Sepanjang 2019, suap mendominasi dibandingkan dengan modus korupsi lainnya. Ini mengingatkan pemerintah untuk membenahi sistem pengadaan barang dan jasa dan juga perizinan karena suap sering terjadi di dua sektor itu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindak pidana suap mendominasi sepanjang 2019 dibandingkan dengan modus korupsi lainnya. Tindak pidana itu kerap terjadi dalam proses penerbitan izin ataupun rekomendasi dan pengadaan barang dan jasa. Ini mengingatkan pemerintah untuk serius memperbaiki sistem guna mencegah suap terus berulang dalam proses-proses tersebut.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW), mulai Januari hingga Desember 2019, jumlah kasus korupsi yang ditindak penegak hukum sebanyak 271 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 580 orang. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi mencapai Rp 8,4 triliun.
”Suap merupakan modus yang paling dominan dilakukan para tersangka korupsi, yakni 51 kasus,” kata Staf Divisi Hukum Monitoring Peradilan ICW, Wana Alamsyah, di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Kasus korupsi dengan modus suap lebih banyak dibandingkan dengan penggelembungan dana atau mark up (41 kasus), penyalahgunaan anggaran (39 kasus), penggelapan (35 kasus), dan penyalahgunaan wewenang (30 kasus).
Meskipun demikian, penyalahgunaan wewenang menjadi modus yang menyebabkan nilai kerugian negara terbesar, yakni Rp 6,3 triliun. Adapun kasus suap menyebabkan kerugian negara.
Suap memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan kasus serupa, yakni gratifikasi. Nilai kasus suap mencapai Rp 169,5 miliar, sedangkan gratifikasi yang berjumlah tujuh kasus memiliki nilai Rp 31,2 miliar.
Salah satu kasus suap yang menyita perhatian publik adalah dugaan suap terkait dengan pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung yang melibatkan Sekretaris MA Nurhadi. Hingga kini, Nurhadi belum ditangkap KPK dan masuk dalam daftar pencarian orang.
Wana mengatakan, kasus suap sering terjadi salah satunya karena terlalu banyaknya perizinan dalam mengurus sesuatu. Pemerintah mencoba mengatasi persoalan itu dengan membuat RUU Cipta Kerja. Sayangnya, RUU itu hanya memangkas prosedur tanpa memberikan kepastian hukum kepada orang yang sedang melakukan proses perizinan.
Melihat tingginya jumlah kasus suap, Wana berharap pemerintah dan lembaga pemberantasan korupsi merumuskan strategi pencegahan praktik suap dengan memperkuat sistem integritas badan publik, salah satunya melalui Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP).
Selain KPK, ia ingin kejaksaan dan kepolisian mulai fokus pada penanganan tindak pidana korupsi berjenis suap.
Saat dihubungi secara terpisah, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, suap menjadi kasus yang paling sering ditangani KPK. Kasus suap muncul dalam proses pengadaan barang dan jasa serta penerbitan izin atau rekomendasi.
Sebagai upaya pencegahan, KPK mendorong pengadaan barang dan jasa melalui katalog elektronik atau e-katalog. ”Jadi beli secara daring, tetapi perlu akselerasi e-katalog. Makanya, KPK mengirim surat kepada Presiden pada November 2019 agar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 direvisi karena melemahkan e-katalog. Selain itu, juga meminta pembayaran secara elektronik diimplementasikan,” ujar Pahala.
Adapun untuk mencegah suap di perizinan, KPK bersama Kementerian Dalam Negeri sudah mewajibkan semua pemerintah daerah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu. Dengan demikian, izin terpusat. Tak hanya itu, pemberian izin harus transparan. Sebanyak 74 persen daerah telah menerapkan perizinan secara daring sehingga menjadi lebih terbuka.
KPK mengirim surat kepada Presiden pada November 2019 agar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 direvisi karena melemahkan e-katalog.
Selain dua penyebab tersebut, kasus suap juga sering terjadi karena jabatan. Kasus ini diselesaikan dengan implementasi sistem yang pantas di seluruh instansi pemerintah. Program ini didorong melalui strategi nasional, tetapi capaiannya saat ini masih rendah.
”Jadi melalui lelang jabatan, misalnya. Namun, yang terjadi suap untuk jabatan kepala sekolah atau kepala dinas. Ini masih belum sampai di Komisi ASN prosesnya sehingga masih terbuka di daerah,” kata Pahala.
ICW juga menyoroti banyaknya jumlah aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari 580 tersangka korupsi pada 2019, sebanyak 213 orang di antaranya berstatus ASN. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan swasta (149 orang), kepala desa (45), direktur utama/staf badan usaha milik negara (26), dan aparatur desa (19).
Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan, kejadian korupsi yang dilakukan ASN sering berulang. Setiap tahun, jumlah tersangka terbanyak berasal dari ASN. ”Koruptor yang merupakan seorang ASN sudah sering ditangani, tetapi tetap terjadi,” ujar Tama.
Ia berharap para penegak hukum mulai mencari cara untuk menekan jumlah kasus korupsi yang dilakukan ASN. Pemerintah juga perlu memperkuat kode etik ASN dan mempertegas sanksi pidana yang melibatkan ASN.