Mengakhiri Belenggu Akurasi Data
Masih banyak data sosial ekonomi yang sering tidak sinkron, bahkan dalam interprestasi internal pemerintah sendiri. Jika tersedia data tunggal yang valid, semua pemangku kepentingan tinggal mengacu data itu.
Ketersediaan data yang akurat dan valid merupakan syarat mutlak guna mencapai seluruh target pembangunan. Pasalnya, akurasi data menjadi basis dan pemandu proses perencanaan dan penentu pemilihan kebijakan pembangunan yang tepat.
Oleh karena itu, Indonesia memulai perbaikan atau pemutakhiran data melalui Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Tujuannya adalah menciptakan data tunggal dimulai dari kependudukan.
BPS dinilai makin teruji dalam menyajikan dan memutakhirkan data statistik. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengapresiasi kemampuan Indonesia mengoleksi data pertanian dan akan menjadikan metode koleksi data statistik pertanian BPS sebagai percontohan dunia.
Namun, di sisi lain, banyak pihak yang masih meragukan akurasi data BPS. Indikasinya, banyak korporasi yang melakukan riset mandiri untuk memenuhi kebutuhan rencana bisnisnya. Korporasi itu termasuk perusahaan asing yang akan berinvestasi di Indonesia. Mereka harus menyewa jasa konsultan untuk survei mandiri.
Hal tersebut masih dapat dipahami karena korporasi memerlukan data yang lebih detail dan spesifik, tidak sekadar data kependudukan secara agregat. Apalagi jika terkait kebutuhan perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang terkendala data spesifik terkait dengan ekonomi digital.
”Krisis” ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan data yang valid dan akurat itu juga dialami kementerian/lembaga pemerintah. Setiap menentukan kebijakan dan program krusial serta strategis selalu diwarnai polemik antarkementerian yang berkepanjangan.
Kasus yang selalu seksi dan abadi di antaranya terkait data ketersediaan dan kebutuhan pangan yang berbuntut penentuan keputusan atau kuota impor. Begitu juga data terkait penduduk miskin yang berimplikasi terhadap efektivitas alokasi anggaran pengentasan rakyat dari kemiskinan. Apalagi, data kebutuhan hidup layak tidak hanya menjadi polemik, tetapi selalu menjadi isu politis dalam penentuan upah minimum provinsi.
Masih banyak lagi data sosial ekonomi yang sering tidak sinkron, bahkan dalam interpretasi internal pemerintah sendiri. Padahal, jika tersedia data tunggal yang akurat dan valid, semua pemangku kepentingan tinggal mengacu pada basis data yang sama.
Masih banyak lagi data sosial ekonomi yang sering tidak sinkron, bahkan dalam interpretasi internal pemerintah sendiri.
Terjadinya permasalahan-permsalahan krusial itu tentu tidak bisa langsung mengambinghitamkan hanya kepada satu pihak tertentu. Sebut saja dalam hal ini kesalahan BPS mengoleksi dan menyajikan data yang akurat.
Dalam konteks itu, terdapat kompleksitas dalam menghasilkan data yang akurat dan valid. Pertama, kendala terbesar dalam penyediaan data yang akurat terkait dengan literasi masyarakat terhadap statistik masih rendah.
Itu terutama dalam memberikan informasi valid agar dapat memotret permasalahan riil masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat atau responden tidak menjawab pertanyaan dengan informasi yang sebenarnya atau perusahaan yang enggan bahkan tidak mau memberikan laporan keuangannya secara transparan.
Kedua, kesulitan menemui responden. Untuk mengatasinya, BPS menyiasatinya dengan melakukan survei hari Sabtu atau Minggu. Belum lagi banyak responden, terutama perusahaan, enggan memberikan data.
Karena itu, selain perbaikan metodologi survei, yang terpenting ke depan adalah harus ada kepastian jaminan agar data hasil survei BPS terjaga kerahasiannya. Dengan demikian, terdapat kepercayaan semua responden agar secara sukarela bersedia memberikan informasi yang benar-benar akurat.
Baca juga: Sensus Penduduk 2020 Dimulai
Ketiga, menghasilkan data komprehensif dan representatif. Masalah geografis yang sangat luas sering menjadi kendala teknis di lapangan. Apalagi jika harus mengambil data dari daerah-daerah perdesaan, pedalaman, terpencil, dan terluar, pasti memiliki tantangan dan membutuhkan usaha cukup besar.
Jika tidak diperlakukan secara khusus, besar kemungkinan akurasi pengumpulan data tidak bisa optimal. Padahal, sensus harus dilakukan kepada semua penduduk tanpa terkecuali. Kini jumlah penduduk Indonesia mencapai 267 juta jiwa.
Keempat, data sektoral yang masih lemah. Dalam undang-undang, BPS hanya bertangung jawab untuk data dasar. Sementara data sektoral menjadi tanggung jawab kementerian/lembaga, sedangkan data khusus oleh universitas atau lembaga penelitian.
