Penanganan konflik manusia dan satwa di Sumatera salah satunya bisa dilakukan dengan menjaga kawasan konservasi. Kawasan ini jadi tumpuan pelestarian satwa.
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Keberadaan kawasan konservasi, baik di dalam maupun luar habitat alami, menjadi benteng terakhir bagi upaya pelestarian satwa yang terancam punah. Namun, upaya itu tetap saja bukannya tanpa kendala. Upaya pelestarian gajah sumatra (Elephant maximus sumatranus) antara lain dilakukan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung serta di Pusat Latihan Gajah di Kabupaten Banyuasin dan Lahat, Sumatera Selatan.
Upaya itu mulai membuahkan hasil. Koordinator Lapangan Elephant Response Unit (ERU) TNWK Nazaruddin mengatakan, 5 gajah lahir di kamp ERU di TNWK dalam lima tahun terakhir. Gajah jinak yang dikonservasi di kamp ERU berjumlah 27 ekor. Di antaranya ada 8 gajah betina dewasa dan 13 gajah jantan dewasa yang siap bereproduksi.
Selama ini, upaya mengawinkan gajah dilakukan secara alami. Pada masa kawin, mahot atau pawang gajah hanya mendekatkan gajah jantan dan betina agar terjadi perkawinan. Meski upaya pembiakan terus dilakukan, gajah jinak yang dikonservasi di ERU belum bisa dilepasliarkan. Gajah- gajah itu masih digunakan untuk patroli dan menghalau gajah liar agar tidak terjadi konflik antara gajah liar dan manusia.
Menurut Nazaruddin, sebelum ada tim ERU, terjadi lebih dari 400 konflik antara manusia dan gajah. Kini, jumlah konflik bisa ditekan hingga kurang dari 200 konflik per tahun. Upaya pembiakan gajah juga dilakukan di PLG Way Kambas. Pada 2015-2019, ada 11 gajah yang lahir di sana. Kini, jumlah gajah jinak yang dipelihara di PLG TBWK ada 42 ekor.
Sementara di PLG Padang Sugihan Banyuasin terdapat 30 gajah dan di PLG Lahat ada 10 gajah. Gajah-gajah yang sudah jinak itu sebelumnya berkonflik dengan manusia. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel Genman Suhefti, Selasa (18/2/2020), mengatakan, sejumlah kendala dialami di kawasan konservasi, terutama terkait keterbatasan habitat akibat berbenturan dengan lahan milik masyarakat.
Di kedua kawasan PLG itu memang dikelilingi perkebunan atau permukiman masyarakat. Konflik antara manusia dan gajah pernah terjadi di PLG Kawasan Bukit Serelo. Delapan gajah terpaksa dipindahkan ke Padang Sugihan karena adanya konflik dengan kelompok warga. Konflik terjadi karena adanya sengketa lahan. Gajah dikembalikan lagi setelah proses hukum sengketa lahan selesai pada November 2019.
Konservasi badak
Konservasi badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dilakukan di Suaka Rhino Sumatra (SRS) TNWK. Bahkan, SRS ini satu-satunya tempat pengembangbiakan badak sumatra di Indonesia. Sejak dibangun pada 1996, dua anak badak lahir di SRS.
Andatu, bayi badak jantan pertama dari pasangan badak Andalas dan Ratu, lahir di SRS pada 23 Juni 2012. Adapun Delilah, bayi badak betina yang merupakan anak kedua pasangan induk badak itu, lahir pada 12 Mei 2016. Pada awal pembangunannya, SRS yang berukuran 100 hektar hanya dihuni empat badak sumatra. Mereka meliputi badak betina Ratu, Rosa, dan Bina serta badak jantan Torgamba (mati pada 2011). Setiap hari, badak-badak diamati dan dipelajari tim dokter hewan.
Kini, setelah lebih dari dua dekade, SRS telah dihuni tujuh badak. Empat di antaranya badak betina, yakni Ratu, Rosa, Bina, dan Delilah. Adapun tiga lainnya jantan, meliputi Andalas, Andatu, dan Harapan. Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia Widodo S Ramono mengatakan, populasi badak di SRS dinilai sudah melebihi kapasitas. Hal ini karena satu badak membutuhkan ruang jelajah 10-20 hektar.
Bertepatan dengan Peringatan Hari Badak Sedunia 2019, dilakukan perluasan SRS. Untuk bisa menampung 7 badak, kandang baru SRS dibangun di area 150 hektar. Dari area itu, 120 hektar dialokasikan untuk kandang pemeliharaan. Adapun 30 hektar lainnya untuk pembangunan ruang sarana, koridor penghubung, akses jalan, dan pos penjagaan.
Saat ini, populasi badak diprediksi hanya 80 ekor dan terisolasi di beberapa wilayah. Sementara upaya pelestarian orangutan juga dilakukan di kawasan konservasi yang menjadi habitat alami. Selain itu, dilakukan pula penyelamatan orangutan, rehabilitasi, dan introduksi ke habitat baru.
Direktur Konservasi Yayasan Ekosistem Lestari M Yakob Ishadamy, di Medan, mengatakan, upaya konservasi yang paling penting dilakukan adalah mengurangi ancaman di habitat alami. ”Hingga kini, orangutan sumatra dan orangutan tapanuli masih terus terancam oleh kerusakan dan fragmentasi habitat, perburuan, dan perdagangan satwa ilegal,” katanya.
Yayasan Ekosistem Lestari- Program Konservasi Orangutan Sumatra (YEL-SOCP) bekerja sama dengan BBKSDA Sumut membuka Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang. Sejak 2001, sejumlah 402 orangutan direhabilitasi, 287 di antaranya dilepasliarkan ke habitat baru di hutan Bukti Tigapuluh (Jambi) dan Jantho (Aceh).
Keberadaan kawasan konservasi mulai memperlihatkan titik terang pelestarian satwa yang terancam punah. Untuk itu, dukungan dan penguatan terhadap kawasan konservasi perlu terus dilakukan.