Konservasi Orangutan di Habitat Alami Masih Rendah
›
Konservasi Orangutan di...
Iklan
Konservasi Orangutan di Habitat Alami Masih Rendah
Upaya konservasi orangutan terus dilakukan untuk menyelamatkannya dari penurunan populasi dan kepunahan. Konservasi di luar habitat alami menjadi salah satu pilihan untuk menyelamatkan satwa itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Upaya konservasi orangutan terus dilakukan untuk menyelamatkannya dari penurunan populasi dan kepunahan. Namun, ancaman terhadap populasi orangutan masih terus meningkat sehingga proyeksi keberlanjutan hidupnya di habitat alami masih rendah. Konservasi di luar habitat alami menjadi salah satu pilihan untuk menyelamatkan satwa itu.
Direktur Konservasi Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) M Yakob Ishadamy, di Medan, Selasa (18/2/2020), mengatakan, upaya konservasi yang paling penting dilakukan adalah mengurangi ancaman di habitat alami. ”Hingga kini, orangutan sumatera dan orangutan tapanuli masih terus mengalami ancaman akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, perburuan, serta perdagangan satwa ilegal,” katanya.
Yakob mengatakan, penegakan hukum harus dilakukan sebagai bagian dari upaya konservasi orangutan yang saat ini statusnya terancam punah. Dengan demikian, proyeksi keberlanjutan hidup orangutan di habitat alaminya bisa meningkat. Saat ini, populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) sebanyak 13.710 individu dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) sebanyak 577-760 individu.
Selain di habitat alami, upaya konservasi juga dilakukan dengan penyelamatan satwa, rehabilitasi, dan introduksi ke habitat baru. Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera (YEL-SOCP) bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumut membuka Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang.
Sejak tahun 2001 hingga 2020, stasiun karantina itu telah merehabilitasi 402 individu orangutan. Di stasiun itu, orangutan yang diselamatkan dari perdagangan, pemeliharaan ilegal, atau dari habitat yang rusak menjalami perawatan, sekolah, habituasi, hingga dilepasliarkan. Stasiun itu pun telah melepasliarkan 287 individu ke habitat baru di Hutan Bukti Tiga Puluh, Jambi, dan Hutan Jantho, Aceh.
”Proyeksi keberlanjutan hidup di dua populasi baru itu termasuk tinggi karena minimnya ancaman,” kata Yakob.
Yakob mengatakan, berdasarkan pengamatan yang mereka lakukan, populasi orangutan introduksi di Bukit Tiga Puluh sudah melahirkan anak sedikitnya 16 individu. Sementara di Jantho sedikitnya sudah lahir dua individu orangutan.
Supervisor Pusat Reintroduksi dan Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan YEL-SOCP Citra mengatakan, upaya konservasi orangutan melalui rehabilitasi dan introduksi di habitat baru merupakan pilihan terakhir.
”Ini bukan kesuksesan. Tujuan utama konservasi seharusnya adalah menjaga satwa bisa tetap hidup di habitat alaminya,” kata Citra.
Citra mengatakan, dalam dua tahun terakhir, orangutan yang mereka terima hampir seluruhnya berusia di bawah tiga tahun. Hal ini terjadi karena banyaknya perburuan bayi orangutan untuk dijadikan peliharaan di dalam atau luar negeri. Rehabilitasi terhadap bayi orangutan ini pun menjadi lebih sulit karena harus dipelihara paling tidak hingga umur sembilan tahun agar bisa bertahan hidup di alam liar.