Keperluan Rumah Tangga Bukan Hanya Tanggungan Suami
›
Keperluan Rumah Tangga Bukan...
Iklan
Keperluan Rumah Tangga Bukan Hanya Tanggungan Suami
RUU Ketahanan Keluarga dinilai kontroversial karena mengatur kewajiban suami dan istri. Hubungan suami dan istri yang dinamis tidak bisa diatur negara.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, yang sedang diusulkan masuk dalam prioritas Legislasi Nasional 2020, menuai kebingungan masyarakat. Pasal 25 Ayat (2) Huruf a, misalnya, seolah menggantungkan peran ekonomi keluarga pada sosok suami.
Pasal itu menyebut suami sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
Wiji Nurastuti (42), yang dihubungi Kompas, Kamis (20/2/2020), menilai aturan mengenai kewajiban suami itu mengambang. Sementara, istri diwajibkan mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Itu tertuang dalam pasal sama Ayat (3) Huruf a.
”Kalau suami tidak mampu menafkahi kebutuhan dasar rumah tangga, makan dan minum, sekolah anak bagaimana? Misalnya, suami mampunya sebulan Rp 500.000, (padahal pengeluaran lebih banyak) lalu istri harus bagaimana? Sedangkan urusan dalam rumah tangga semua jadi kewajiban istri,” katanya.
Perempuan yang berprofesi sebagai dosen itu mengatakan, ia dan suaminya yang berwirausaha juga memilih mengatur keuangan rumah tangga bersama. Keduanya memiliki tanggung jawab pembiayaan masing-masing meski tetap bisa saling mengisi kekurangan satu sama lain.
Penghasilannya, misalnya, hanya dipakai untuk kebutuhan pakaian anak, jajan, dan biaya sosial. Sementara pendapatan suami digunakan untuk membayar sekolah anak dan pengeluaran inti, seperti gas, listrik, dan biaya operasional mobil.
Membagi tanggungan keuangan itu juga dilakukan Elma Elantia (28) dan suami yang baru menjalani rumah tangga berdua beberapa tahun belakangan. Mereka memilih membagi penghasilan masing-masing untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang rumah tangga.
Misalnya, kebutuhan dasar, seperti makan dan tempat tinggal, menjadi beban suami, sementara penghasilan istri lebih banyak untuk tabungan darurat bersama.
Pembagian tugas
Tidak hanya dalam hal keperluan keuangan, pekerjaan domestik juga seharusnya tidak hanya dibebankan kepada istri sebagaimana disebutkan dalam RUU tersebut. Meski sama-sama bekerja, istri seperti Wiji dan Elma juga dengan jelas membagi tugas domestik bersama suami.
Hal yang sama juga dilakukan Andari Puji (34). Pendidik di universitas swasta tersebut berpendapat, suami sebagai kepala keluarga perlu mendelegasikan tugas kepada semua anggota keluarga. Dengan demikian, semua akan memiliki peran dan merasa menjadi bagian dari keluarga.
”Walaupun kami sama-sama bekerja, selama ini saya dan suami terbiasa membagi tugas domestik. Setiap hari, karena kami berdua harus berangkat pagi bersama, maka ketika pagi saya mengurus bagian dapur dan suami berberes rumah,” katanya.
Selain adanya kewajiban mengatur urusan rumah tangga, Pasal 25 dalam RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur agar istri bisa menjaga keutuhan keluarga. Kemudian memperlakukan suami dan anak secara baik serta memenuhi hak mereka sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Andari menilai aturan itu tidak bisa dipaksakan karena ketahanan rumah tangga seharusnya diusahakan suami dan istri, bukan oleh undang-undang. Adapun hubungan suami dan istri untuk membangun ketahanan rumah tangga bersifat dinamis dan terus-menerus.
”Ini bukan hubungan yang vertikal dan tidak dinamis, seperti manusia dan tuhannya. Itu artinya setiap manusia memiliki hak mengaktulisasikan dirinya dengan tetap menjalankan semua peran,” ujarnya.
Ketahanan rumah tangga seharusnya diusahakan suami dan istri, bukan oleh undang-undang.
Setali tiga uang, Komisioner Komisi Nasional Perempuan Siti Aminah Tardi, saat ditemui Kompas hari ini, mengatakan, dinamisme hubungan suami dan istri membuat negara tidak bisa masuk ke dalamnya.
Menurut dia, negara hanya bisa masuk wilayah privasi rumah tangga ketika ada kejahatan atau kekerasan. Ketika negara melalui sebuah UU telah memasuki lingkup privasi, hal itu dinilai melanggar hak warga negara.
”RUU Ketahanan Keluarga itu mendomestifikasi peran perempuan. Perempuan dibatasi perannya sebagai pengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan sebagainya,” katanya.