Problem di Balik Persebaran Penduduk
Lima belas tahun lagi, jumlah penduduk akan mencapai lebih dari 300 juta jiwa. Jumlah penduduk yang semakin besar bisa menjadi bumerang bagi perekonomian dan ancaman keamanan pangan.
Minimnya ketersediaan data dan informasi terkait persebaran penduduk Indonesia bukan tidak mungkin bermuara pada kebijakan yang bias. Fenomena itu berpotensi memunculkan sejumlah persoalan di masa mendatang, mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga penyediaan pangan.
Sebagai salah satu negara berpenduduk besar di dunia, sekaligus negara berbentuk kepulauan, Indonesia memerlukan pencermatan lebih atas persebaran penduduk. Potret besarnya jumlah penduduk Indonesia terekam dari data yang dipublikasikan Bank Dunia, awal 2019. Jumlah penduduk Indonesia tercatat berada di peringkat keempat dunia dengan proporsi lebih kurang 3,5 persen dari total 7,7 miliar populasi dunia.
Dengan penduduk yang sedemikian besar, wajar dipahami jika mengelola negara ini bukanlah persoalan mudah. Selain itu, ada 17.499 pulau yang tersebar dari barat hingga timur di wilayah RI. Luas total wilayah negara ini mencapai 7,81 juta kilometer persegi yang terdiri atas 2,01 juta kilometer persegi wilayah daratan dan 3,25 juta kilometer persegi kawasan laut. Luasnya wilayah negara juga berbanding lurus dengan banyaknya wilayah administratif pemerintahan.
Pemerintahan Indonesia terbagi dari 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Sampai dengan level terkecil, wilayah pemerintahan mencakup 75.436 desa (74.517 desa dan 919 nagari di Sumatera Barat). Tak ketinggalan, 8.444 kelurahan dan 51 unit permukiman transmigrasi (UPT)/satuan permukiman transmigrasi (SPT), merujuk pada pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018.
Kawasan perdesaan dan perkotaan tentu memiliki karakteristik yang juga berbeda. Dari aspek ekonominya, kawasan perdesaan merujuk pada wilayah dengan kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Karakteristik ini cenderung berbeda di wilayah perkotaan yang umumnya lebih dipadati oleh aktivitas ekonomi industri, perdagangan, dan sektor jasa.
Semakin ke kota
Hasil penelitian Luh Kitty Katherina, Peneliti Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Agustus 2018, menunjukkan kecenderungan bahwa persebaran penduduk terus memusat di wilayah perkotaan. Masih merujuk pada hasil penelitian ini, paling tidak ada 12 kota yang mencatat pertumbuhan penduduk sehingga mengubah klasifikasi kota dari sisi demografi.
Mengacu Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, ada 5 klasifikasi yang diterapkan pada kota-kota di Indonesia. Klasifikasi pertama adalah kota megapolitan yang berpenduduk 10 juta jiwa atau lebih. Kota megapolitan umumnya terdiri atas dua atau lebih kota metropolitan.
Sementara klasifikasi selanjutnya adalah kota metropolitan dengan jumlah penduduk satu juta jiwa atau lebih dan berikutnya adalah kota besar (500.001-999.999 jiwa). Dua klasifikasi terakhir adalah kota sedang (berpenduduk 100.001-500.000 jiwa) dan kota kecil (50.001-100.000 jiwa).
Dalam tiga kali sensus penduduk terakhir, terdapat beberapa kota yang sudah berubah status, baik dari kota kecil menjadi kota sedang maupun dari kota sedang ke kota besar. Kota yang tercatat mengalami perubahan klasifikasi dari kota kecil ke sedang adalah Kota Bukittinggi, Payakumbuh, Salatiga, dan Mojokerto.
Selanjutnya, ada delapan kota lain yang juga berubah klasifikasi dari kota sedang menjadi kota besar. Tujuh dari delapan kota yang berubah klasifikasi tersebut terletak di luar Pulau Jawa, yaitu Kota Pekanbaru, Jambi, Batam, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda. Satu kota yang tersisa dalam perubahan klasifikasi kota sedang menjadi besar adalah Kota Bogor.
