Cara berpikir yang benar adalah ”siswa yang mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) harus terdaftar di SNMPTN (harus dapat mengikuti SNMPTN)”. Tak satu alasan pun yang dapat dibenarkan sedemikian rupa sehingga ada siswa yang sudah mendaftar SNMPTN, tetapi tak boleh (tak dapat) mengikuti SNMPTN hanya karena tidak bisa memermanenkan data. Begitulah cara berpikir yang benar.
Di berita itu tertulis 1.385.381 siswa sudah mendaftar. Dari jumlah itu, 1.272.655 siswa sudah memermanenkan data dan sisanya (112.726 siswa) tak melakukan permanen data sehingga tidak bisa mengikuti SNMPTN. Salah satu penyebabnya adalah ketidaksinkronan data sekolah dengan data pokok pendidikan.
Ketidaksinkronan data ataupun penyebab lain tidak akan terjadi jika cara berpikirnya benar, yaitu ”siswa yang mendaftar harus terdaftar”.
Ketika cara berpikirnya benar seperti itu, otomatis (terpaksa/dipaksa) terjadi sinergi antarsubsistem dan otomatis semua kendala akan terantisipasi sehingga semua berjalan lancar tanpa kendala.
Seandainya pun muncul kendala yang belum diantisipasi, akan ada upaya maksimum sedemikian rupa untuk memperbaikinya sehingga kendala tersebut kemudian teratasi.
Sesuai keinginan Kemendikbud untuk mengubah cara berpikir, persoalan ini dapat menjadi momen penting sekaligus peluang besar untuk memperbaiki cara berpikir, khususnya di Kemendikbud dan LTMPT (lembaga SNMPTN).
Caranya, mereka semua (jajaran di Kemendikbud dan LTMPT) dipaksa sedemikian rupa sehingga 112.726 siswa tersebut menjadi terdaftar di SNMPTN. Begitulah cara berpikir yang benar.
Semoga Mendikbud masih berminat dan bersemangat mengubah cara berpikir.
Indragung Priyambodo
Bumi Sentosa, Nanggewer Mekar,
Cibinong, Bogor, Jawa Barat
Mementingkan Kosakata Indonesia
Saya senang bahwa Kompas memuat tulisan Salahuddin Wahid dan Sumantoro Martowijoyo tentang bahasa Indonesia di rubrik Surat kepada Redaksi. Untuk penulis atau siapa saja yang mengharapkan bahasa Indonesia mempunyai kepribadian Indonesia, kata-kata serapan bahasa asing yang diterjemahkan penulisannya memang sangat menjengkelkan.
Mungkin Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) punya pengaruh juga. Maka, saya usul redaksi KBBI diganti saja dengan orang yang cinta kepada bahasa Indonesia. Penulis senang bahwa di KBBI tidak ada lagi kata merubah yang dulu pernah ada. Itu berarti bahwa KBBI juga dapat diperbaiki. Mungkin kata-kata jadian yang berasal dari bahasa asing yang diterjemahkan hanya penulisannya nanti juga dapat dihilangkan.
Penulis usul supaya kata-kata jadian diganti dengan kata-kata bahasa Indonesia. Terus terang untuk mengerti arti beberapa kata jadian itu, penulis kadang-kadang masih perlu membuka kamus bahasa asing. Misalnya, kata mitigasi bencana ternyata artinya ’menjinakkan bencana’.
Kata signifikan dalam statistika telah dipadankan dengan bermakna. Kata berarti dan bermakna memang artinya sama, tetapi untuk kata signifikan digunakan kata bermakna. Kalau erupsi diganti dengan meletus, apa salahnya? Kurang keren? Kalau cakap berbahasa asing, memang keren, tetapi jangan lalu tidak cinta berbahasa Indonesia.
V Sutarmo Setiadji
Utankayu Utara, Matraman,
Jakarta Timur