Mereka Mengolah Empati Jadi Donasi
Bagi sebagian orang, penyakit atau keterbatasan yang dialami seseorang menggerakkan mereka untuk membantu. Berbekal jejaring di media sosial, informasi disebarluaskan demi meraih dukungan pendanaan bagi yang membutuhkan.
Cindy Silviana (31) membaca Kompas terbitan 10 Februari 2020. Salah satu artikel mengangkat kisah tentang anak berusia empat tahun yang mengidap kanker darah, tumor, dan pembesaran limpa di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Jurnalis di salah satu media luar negeri ini terharu membaca kisah Dion Saputra, penyintas kanker darah itu. Ia berempati terhadap Lisdayanti (26), ibunda Dion. ”Anakku, Kayana, seusia dengan Dion,” katanya saat ditemui Selasa (18/2/2020), di Kuningan, Jakarta Selatan.
Melalui seorang kenalan, Cindy meminta kontak wartawan yang menulis kisah Dion. Dari situ, ia mendapat kontak Lisdayanti dan segera menghubungi ibu Dion itu. Ia pun menanyakan kebutuhan mendesak yang diperlukan dan meminta nomor rekening.
Baca juga : Dari Aksi Solidaritas hingga Pentas Wayang untuk Dukung Baiq Nuril
Tak berhenti sampai di situ, Cindy juga membagi kisah Dion di media sosial dan di sejumlah grup Whatsapp. Ia sekaligus menyertakan kontak beserta nomor rekening Lisdayanti.
”Tadinya tidak kepikiran buat galang dana. Tetapi setelah dipikir ulang, kalau bisa membikin orang tergerak dan meringankan beban Dion, ya, kenapa tidak? Toh, gue tidak mengambil keuntungan apa-apa. Yang mau membantu Dion, bisa langsung menghubungi melalui kontak yang aku sertakan di postingan,” katanya.
Ia sempat khawatir dituduh melakukan pencitraan atau panjat sosial (pansos) dengan membagi cerita Dion di media sosial. Tetapi ia kembali ke niat awal, yakni meringankan beban keluarga Dion.
Cindy memilih membagi kisah kemanusiaan itu melalui media sosial karena media itulah yang dirasanya paling mangkus dan sangkil. Beberapa kolega mengontaknya terkait informasi itu. Ia pun mengarahkan agar menghubungi keluarga yang bersangkutan agar donasi langsung diterima pihak yang bersangkutan.
”Jadi, menurut gue, ya, sudah. Terus kalau mau dibilang pansos, gue tidak peduli. Toh, niatnya cuma membantu orang,” katanya.
Baca juga : Solidaritas Dunia untuk Korban Gempa
Di Tangerang Selatan, Banten, Gina Mardani Cahyaningtyas (23) tak sengaja menemukan panti asuhan tunanetra di wilayah Serpong akhir Desember lalu. Waktu itu, ia menghadiri pesta perkawinan di sekitar panti.
Sebelumnya, dia penasaran karena banyak tunanetra secara mandiri naik transportasi umum di Tangerang Selatan. Padahal, fasilitas untuk disabilitas belum begitu memadai.
”Nah, dari situ, penasaran. Pasti ada pusat pendidikan tunanetra di sekitar sini. Eh, ternyata ketemu pas kondangan itu,” katanya.
Bersama temannya, Marie Farisa Fuadyah (24), Gina kembali ke panti tunanetra sekitar dua minggu setelah pertemuan tak sengaja itu. Dari cerita pengurus panti, Gina dan Marie mengetahui bahwa panti ini mengajarkan tunanetra membaca Al Quran berhuruf Braille dan membuat kerajinan tangan. Kebetulan, panti berencana membeli mesin cetak Braille yang baru.
Di saat bersamaan, mereka berdua berencana untuk bertemu sahabat lama sewaktu SMA. Mereka pun sepakat menggelar pertemuan di panti itu saja pada 2 Februari 2020.
”Daripada kumpul, doang. Ya, sudah kami buka donasi, buka buat umum. Mana tahu, banyak yang mau,” kata lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, ini.
Mereka pun membuat poster rencana kegiatan itu. Gina membagi ke sejumlah grup Whatsapp, juga kepada kolega yang punya keprihatinan sosial.
Baca juga : Masyarakat Tergerak Membantu Winarni
Walhasil, terkumpul uang Rp 3 juta. Semuanya diberikan ke panti. Gina pun memberi tahu semua donatur sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Sebagai anak muda yang sama-sama bermastautin di Tangsel, Gina dan Marie ingin menunjukkan bahwa anak Tangsel tidak hanya identik dengan mal. Mereka juga peduli terhadap persoalan sosial di sekitar.
”Daripada kerja dan nongkrong terus, mending sebagian yang didapat didonasikan buat membantu orang lain. Apalagi panti ini juga di Tangsel, di tempat kami,” katanya.
