Kebutuhan soal keberadaan ”coast guard” sebagai penjaga keamanan perairan Indonesia kini semakin disadari. Hal itu juga dicetuskan Presiden saat berharap Bakamla dapat bertransformasi menjadi ”coast guard” RI.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Insiden di Laut Natuna Utara akhir 2019 hingga awal 2020 membuka mata bahwa laut harus dijaga. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada TNI yang telah dengan cepat merespons kehadiran kapal ikan China secara ilegal dengan kapal coast guard-nya di wilayah yurisdiksi, yaitu di zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Namun, kehadiran Badan Keamanan Laut (Bakamla) juga mencuri perhatian dan berhasil membangun wacana tentang pentingnya kehadiran coast guard dalam arsitektur keamanan Indonesia. Sebenarnya Bakamla bukanlah hal yang baru. Pemikiran tentang pentingnya keamanan maritim yang terintegrasi juga menjadi dasar pemikiran Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sejak 1972, yang kemudian diatur kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005.
Masalah pentingnya keamanan laut semakin mendapat penekanan sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan secara spesifik menyebutkan Bakamla dengan tugas menegakkan hukum di wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan wilayah yurisdiksi.
Sejak awal, masalah yang mendasar adalah begitu banyak instansi yang tugasnya saling terkait, tetapi tidak terkoordinasi. Upaya menyatukan 13 instansi dalam satu koordinasi merupakan hal yang pelik. Instansi-instansi itu bekerja dengan tugas pokok masing-masing. Kerap kali hal ini membuat operasi tidak efisien. Sebab, kapal-kapal milik ke-13 instansi itu semuanya berpatroli. Akibatnya, biayanya sangat besar, padahal anggaran negara terbatas.
Selain itu, terjadi ketidakefektifan. Misalnya, patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak punya kewenangan untuk menghentikan, memeriksa, dan menangkap saat menjumpai kapal yang diduga membawa kayu-kayu curian.
Pada akhirnya terpikir untuk membentuk sebuah instansi yang menangani berbagai tugas terkait keamanan laut. UU No 17/2008 tentang Pelayaran mulai mengamanatkan Indonesia Sea and Coast Guard. Namun, rencana itu tidak kesampaian hingga hari ini. Pernyataan Presiden Joko Widodo saat melantik Laksamana Madya Aan Kurnia sebagai Kepala Bakamla bahwa Bakamla harus bertransformasi menjadi coast guard kembali menjadi angin segar dan diharapkan bisa menjadi kenyataan.
”Betul-betul kita memiliki sebuah coast guard yang namanya Bakamla, yang diberi kewenangan di perairan kita,” kata Presiden.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Iis Gindarsah, mengatakan, pekerjaan terbesar Bakamla saat ini adalah mengembangkan kredibilitas dan kemampuan kelembagaan sebagai satuan penjaga pantai atau coast guard utama ke depan. Pemerintah perlu segera menuntaskan fusi fungsi-fungsi keamanan laut ke dalam Bakamla. ”Penyelesaian omnibus law tentang keamanan laut dalam Prolegnas 2020 pun sejalan dengan agenda strategis tersebut,” katanya.
Mengapa ”coast guard”
Tren pentingnya keamanan maritim adalah hal yang berkembang seiring dengan globalisasi. Laut memiliki karakter yang sambung-menyambung sehingga menjadi medium utama untuk transportasi dan komunikasi, selain tentunya menjadi medium tersedianya sumber daya alam dan perpanjangan dominasi atau kedaulatan.
Berbeda dengan darat yang mutlak merupakan wilayah kedaulatan tempat manusia bermukim, laut pada batasan tertentu adalah milik bersama penduduk dunia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa laut harus dikelola bersama demi kesejahteraan bersama. Di sisi lain, laut jadi sumber mara bahaya yang juga bisa mengancam kepentingan bersama.
