Alih Fungsi Lahan di Jambi Kian Menekan Kawasan Ekosistem Esensial
›
Alih Fungsi Lahan di Jambi...
Iklan
Alih Fungsi Lahan di Jambi Kian Menekan Kawasan Ekosistem Esensial
Pembukaan kebun dan praktik jual beli lahan makin menekan kelestarian dalam wilayah hutan yang dialokasikan sebagai kawasan ekosistem esensial Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Pemerintah harus tegas menyikapinya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MUARA TEBO, KOMPAS — Pembukaan kebun dan praktik jual beli lahan makin menekan kelestarian dalam wilayah hutan yang dialokasikan sebagai kawasan ekosistem esensial Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Pemerintah harus tegas menyikapi persoalan tersebut.
Pemerintah mengalokasikan sekitar 54.000 hektar di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh untuk menjadi habitat satwa. Lahan itu disebut kawasan ekosistem esensial (KEE). KEE mencakup lima desa, yaitu Muara Kilis, Semambu, Pemayungan, Muara Sekalo, dan Suo-suo. Namun, lebih dari 30 persen wilayah itu sudah berubah fungsi menjadi lahan monokultur dan rusak diekspansi perambah liar.
Sepanjang Selasa (18/2/2020) hingga Rabu (19/2/2020), kawanan gajah Freda terisolasi di dalam areal semak belukar di Desa Pemayungan. Menurut Maskun, konservasionis gajah dari Frankfurt Zoological Society, yang telah 10 tahun terakhir memitigasi konflik gajah dan manusia, kawanan itu semula menjelajah di wilayah VII Koto.
Aktivitas produksi akasia di kawasan VII Koto memaksa rombongan Freda keluar dan mencari tempat lain yang lebih aman. Namun, keberadaan mereka di wilayah baru rentan memicu konflik dengan penggarap lahan. Di sana, kawanan itu sulit mencari makanan.
Berdasarkan catatan Kompas, deforestasi memicu penyusutan populasi satwa dilindungi di ekosistem Bukit Tigapuluh. Hingga tahun 1980 masih terdapat sekitar 400 individu gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di wilayah itu. Namun, 30 tahun kemudian, tersisa tak sampai 150 individu.
Kepala Adat Suku Talang Mamak, Patih Serunai, mengatakan, kebutuhan habitat satwa yang ideal makin mendesak. Alasannya, konflik dengan manusia di wilayah itu terus memanas. Menurut Serunai, konflik terjadi sejak diberikannya izin-izin pemerintah untuk membuka hutan tanaman industri di dalam ruang jelajah gajah tahun 2010. Tidak hanya itu, pemberian izin itu diikuti gelombang migrasi pendatang. Mereka ikut merambah hutan.
”Karena rumahnya dirusak, gajah makin kehilangan tempat untuk makan dan hidup. Di mana-mana (gajah) diusir,” katanya.
Karena rumahnya dirusak, gajah makin kehilangan tempat untuk makan dan hidup. Di mana-mana (gajah) diusir.
Wilayah adat Suku Talang Mamak di Desa Suo-suo merupakan bagian yang bakal masuk area KEE. Namun, Serunai mempertanyakan kejelasan rencana pemerintah membuka KEE. ”Sampai sekarang belum ada,” tambahnya.
Semula, KEE direncanakan berjalan akhir tahun lalu. Rencana itu berupa pembangunan pagar listrik sepanjang 120 kilometer, dilengkapi pusat pelatihan gajah serta pengembangan ekowisata.
Menurut Manan, warga Muara Kilis, masyarakat di sekitar ekosistem Bukit Tigapuluh mempertanyakan kejelasan pembangunan KEE. Meningkatnya konflik telah membuat kedua belah pihak, baik warga maupun satwa, kian agresif. Warga berharap KEE dapat menjadi solusi atas konflik berkepanjangan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi Rahmad Saleh mengatakan, 30 persen lahan KEE sudah dirambah dan menjadi kawasan budidaya korporasi. Lokasinya berada pada konsesi restorasi PT Alam Bukit Tigapuluh dan hutan tanaman industri karet PT Lestari Asri Jaya.
Kondisi hutan yang terdegradasi itu tidak dapat menjamin konflik dengan satwa selesai. Masyarakat harus diberdayakan hidup berdampingan dengan satwa. ”Kami masih mengupayakan sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya.
Pihaknya berharap tahun ini juga pembangunan pagar listrik dapat berjalan. Pagar listrik akan dapat menghalau gajah memasuki perkebunan warga yang berada di luar zona hutan.