ke sini,” ucap Muslim meyakinkan pemuda lain.
Terbentuklah kelompok pemuda menjaga desa dari satwa liar. Tidak semua orang mendukung ide Muslim. Sebagian menganggap gajah adalah hewan perusak tanaman. Beberapa warga mencibirnya, dengan menyebut Muslim pemilik gajah, tetapi dia sabar.
Pernah suatu hari, seorang pemilik sawah mendatangi rumah Muslim sambil menenteng parang. Petani itu meminta Muslim mengusir gajah dari sawahnya. Mulai saat itu, jika ada gajah yang masuk ke kebun dan sawah, orang-orang memberi tahu Muslim.
”Saya bukan pemilik gajah, tapi saya diam saja, saya ikuti saja perintah mengusir gajah,” kata Muslim. Padahal, tujuan kelompok itu dibentuk untuk melindungi desa dari amukan gajah agar warga bisa hidup tenang.
Pada Juli 2017, sebuah peristiwa pilu bagi dunia konservasi terjadi di Karang Ampar. Seekor gajah liar jantan ditemukan mati tanpa gading. Gajah itu ditembak menggunakan senjata api serbu AK 56. Semua mata tertuju ke Desa Karang Ampar. Anggota kelompok penghalau satwa dipanggil polisi untuk dimintai keterangan.
Pascaperistiwa itu, kelompok bubar, mereka khawatir dikait-kaitkan dengan kematian gajah. Sementara bagi Muslim, ini adalah momentum untuk memperkuat gerakan perlindungan desa dan satwa karena banyak pihak mulai peduli pada Karang Ampar.
Atas dukungan Word Wide fund for Nature (WWF) wilayah kerja Aceh, kelompok itu diperkuat dan diberi nama Tim Pengamanan Flora Fauna (TPFF) Karang Ampar-Bergang. Muslim ditunjuk sebagai koordinator. TPFF dikukuhkan dengan surat keputusan Kepala Desa Karang Ampar.
Setelah ada dukungan dari WWF dan kepala desa, kegiatan TPFF semakin lancar. Biaya penggiringan disubsidi oleh WWF dan dana desa. Namun, anggota TPFF tidak digaji, mereka adalah relawan yang bekerja untuk desa dan satwa.
Pada akhir 2019, Muslim diundang sebagai pembicara dalam Forum Perdamaian Paris, Perancis. Dia menceritakan tentang hutan Karang Ampar, gajah, dan aktivitas TPFF. ”Warga dunia memberi apresiasi dan berterima kasih kepada TPFF sebab telah melindungi gajah,” kata Muslim.
Dulu dia pernah kesal disindir pemilik gajah, dalam forum itu justru Muslim bahagia. ”Orang luar negeri rela membayar mahal melihat gajah liar, sementara kami hidup berdampingan dengan mereka (gajah),” ujar Musim.
Warga dunia yang hadir di forum itu menitipkan pesan kepada warga Karang Ampar dan Bergang agar tetap menjaga hutan dan gajah. Muslim juga telah berdamai dengan masa lalunya. Dia kini bukan pemburu, tetapi pengaman satwa.
Muslim
Lahir: Karang Ampar, Kabupaten Aceh Tengah, 12 Desember 1986
Istri: Noviana
Anak:
- Haikal Bakti Arigayo
- Fatia Aisya Azzahra
- Putri Ananda Salsabila
Pendidikan formal:
- SD Karang Ampar, Aceh Tengah
- SLTP Ronga-Ronga, Bener Meriah
- SMA Timang Gajah, Bener Meriah
- Politeknik TEDC Bandung
Pekerjaan: Petani
Aktivitas: Koordinator Tim Pengamanan Flora Fauna Karang Ampar-Bergang