Anak atau remaja yang menjadi korban perundungan berpotensi mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, mulai dari tingkat ringan hingga berat.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Hampir seminggu berlalu, DS (72) belum bisa melupakan kekerasan yang menimpa cucunya, CA (16). Warga Desa Tamansari, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, itu ikut merasa terluka dan sakit hati hingga enggan menerima permohonan maaf dari keluarga pelaku yang disampaikan beberapa waktu lalu.
”Saya bilang kepada mereka, silakan saja minta maaf kepada Tuhan,” ujarnya dingin, Senin (17/2/2020).
CA menjadi korban perundungan yang dilakukan tiga rekannya di salah satu SMP di Kecamatan Butuh, Selasa (11/2). Dua pelaku, TP (15) dan DF (15), merupakan kakak kelasnya dan satu orang lainnya, UH (14), teman sekelas. Mereka menendangi dan memukuli korban menggunakan gagang sapu. Hasil pemeriksaan dokter yang disaksikan SR (47), ibu korban, kekerasan itu mengakibatkan leher, kaki, paha, dan pinggang CA lebam.
Saat dikunjungi pada Senin siang, CA tetap mau bersalaman dan menyambut dengan senyuman. Namun, beberapa saat kemudian, ia terkesan menarik diri dan duduk dekat MU (22), kakaknya, seolah mencari perlindungan. Ia pun lebih banyak menggelengkan kepala saat ditanyai. Keluarganya prihatin dan sedih karena CA tidak mau kembali bersekolah.
Tindak kekerasan yang dilakukan rekannya tidak hanya terjadi sekali, tetapi sering dilakukan tiga pelaku dalam beberapa bulan terakhir. Pernah suatu kali CA pulang dalam kondisi basah kuyup karena diguyur air oleh pelaku. Beberapa kali CA juga mengeluh kesakitan akibat dipukuli temannya. Namun, bekas luka ataupun bekas pemukulan sering kali tidak diketahui SR karena CA lebih sering memakai celana dan baju berlengan panjang saat di rumah.
CA juga kerap mengeluh dimintai uang secara paksa oleh temannya. ”Saking kasarnya, jahitan di tepi kantong sering kali rusak dan terpaksa saya jahit ulang,” kata SR.
Melihat dampak luka fisik dan trauma yang diderita putrinya, SR memutuskan memindahkan anaknya bersekolah di tempat lain. ”Kami berencana membawa CA pindah sekolah saja,” ujarnya.
Namun, dengan keputusan membawa CA pindah sekolah, bukan berarti keluarga CA membuka peluang adanya jalan damai. DS dan SR menegaskan bahwa mereka akan tetap menempuh jalur hukum.
”Perbuatan para pelaku ini harus diganjar dengan hukuman karena apa yang sudah mereka lakukan telah mengancam nyawa anak saya (CA),” kata SR.
Berkebutuhan khusus
CA merupakan anak berkebutuhan khusus, dengan kemampuan pembelajaran yang lemah. Saat menjalani tes intelegensia yang diselenggarakan sebuah lembaga di Magelang saat duduk di bangku kelas 1 SD, CA dinyatakan memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Kembali menjalani tes saat duduk di bangku kelas 6 SD, dia dinyatakan memiliki kemampuan sebanding dengan rata-rata kemampuan anak normal.
Namun, SR mengaku, dalam keseharian di sekolah, CA tetap memiliki kemampuan yang lemah, terutama untuk belajar ilmu-ilmu eksak, seperti Matematika. Kendati demikian, dia pun menolak jika kemudian CA dianggap tidak mampu dan harus belajar di sekolah luar biasa (SLB).
”Pemindahan ke SLB juga bukan berarti bagian dari penyelesaian masalah,” ujarnya.
Sementara itu, SP (55), orangtua DF, meminta maaf atas perbuatan anaknya. Ia pun pasrah dengan proses hukum atas anaknya.
Akhmad, kepala sekolah tempat CA menuntut ilmu, juga menunggu proses hukum yang ditangani Polres Purworejo. Jika kasus ini kemudian bisa diselesaikan di luar jalur hukum, ketiga pelaku diterima lagi bersekolah.
”Anak-anak tetap berhak mendapatkan pendidikan,” katanya singkat tanpa mau memberikan keterangan lebih lanjut.
Dampak psikologis
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Magelang, Rayinda Faizah, menilai, kasus perundungan itu merupakan luapan emosi pelaku yang tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian di rumah. Adapun korban biasanya dipilih dari mereka yang lemah dan tidak melawan.
Korban perundungan berpotensi mengalami depresi dan gangguan jiwa mulai dari tingkat ringan hingga berat.
Ketua Kelompok Staf Medis Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soerojo Magelang, Ratna Dewi, mengatakan, kasus perundungan sudah lama ada dan banyak terjadi di sekolah. Perundungan tidak bisa diabaikan karena bisa menimbulkan dampak psikotik atau gangguan kejiwaan.
”Korban perundungan berpotensi mengalami depresi dan gangguan jiwa mulai dari tingkat ringan hingga berat,” ujarnya.
Dari data kasus gangguan jiwa yang ditangani RSJ Prof Dr Soerojo, 25 persen kasus bermula dari perundungan di sekolah. Gejala depresi yang muncul antara lain perilaku siswa yang mendadak mengeluh sakit saat hendak ke sekolah, seperti merasa pusing, mual, dan demam. Perundungan juga membuat korban mengalami penurunan prestasi, tidak percaya diri, membenci diri sendiri, hingga paling fatal berujung percobaan bunuh diri.
”Hal terpenting yang dilakukan orangtua adalah mendampingi anak-anaknya agar tidak menjadi korban ataupun pelaku (perundungan). Di sisi lain, sekolah pun harus menciptakan lingkungan anti-bullying (perundungan),” kata Ratna.