Problem perkotaan
Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan ketimbang perdesaan bisa memunculkan dua persoalan ekonomi. Potensi persoalan yang pertama adalah makin ketatnya persaingan meraih pekerjaan, seiring memadatnya penduduk di perkotaan. Konsekuensi lanjutan dari semakin ketatnya persaingan adalah pengangguran.
Data BPS lima tahun terakhir setidaknya menunjukkan gejala tersebut. Pada 2015, tercatat persentase tingkat pengangguran terbuka di wilayah perkotaan dan perdesaan telah menunjukkan perbedaan yang cukup jauh, yakni masing-masing 7,3 persen dan 4,9 persen, Tahun lalu, perbedaan tersebut masih cukup nyata di mana tingkat pengangguran terbuka di kota masih berkisar 6,3 persen dan di desa 3,5 persen.
Hal lain yang juga patut dicermati adalah kemungkinan munculnya problem pengangguran di kota-kota luar Jawa. Meningkatnya angka pengangguran di luar Jawa juga semakin menguat manakala perpindahan ibu kota ke Kalimantan Timur terealisasi. Hampir semua kota di Pulau Kalimantan bergeser dari kota sedang menjadi kota besar. Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi terjadi pada periode 1990-2000.
Persoalan di desa
Sementara itu, wilayah perdesaan akan berhadapan dengan problem minimnya sumber pertumbuhan ekonomi yang berujung pada kemiskinan. Kemiskinan antara wilayah kota dan desa pun kian nyata berbeda. Data BPS juga menunjukkan adanya kesenjangan persentase penduduk miskin yang kian melebar antara wilayah kota dan desa.
Tahun 2008, tercatat persentase penduduk miskin di kota dan desa masing-masing 11,65 persen dan 18,93 persen. Pada 2017, penduduk miskin di kota menurun signifikan menjadi 7,26 persen, sementara di desa masih 13,47 persen.
Data termutakhir tahun 2017 yang dipublikasikan BPS menunjukkan hampir separuh warga miskin mengandalkan sumber penghasilan utama pada sektor tradable, yakni pertanian. Kelompok penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian ini juga belum tentu berstatus petani pemilik lahan. Artinya, tidak tertutup kemungkinan sebagian dari mereka adalah petani buruh atau penggarap.
Penduduk dan pangan
Melihat gambaran yang terjadi di perdesaan, tidak menutup kemungkinan bahwa problem pangan tidak hanya disebabkan oleh pengaruh alam. Ketersediaan lahan boleh jadi menjadi salah satu problem signifikan terhadap menyusutnya produksi pangan. Publikasi BPS tahun lalu menunjukkan bahwa produksi beras Indonesia 31,31 juta ton. Angka tersebut menunjukkan penurunan sekitar 7,8 persen dari produksi beras 33,94 juta ton pada 2018.
Dengan kebutuhan per tahun sekitar 29,6 juta ton, maka surplus beras juga menurun. Pada 2018, Indonesia masih mengalami surplus beras sekitar 4,4 juta ton, sedangkan tahun berikutnya surplus beras hanya 1,5 juta ton. Di sisi lain, kenaikan penduduk Indonesia terus akan terjadi pada masa mendatang. Lima belas tahun lagi, jumlah penduduk akan mencapai lebih dari 300 juta jiwa.
Indonesia juga akan menghadapi periode bonus demografi penduduk. Proyeksi dari BPS melalui sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan, pada periode ini besarnya populasi masyarakat usia produktif (14-64 tahun) akan mencapai 67-68 persen pada 2020-2035.
Jumlah penduduk ke depan yang akan semakin besar, berusia produktif, dan sangat mungkin terpusat di perkotaan, bisa menjadi bumerang bagi perekonomian dan ancaman bagi keamanan pangan. Potret persebaran penduduk yang minim menjadi sebuah keniscayaan yang akan menentukan ketepatan pengambilan kebijakan pemerintah, khususnya dalam aspek penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan kebijakan pangan. (LITBANG KOMPAS)