Viviani (49), pemilik akun Instagram @vivipdharapan, sudah dua tahun ini mulai melakukan penggalangan dana melalui media sosial. Hingga Selasa (18/2/2020), ia telah memiliki pengikut 14.700 orang dan telah mengunggah 4.196 konten.
Ibu rumah tangga ini dulunya hanya sebatas membagikan nasi bungkus kepada pemulung di tempat tinggalnya di Bandung, Jawa Barat. Viviani juga beberapa kali memberikan donasi kepada lembaga kemanusiaan, meski tidak seberapa. Karena ingin lebih dekat dengan para penerima bantuan, ia berinisiatif melakukan penggalangan dana lewat Instagram.
”Sering kali dulu saya memberikan donasi, tapi kita tidak tahu target yang dibantu. Kita tidak tahu diberikan kepada orang yang mana,” katanya.
Selama ini, dalam menyalurkan bantuan, Vivi tak pernah terlewat untuk mencantumkan inisial donatur dan nominal yang didonasikan. Hal ini tidak lain adalah untuk menghindari kesalahpahaman antara donatur dan dirinya.
Baca juga : FKD Kompas Gramedia Sumbang Buku bagi Anak Papua
Menurut dia, penggalangan dana melalui media sosial sangat efektif. Dalam lima hari saja, misalnya, Viviani dapat mengumpulkan dana hingga Rp 10 juta. Teranyar, dalam 3-4 hari, ia berhasil mengumpulkan dana Rp 6,8 juta untuk Aep, korban kecelakaan di Kabupaten Majalengka.
”Kalau kerja sama dengan donatur lain, jumlahnya bisa Rp 20 juta-30 juta. Kalau sekarang, semakin banyak yang minta dibantu, jadi fokus donatur relatif terbagi,” katanya.
Upaya Viviani tidak selalu mulus. Sesekali ia pernah mendapat tuduhan negatif. Misalnya, saat membagikan nasi bungkus untuk pemulung. Ada salah satu orang yang menganggap bahwa hal itu adalah salah satu bentuk upaya penyebaran agama tertentu.
”Padahal, bantuan ini sama sekali tidak mengenal agama. Saya siap jika ada yang mau ikut kegiatan saya atau menanyakan langsung kepada penerima donasi,” ujarnya.
Menurut Viviani, tujuannya mengunggah foto atau video kegiatannya di Instagram adalah bentuk dari transparansi. Ia juga berharap, informasi yang tersebar secara luas tersebut dapat menarik simpati lebih banyak netizen.
Itu pun bukan tanpa tantangan bagi Viviani. Suatu kali ia pernah mendapat penolakan dari anak penerima donasi lantaran mengunggah video penyaluran bantuan meskipun Viviani sudah mengantongi persetujuan dari penerima. Sang anak tetap keberatan sekalipun video hanya disebarkan kepada para donatur.
”Si penerima tidak berani lagi menerima donasi dari saya karena takut dimarahi oleh anaknya. Akhirnya, terpaksa kami berikan ke orang lain,” ungkapnya.
Viviani berharap, kegiatannya mampu menginspirasi banyak orang. Menurut dia, masih banyak orang yang membutuhkan bantuan. ”Banyak yang merasa takut (menjadi donatur) atau dikira sombong. Padahal, kalau tidak memberikan uang, mengajak mengobrol atau bersalaman saja sudah cukup bagi mereka yang membutuhkan bantuan,” ujarnya.
Upaya Viviani tidak selalu mulus. Sesekali ia pernah mendapat tuduhan negatif. Misalnya, saat membagikan nasi bungkus untuk pemulung. Ada salah satu orang yang menganggap bahwa hal itu adalah salah satu bentuk upaya penyebaran agama tertentu.
Pencarian makna
Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo, menjelaskan, hal di atas merupakan bentuk pencarian makna bagi individu yang secara finansial berkecukupan serta didukung pengetahuan memadai. Sering kali, apa yang dilakukan oleh lingkungan dan negara dinilai belum memadai untuk menjawab persoalan sosial yang mereka jumpai.
”Oleh sebab itu, mereka mencari inisiatif-inisiatif baru agar hidup mereka bermakna,” katanya.
Dia menilai itu sebagai hal positif. Di saat bersamaan, ada anak muda lain yang mencari makna hidup melalui jalur ekstrem seperti bergabung dengan organisasi radikal. ”Ada anak muda yang bosan dengan situasi politik kemudian berekspresi melalui idealisme yang berlebihan,” katanya.
Setyo menambahkan, waktu akan menjadi ujian bagi individu yang melakukan praktik baik itu, yakni apakah semua tindakan dilakukan dengan jernih atau sekadar euforia sesaat.