Persentase buta aksara di Nusa Tenggara Barat masih termasuk tinggi. Karena itu, berbagai upaya pengentasan terus dilakukan di daerah tersebut, termasuk pendekatan seni budaya.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Persentase buta aksara di Nusa Tenggara Barat masih termasuk tinggi. Oleh karena itu, berbagai upaya pengentasan terus dilakukan. Selain melalui pendekatan kelompok seperti dasawisma, juga didorong cara lain seperti seni budaya.
Berdasarkan Survei Sosial Nasional Badan Pusat Statistik 2018, angka buta aksara usia 15 tahun ke atas di NTB mencapai 12,58 persen (630.722 orang) dari total 5.013.687 penduduk NTB. Jumlahnya tak berubah signifikan pada tahun 2017, yakni 12,86 persen (637.287 orang).
Penggerak dalam dasawisma ini adalah tutor sebaya (Suka).
Menurut Kepala Badan Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat NTB (BP PAUD dan Dikmas) Suka, NTB memang pernah berhasil menekan angka buta aksara melalui program angka buta aksara nol (absano). Hanya saja, karena tidak dikuatkan, jumlahnya meningkat lagi.
Oleh karena itu, kata Suka, masih tingginya angka buta aksara tersebut membutuhkan terobosan dalam pengentasannya.
Suka menambahkan, upaya yang telah dikembangkan adalah dasawisma. Dasawisma adalah kelompok ibu-ibu yang berasal dari 10 keluarga di dalam satu rukun tetangga. Kelompok itu kemudian belajar aksara bersama-sama. Biasanya pada malam hari. ”Penggerak dalam dasawisma ini adalah tutor sebaya,” kata Suka.
Selain dasawisma, BP PAUD dan Dikmas NTB juga mengembangkan program penumbuhan minat baca peserta didik pendidikan multi-keaksaraan melalui cerita rakyat suku Sasak. Cerita rakyat dipilih menjadi bahan bacaan karena bersifat tradisional dan sesuai dengan konteks lokal.
”Selain kedua pendekatan itu, kami juga akan menggunakan pendekatan seni budaya mulai tahun ini. Pendekatan itu lebih ke mengangkat cerita rakyat ke seni teater,” kata Suka.
Suka menjelaskan, pendekatan seni budaya ini adalaah mereka akan membuat skenario dan dialog sederhana. Kemudian para peserta didik akan memainkan skenario itu. ”Jadi, mereka tidak hanya menikmati seni, tetapi juga belajar membaca dan menulis,” ujarnya.
Terkait dengan rencana penggunaan pendekatan seni dan budaya dalam pengentasan dari buta aksara di NTB, penggiat literasi NTB, Supardi, mengatakan, efektifnya program itu perlu melihat kondisi daerah.
”Kalau daerahnya akrab dengan seni budaya, akan sangat bagus. Tetapi, kalau tidak, akan kurang tepat,” kata Supardi, pendiri Komunitas Bale Ade. Salah satu kegiatannya ialah Ransel Pustaka, perpustakaan keliling untuk anak-anak di Lombok.
Sesuai konteks
Jamaruddin selaku Education Policy and Governance Specialist Inovasi Anak Sekolah Indonesia (Kemitraan Australia Indonesia) yang programnya fokus pada literasi mengatakan, semua pendekatan akan efektif jika sesuai dengan konteks dan kebutuhan kelompok sasaran.
”Akan lebih efektif lagi bisa desain pendekatan itu dirancang dengan kelompok sasaran. Atau minimal pihak yang mendesain pendekatan itu pernah bertanya kepada kelompok sasaran tentang metode belajar membaca yang disenangi,” katanya.
Menurut dia, selain sesuai dengan kebutuhan, perlu juga monitoring dan evaluasi terhadap program tersebut.
Padahal, menurut Suka, pendekatan saja tidak cukup. Akan tetapi, justru penguatan perlu dilakukan agar program pengentasan benar-benar berhasil dan buta aksara tidak ada lagi.
Oleh karena itu, selain program pengentasan, mereka juga melaksanakan program penguatan. Salah satunya dengan mendorong penguatan Taman Bacaan Masyarakat.
”Kehadiran taman bacaan bisa membantu masyarakat. Tentu agar bisa diminati perlu direvitalisasi agar nantinya tidak sekadar tempat menumpuk buku. Perlu didorong berbagai kegiatan di sana,” kata Suka.
Selain itu, akan didorong juga festival-festival terkait dengan literasi. Harapannya, melalui kegaitan itu, peserta didik tidak hanya menjadi obyek. Namun, juga perlu diperlihatkan kepada masyarakat perihal banyaknya capaian mereka.