Meriahnya Ulang Tahun Militer Thailand
Indonesia sebagai salah satu pemilik ASEAN dapat maju bersama Thailand dengan prinsip netralitas dan kedekatan dengan berbagai kekuatan dunia.
Biasanya, acara hari besar kenegaraan dirayakan dengan perayaan diplomatik yang meriah di kantor perwakilan negara sahabat. Bagi Kerajaan Thailand, selain ulang tahun raja dan ratu, hari ulang tahun militer Thailand (Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand) yang jatuh pada 18 Januari juga diperingati secara meriah.
Di Jakarta, resepsi ulang tahun militer Thailand yang digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2020) malam, berlangsung meriah dengan aneka pertunjukan, hidangan, dan suasana bercengkrama yang akrab.
Ulang tahun militer tersebut untuk memperingati kemenangan Raja Naresuan (Raja Sanphet II) dari Kerajaan Ayutthaya melawan Pangeran Mingyi Swa dari Kerajaan Taungoo (Kerajaan Burma) dalam pertempuran dengan gajah perang pada Januari tahun 1593. Ayutthaya menjadi cikal bakal Kerajaan Siam atau Thailand saat ini.
Baca juga: Menapaki Jejak Portugis di Bangkok
Keberadaan gajah perang sebagai bagian dari pasukan kavaleri memang menjadi bagian dari sejarah penting di Asia Tenggara, termasuk di Burma, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
Di Indonesia, lambang gajah perang digunakan sebagai simbol Komando Daerah Militer Iskandar Muda di Aceh yang juga diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah Arus Balik. Buku ini bercerita tentang pasukan gajah di Tuban, Jawa Timur.
Pertarungan antarkerajaan di Asia Tenggara pada masa lalu merupakan pelajaran tentang geopolitik antarkekuatan yang ada. Berbagai kerajaan muncul silih berganti, termasuk wilayahnya yang bisa bergeser karena terjadinya perang dan perebutan kuasa.
Kalau dulu pada masa Kerajaan Ayuttahya, Vietnam, Kamboja, Thailand, Laos, dan Myanmar merupakan wilayah dari berbagai kerajaan kini masing-masing merupakan negara modern.
Pada suatu masa, Bangsa Thai pernah berkoalisi dengan Kerajaan Angkor (Bangsa Khmer) untuk melawan Kerajaan Campa, seperti diungkapkan Thearith alias John, pemandu resmi yang pernah ditemui di Kota Siem Reap, Kamboja.
Semasa itu, Kerajaan Dai Viet yang merupakan cikal bakal Vietnam baru bermukim di wilayah sekitar Hanoi. Setelah dikalahkan koalisi Khmer-Thai, suku bangsa Campa hidup tersebar di wilayah Vietnam dan Kamboja hingga kini.
Baca juga: Maafkan Kami Sungai...
”Bangsa Thai yang mulainya berasal dari selatan China, mulai tersingkir dari sana akibat serangan pasukan Mongol di bawah Kubilai Khan. Dalam perkembangannya, Bangsa Thai kemudian mendirikan dinasti sendiri di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Thailand,” kata Thearith.
Saat ini kelompok mayoritas Dai (dibaca Tai Zhu-suku bangsa Thailand) merupakan salah satu suku bangsa yang hidup di provinsi-provinsi selatan China, seperti Yunan dan Sichuan. Mereka memiliki tradisi mirip dengan bangsa Thailand, semisal saling menyiram air dalam Tahun Baru Songkran.
Selanjutnya pernah terjadi serangan Kerajaan Siam terhadap Kerajaan Angkor yang masih berpusat di sekitar Angkor Wat. Dalam kesempatan lain, bangsa Kamboja juga pernah mengalahkan bangsa Siam di tempat yang dinamakan sebagai Siem Reap.
Di sisi lain, bangsa Siam juga terlibat dalam peperangan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi cikal bakal Burma yang kini dikenal sebagai Myanmar. Pada suatu masa, ibu kota Ayutthaya yang menjadi pusat kekuasaan bangsa Siam pernah dihancurkan bangsa Burma. Bahkan catatan-catatan penting di Ayutthaya turut dibakar oleh pasukan Burma.
Pada era modern, seiring penjajahan Barat di Asia, kemampuan Kerajaan Siam menjaga netralitas, kemerdekaan, dan modernisasi, termasuk membangun militer yang modern, menjadi kunci bangkitnya Thailand.