Kondisi itu menyebabkan akurasi data BPS tentu tidak lagi hanya ditentukan oleh metodologi, tetapi juga akurasi dari suplai data kementerian/lembaga. Misalnya, akurasi data rumah tangga miskin berdasarkan nama dan alamat menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial sejak 2016.
Kelima, terkait dengan perubahan dinamika sosial masyarakat dan pergerakan (mobilitas/migrasi) penduduk yang sangat cepat dan termasuk perkembangan teknologi informasi yang sangat tinggi. Saat ini Indonesia belum memiliki mahadata dalam sektor sosial ekonomi.
Bank Indonesia memang sedang membangun mahadata, tetapi hanya terbatas pada sektor keuangan. Sementara itu, survei BPS memiliki jeda waktu (timelag) yang sangat panjang.
Sensus penduduk dilakukan setiap 10 tahun sekali dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Padahal, data Susenas Modul sangat komprehensif. Data itu mencakup perbaruan kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti kondisi kesehatan, pendidikan, fertilitas, keluarga berencana, perumahan, dan kondisi sosial ekonomi lainnya yang sangat dinamis.
Terobosan BPS
Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, BPS dalam melakukan Sensus Penduduk 2020 menggunakan metode kombinasi (combine method). Sensus Penduduk 2020 terdiri dari dua tahap, yaitu Sensus Penduduk Online (SPO) dan Pendataan Konvensional wawancara door to door.
Teknologi digital itu memungkinkan semua warga negara dapat langsung berperan aktif dengan mengakses aplikasi Sensus Penduduk 2020. Dengan KTP elektronik dan kartu keluarga daring, masyarakat langsung dapat mengisi kuesioner secara daring melalui laman sensus.bps.go.id mulai 15 Februari-Maret 2020.
Melalui SPO itu, responden lebih leluasa, mudah, efektif, dan efisien mengisi data secara mandiri. Mereka dengan mudah mengisinya melalui telepon seluler berbasis Android yang telah terintegrasi dengan database kependudukan.
Sementara bagi yang belum dapat berpartisipasi melalui SPO akan didatangi petugas petugas ”cacah jiwa” pada 1-31 Juli 2020. Pencacahan lengkap akan melibatkan ketua rukun tetangga (RT) sekaligus memvalidasi data kependudukan dari hasil SPO dan data kependudukan pencatatan sipil. Pemutakhiran data dilakukan melalui wawancara langsung oleh petugas BPS.
Baca juga: Sensus Daring Masih Diragukan
Dengan terobosan metode sensus tersebut, diharapkan akan tersedia data kependudukan yang akurat dan menuju data tunggal kependudukan Indonesia. Utamanya data dasar berupa jumlah, komposisi, distribusi, dan karakteristik penduduk Indonesia.
Data dasar tersebut sangat berguna sebagai basis perencanaan dan evaluasi pembangunan, antara lain pemenuhan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, dan komunikasi), perencanaan investasi dan penyiapan lapangan kerja, serta perencanaan kebutuhan fasilitas sosial ekonomi lainnya. Basis data yang akurat akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dengan terobosan itu, pemutahiran data lebih valid dan meningkatkan kualitas pendataan. Batas kesalahan (error margin) jadi semakin kecil. Tidak ada lagi keraguan masyarakat terhadap akurasi data BPS. Kasus rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwuan III-2019 yang diragukan Capital Economics, lembaga riset asal Inggris, diharapkan tidak terulang lagi.
Saat ini, ada dua data kependudukan yang kerap menjadi polemik, yaitu data kependudukan hasil registrasi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta data kependudukan menurut BPS hasil sensus dan proyeksi penduduk. Perbedaan data jumlah penduduk itu sering berdampak pada berbagai program bantuan sosial tidak tepat sasaran. Data itu bahkan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik, seperti pada saat pemilihan umum.
Terakhir, di samping perbaikan metode sensus, juga harus ada evaluasi terkait penetapan indikator guna memotret dinamika sosial ekonomi masyarakat agar lebih valid dan realitis. Contohnya terkait isu kesenjangan ekonomi yang menggunakan indikator rasio gini berbasis pendekatan pengeluaran.
Jika kesenjangan menggunakan terminologi pendapatan atau kekayaan, akan lebih menunjukkan realitas yang ada di masyarakat. Dalam hal kepemilikan tanah, rasio gini pemilikan tanah di Indonesia sudah sekitar 0,7.
Hal itu juga bisa dilihat dari rasio gini kekayaan melalui pendekatan kepemilikan simpanan di perbankan. Saat ini, setiap 1 persen nasabah menguasai hampir separuh total dana pihak ketiga perbankan.
Sementara hanya sekitar 15,6 persen nasabah menguasai sekitar 97,6 persen dari total tabungan deposito di perbankan. Artinya, 84,4 persen nasabah hanya memiliki 2,4 persen tabungan saja.
(Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance)