Produksi Freeport Indonesia berkurang seiring peralihan sistem penambahan terbuka ke bawah tanah. Freeport memastikan smelter tembaga akan dibangun di Gresik, Jawa Timur.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah kontrak PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, berakhir pada 2041, cadangan mineral tembaga di wilayah tersebut masih ada. Operasi tambang terbuka di Grasberg sudah berakhir, tetapi perusahaan tengah mengembangkan operasi tambang bawah tanah.
Freeport memastikan lokasi pembangunan smelter tembaga ada di Gresik, Jawa Timur.
Menurut Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas, produksi bijih tembaga perusahaan merosot 50 persen seiring penghentian kegiatan penambangan terbuka di Grasberg. Freeport tengah mengembangkan operasi tambang bawah tanah di Grasberg Block Cave, Blok DOZ, dan Blok DMLZ.
”Jadi, secara teknis kami mengambil cadangan yang ada di lapisan bawah (setelah cadangan tambang terbuka habis). Meskipun operasi kami habis pada 2041, masih ada cadangan Kucing Liar Block Cave yang bisa ditambang sampai 2050. Di bawahnya masih ada lagi cadangan yang cukup besar,” kata Tony dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Rabu (19/2/2020), di Jakarta.
Tony menambahkan, pihaknya memperkirakan mulai 2022 produksi bijih tembaga Freeport kembali normal, yaitu 220.000 ton per hari. Untuk operasi tambang bawah tanah sampai berakhirnya kontrak Freeport pada 2041, perusahaan menginvestasikan 15 miliar dollar AS atau setara Rp 202,5 triliun. Adapun untuk pembangunan smelter di Gresik dianggarkan dana 3 miliar dollar AS atau setara Rp 40,5 triliun.
”Rencana konstruksi (pembangunan smelter) mulai Agustus dan perlu waktu 27 bulan,” ujar Tony.
Produksi bijih tembaga Freeport memengaruhi pertumbuhan ekonomi Papua. Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (5/2/2020), menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Papua minus 15,72 persen pada 2019. ”Penyebab utama pertumbuhan ekonomi Papua negatif adalah penurunan produksi Freeport akibat pengalihan sistem tambang,” ujarnya (Kompas, 8/2/2020).
Dividen
Perihal pembagian dividen, Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama menyampaikan, hingga kini belum ada persetujuan untuk membagi dividen. Produksi yang kurang juga berdampak pada penerimaan daerah. Adapun mengenai penggunaan tenaga kerja, Freeport akan mengalihkan karyawan yang sebelumnya beroperasi di tambang terbuka ke tambang bawah tanah.
”Untuk penerimaan daerah, saya tidak tahu angkanya berapa. Tentu ada penerimaan daerah yang berkurang karena produksi kami juga berkurang hingga 50 persen,” kata Riza.
Sebelumnya, Tony menyampaikan, selama masa transisi dari operasi tambang terbuka ke bawah tanah tidak ada pembagian dividen. Kendati demikian, kata Tony, perusahaan tetap berkomitmen mengalokasikan dana sosial bagi Papua. Pada 2019, alokasi dana sosial mencapai 100 juta dollar AS (Kompas, 13/3/2019).
Pada 2018, Freeport memproduksi 2,2 juta ton konsentrat yang turun menjadi 1 juta ton konsentrat pada 2019. Penerimaan Freeport dari operasi tambang di Papua sepanjang 2018 adalah 6,5 miliar dollar AS akan ikut merosot menjadi 3,1 miliar dollar AS di 2019. Penerimaan perusahaan akan berangsur-angsur pulih dan stabil mulai 2023, yang diperkirakan mencapai 7,4 miliar dollar AS pada 2023.
Mengacu pada data perusahaan, Freeport menyetor dividen kepada Pemerintah RI terakhir kali pada 2017 sebesar 135 juta dollar AS. Saat itu, Pemerintah RI memiliki 9,36 persen saham Freeport. Per Desember 2018, saham pemerintah dialihkan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) sekaligus mengakuisisi saham Freeport menjadi 51,23 persen.
Pada 2012 sampai 2016 sama sekali tak ada setoran dividen lantaran berinvestasi besar untuk tambang bawah tanah. Pada 2011, dividen yang disetorkan Freeport kepada pemerintah 202 juta dollar AS. Adapun akumulasi dividen yang disetorkan kepada pemerintah sejak 1992 sampai dengan 2010 mencapai 1,085 miliar dollar AS. (APO)