Modernisasi dan reformasi berlangsung sejak zaman Raja Rama IV atau Raja Mongkut, Raja Rama V atau Raja Chulalangkorn, dan dilanjutkan Raja Rama IX atau Raja Bhumibol Adulyadej dan kini Raja Rama X atau Raja Vajiralangkorn yang juga penerbang jet tempur, mampu mengokohkan eksistensi Kerajaan Thailand di daratan Asia Tenggara.
Keberadaan prajurit Makassar
Dalam pasang surut perebutan kekuasaan di daratan Asia Tenggara, militer Kerajaan Siam atau Thailand menjadi tulang punggung mempertahankan kedaulatan dan eksistensi kerajaan dan bangsa Thai.
Pada masa kepemimpinan Raja Phra Narai (1656-1688), Siam berupaya menjaga keseimbangan antara kelompok Persia, Islam di Asia Tenggara, kelompok Eropa, dan berbagai kelompok internal kerajaan yang saat itu masih berpusat di Ayutthaya.
Pada masa ini, tercatat adanya panglima perang dan prajurit Makassar menjadi serdadu di Siam (Kompas, 24/4/2010). Panglima tersebut adalah Daeng Mangalle, pemimpin kelompok Muslim dari Nusantara. Ia tiba tahun 1664 dari Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai pelarian bersama 250 pengikutnya.
Raja Phra Narai menampung Daeng Mangalle. Seperti umumnya para bangsawan asal Bugis-Makassar, ia segera membuktikan kepiawaian sebagai prajurit profesional di Asia Tenggara.
Kala itu banyak prajurit Bugis-Makassar bertugas di kerajaan ataupun kongsi dagang barat, termasuk Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC). Kekuatan Daeng Mangalle dan kawan-kawan akhirnya berbenturan dengan Konstantin Hierarchy (ada yang menyebut sebagai Konstantin Fhaulkon yang dijuluki sebagai Falcon dari Siam).
Konstantin adalah orang Yunani mantan pegawai Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC) yang menjadi penasihat Raja Phra Narai. Terjadilah perlawanan Makassar pada akhir 1686 antara koalisi Daeng Mangalle, pangeran lokal, pemukim Champa, Melayu, dan Persia melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa dari Portugis dan berbagai bangsa Barat.
Meski akhirnya dikalahkan, pasukan Makassar tersebut tetap disegani. Hingga kini jejak masyarakat Makassar diabadikan dalam nama Kampung Makassan di dekat Bangkok.
Pesta meriah
Kembali ke acara resepsi diplomatik di Jakarta, beragam foto dan papan informasi tentang Raja Vajiralangkorn, militer Kerajaan Thailand, bendera Thailand, dan berbagai dekorasi, menghiasi ball room hotel.
Berbagai makanan khas Thailand dengan cita rasa pedas asam dan buah-buahan khas Thailand disajikan sepanjang acara. Tak ketinggalan Bir Singha khas Thailand.
Puluhan mahasiswa dan mahasiswi Thailand, termasuk yang berhijab, dengan antusias mengisi acara, termasuk dengan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dan lagu kebangsaan Thailand, ”Phleng Chat Thai”.
Selain itu, mereka juga memperagakan bela diri muay thai hingga pertarungan senjata di atas panggung yang mengundang perhatian hadirin. Para mahasiswa asal Thailand biasanya dengan antusias mengikuti rangkaian acara dan rutin hadir dalam acara-acara yang diadakan Kedutaan Besar Thailand di Indonesia.
Salah satunya, Aini. Mahasiswi asal Bangkok yang juga alumnus Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengaku dirinya sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia ketika pertama kali kuliah di Jakarta tahun 2014. Beda dengan sekarang. ”Saya ambil jurusan dakwah dan sekarang bekerja di Kedutaan Besar Thailand,” kata Aini dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Lain lagi cerita Nini, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Ia mengaku hanya perlu waktu 2-3 bulan untuk menyesuaikan diri berbahasa Indonesia. Pasalnya, dia asli dari Pattani, wilayah yang berbahasa Melayu atau Jawi di Thailand.
Acara perayaan ulang tahun militer Thailand dikemas sedemikan rupa menjadi acara diplomasi yang penuh semangat dan budaya. Agenda diplomasi penting di tengah ketidakpastian hubungan internasional di antara negara-negara besar.
Indonesia sebagai salah satu pemilik ASEAN dapat maju bersama Thailand dengan prinsip netralitas dan kedekatan dengan berbagai kekuatan dunia.