Ketika habitat dirusak, gajah yang sejatinya adalah hewan yang dihormati, justru dimusuhi dan dianggap sebagai hama. pemulihan habitat gajah di kawasan hutan diharapkan mengembalikan harmoni kehidupan gajah dan manusia
Oleh
Vina Oktavia dan Zulkarnaini
·3 menit baca
Nyeri akibat dikoyak caling gajah liar masih dirasakan Saridi (43), Kamis (13/2/2020). Sesekali, ayah dua anak itu memijat-mijat paha kanannya yang masih diperban pascaoperasi. Luka itu menjadi jejak perebutan ruang hidup antara manusia dan gajah.
Di rumah berdinding papan dengan lantai tanah di Desa Sukajaya, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, beberapa tetangga berdatangan menengok Saridi. Mereka membawa bantuan bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, kopi, dan teh, hingga kue. Ada juga yang memberikan santunan uang.
Untuk beberapa bulan ke depan, Saridi tentu tak bisa bekerja. Selain bantuan, beruntung dia masih punya delapan karung biji kopi. Sisa panen tahun lalu itu bisa dijual agar dapur keluarganya tetap mengebul. Sejak berkebun kopi di hutan pada 2004, dia beberapa kali bertemu kawanan gajah liar. Namun, baru kali ini Saridi merasa begitu dekat dengan maut.
Jumat (7/2/2020), Saridi bersama empat orang lain berupaya menggiring 12 ekor gajah liar yang hampir memasuki perkampungan warga di Pekon (Desa) Tulung Asahan, Kecamatan Semaka, Tanggamus. Desa itu berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Register 39, KPH Kota Agung Utara, Kabupaten Tanggamus.
Saridi, yang berdiri paling depan untuk menahan pergerakan gajah, tiba-tiba diserang salah satu gajah liar. Kaki kanannya dililit belalai gajah dan pahanya dirobek dengan caling. Kejadiannya sangat cepat, hanya sekitar 10 detik. ”Yang terpikirkan saat itu bagaimana menyelamatkan diri, tapi tidak melukai gajah karena satwa itu dilindungi negara,” ujar Saridi.
Baginya, selamat dari injakan gajah merupakan kuasa Ilahi. Masih membekas di ingatannya, dua warga tewas dalam konflik dengan satwa, tiga tahun terakhir. Saridi hanyalah potret dari ratusan petani yang mengolah lahan di hutan negara. Hidup jauh dari keluarga, mereka juga harus siap berhadapan dengan satwa liar. Saat kawanan gajah memasuki permukiman atau kebun, mereka bahu-membahu bersama Satgas Penggiringan Gajah.
Ketua Satgas Penggiringan Gajah di Pekon Tulung Asahan M Yasin Irma mengatakan, saat ini, ada sembilan satgas dari sembilan desa di Kecamatan Semaka. Penggiringan gajah liar bisa berlangsung berhari-hari. Sungguh melelahkan. Itulah konsekuensinya jika mereka mengelola lahan dekat hutan lindung yang merupakan ruang hidup dan jelajah gajah liar.
Harmoni ”abang kul”
Jauh di daerah terpencil di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Karang Ampar, peristiwa penembakan gajah pada Juli 2017 membuat gempar. Bagi warga setempat, hal itu merupakan aib karena tidak mampu melindungi gajah yang akrab dipanggil abang kul atau abang besar. Padahal nenek moyang mereka hidup damai dengan gajah.
”Di sini gajah ditembak,” kata Muslim (34), Koordinator Tim Pengamanan Flora Fauna (TPFF) Karang Ampar-Bergang, menunjukkan lokasi di kebun, Selasa (11/2). Masih lekat di benaknya, peristiwa 2,5 tahun silam, kala seekor gajah jantan ditemukan mati di kebun warga. Kedua gadingnya raib. Luka tembak menganga pada kepala dan tubuh satwa lindung itu.
Polisi menangkap pelaku dan menyita senjata serbu jenis AK 56 yang digunakan untuk membantai gajah. Namun, hingga kini gading gajah itu raib. Bagi warga Gayo yang menghuni Aceh Tengah dan Bener Meriah, penyebutan abang kul merupakan bentuk penghormatan kepada hewan berbadan besar itu. Budayawan Fikar W Eda menuturkan, dalam kehidupan orang Gayo, gajah merupakan hewan legenda.
Alkisah, Reje Linge di Gayo memiliki dua anak, Bener Meriah dan Sengeda. Bener Meriah tewas karena dibunuh. Namun, suatu waktu Bener Meriah muncul dalam sosok seekor gajah putih. Itu sebabnya, disebut abang karena jelmaan sosok kakak, Bener Meriah, serta kul yang artinya besar. ”Tari guel di Gayo meniru gerakan belalai gajah. Gajah adalah bagian sejarah kehidupan orang Gayo,” kata Fikar.
Namun, ketika habitat dirusak, gajah yang sejatinya adalah hewan yang dihormati, justru dimusuhi dan dianggap sebagai hama. Fikar berharap, pemulihan habitat gajah dan pemberdayaan ekonomi warga di kawasan hutan akan mengembalikan harmoni kehidupan gajah dan manusia.