Hal ini yang mendasari realitas bahwa angkatan laut sedunia, termasuk TNI AL, memiliki tugas penegakan hukum dan diplomasi, selain menjaga kedaulatan. Namun, ada tren dunia yang melihat bahwa penggunaan militer sebagai alat penegakan hukum tidak tepat. Apalagi, pengguna laut umumnya kalangan sipil. Oleh karena itu, muncul coast guard, yang dianggap pendekatannya lebih lunak daripada militer. Peran angkatan laut untuk penegakan hukum dianggap menimbulkan eskalasi keamanan yang tidak diinginkan semua pihak. Di sisi lain, angkatan laut memiliki kekuatan dalam analisis ancaman, pemikiran, dan perencanaan strategis. Berhubung laut saling berhubungan dan keamanan maritim adalah kepentingan bersama, banyak negara kemudian mendirikan coast guard.
Walaupun diawali oleh Amerika Serikat, coast guard semakin dilirik di kawasan Asia Pasifik sebagai solusi sejak China membangun coast guard. Yang paling menarik, belum ada aturan ketat tentang coast guard. Walau ada kesepakatan bersama bahwa coast guard tak memiliki senjata seberat kapal-kapal angkatan laut, tetapi kenyataannya kapal-kapal negara maju, seperti China dan Jepang, bersenjata canggih.
Bakamla hari ini
Mantan Kepala Bakamla Laksamana Madya (Purn) Achmad Taufiqoerrochman yang baru saja digantikan Aan Kurnia menjelaskan, masalah utama Bakamla ada pada sumber daya manusia. Sejak jadi Kepala Bakamla pada September 2018, ia melihat adanya kegamangan dalam mendefinisikan coast guard dan Bakamla sebagai fungsi coast guard.
Oleh karena itu, dalam setahun masa jabatannya, Taufik membuat beberapa pembenahan yang bersifat strategis. Beberapa di antaranya ia menggarisbawahi bahwa coast guard adalah institusi berseragam dengan rantai komando yang jelas. Kualitas personel yang berasal dari instansi yang berbeda juga menjadi kendala. Oleh karena itu, Taufik melaksanakan pendidikan dasar militer bagi para insan Bakamla walaupun karakter tugasnya nantinya pada penegakan hukum.
”Yang berat itu kultur dan tradisi harus dibangun. Bakamla itu bukan tugas administratif dan bukan satuan tugas, melainkan permanen dengan tugas utamanya patroli,” kata Taufik.
Dari sisi material, Taufik menghitung Bakamla membutuhkan 77 kapal, sementara yang tersedia baru 10 kapal. Dari sisi awak, kapal yang harus diawaki 78 orang dengan kualifikasi terstandar baru bisa diisi 38 yang merupakan kemajuan signifikan setelah tahun lalu baru bisa diisi 16 awak.
”Yang susah itu di tingkat operasional dan taktis, yang level bawah ini yang belum,” katanya.
Dasar dari manajemen laut adalah sinergi dan koordinasi. Hal ini yang perlu menjadi dasar pemikiran pemerintah saat menyusun manajemen keamanan maritim. Tidak ada sebuah instansi yang bisa menjaga laut seorang diri. Selain itu, coast guard setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan kemampuan, kultur strategis, dan arsitektur keamanan yang ada.
Di level pemerintah, dalam hal ini Presiden atau Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, perlu mendefinisikan kondisi akhir yang diinginkan. Masalah keamanan maritim erat kaitannya dengan situasi geopolitik kawasan, global, tetapi juga erat dengan keamanan domestik, bahkan keamanan insani. Masalah keamanan maritim yang dihadapi Indonesia saat ini sangat lebar rentangnya, mulai dari pencurian ikan, klaim ZEE, bajak laut, sampah plastik, hingga terorisme.
Di level operasional, tidak ada cara lain selain integrasi kapal-kapal yang digunakan oleh berbagai instansi, begitupun rencana operasinya. Dengan adanya kendala anggaran, hal yang harus menjadi prioritas adalah ketercukupan kemampuan pengawasan mulai dari intelijen manusia, seperti nelayan hingga pesawat nirawak. Yang paling penting adalah kerelaan dan budaya saling berbagai informasi, tidak saja antarinstansi, tetapi juga antarnegara. Sementara di level teknis, dibutuhkan ahli-ahli dengan kemampuan spesifik terkait keamanan laut.
Terakhir, jangan berkecil hati karena pembangunan coast guard yang mumpuni bukan proses beberapa tahun, melainkan puluhan tahun. Dibutuhkan perencanaan jangka panjang dengan implementasi yang konsisten.