Berburu ”Nyale” Sekaligus Merayakan Kebersamaan
Festival Bau Nyale di Lombok Tengah masih menjadi magnet wisata bagi wisatawan domestik ataupun asing. Ribuan orang mencari cacing di Pantai Tanjung Aan, NTB, lokasi penangkapan cacing laut (”nyale”).
Tradisi Bau Nyale kesekian kalinya di Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti tahun-tahun sebelumnya, menyedot masyarakat dari Lombok dan wisatawan domestik ataupun asing. Tradisi terkait kisah legenda Putri Mandalika itu bertahan di tengah zaman yang serba digital. Sabtu (15/2/2020), ribuan orang menanti ”berkah” nyale di Pantai Tanjung Aan.
Jarum jam menunjukkan pukul 04.00 Wita, Sabtu itu, ketika pengunjung—tak terhitung jumlahnya—yang tidur di dalam tenda atau di atas pasir kawasan Pantai Tanjung Aan, Kuta, Lombok Tengah, terbangun. Lokasinya sekitar 70 kilometer ke arah selatan Kota Mataram, ibu kota NTB, atau sekitar 3 kilometer dari Pantai Kuta, Lombok.
Tidak perlu menunggu lama, mereka bersiap. Ada yang membawa serok ikan, lampu sorot, ember plastik, atau botol plastik. Setelah itu, mereka berlari bertelanjang kaki dan menceburkan diri ke laut di tengah pagi yang masih dingin dan gelap.
Pesta Bau Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat, bahkan ada sejak sebelum abad ke-16 Masehi.
Sepanjang 2 kilometer garis Tanjung Aan dipenuhi ribuan manusia. Laki-laki, perempuan, tua-muda, hingga anak-anak bersukacita. Mereka bergerak ke berbagai sisi, menyinari air laut yang keruh dengan lampu, dan berteriak seperti memanggil nyale yang berbentuk cacing laut datang.
Setiap melihat nyale, mereka langsung mengambilnya dengan serok, lalu memasukkannya ke dalam ember. Setiap kali ada yang berhasil menangkap, pencari lain mengerumuni, lalu bergerombol di lokasi sama.
Selama dua jam lebih hingga matahari terbit, pemandangan itu yang terlihat di sepanjang kawasan Pantai Tanjung Aan, termasuk di pantai-pantai di Kuta. Setelah terang, mereka lantas merapikan tenda, berkemas, kemudian pulang ke sejumlah wilayah di Lombok.
Tangkapan nyale biasanya dibawa pulang dalam ember tertutup atau botol-botol plastik. Jika dirasa masih kurang, mereka membeli kepada warga setempat yang mendapat tangkapan nyale berlimpah.
Tak mudah memang berburu nyale. Selain keberanian berenang lebih ke tengah, dibutuhkan juga kejelian melihat. Apalagi dalam kondisi gelap dengan penerangan seadanya. Ombak juga cukup besar di pagi hari karena bersamaan dengan air pasang.
Namun, bagi mereka yang sudah biasa, hadir dan bisa bertemu ”Putri Mandalika” yang menjelma menjadi nyale menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Apalagi, mereka meyakini, semakin banyak nyale, semakin besar keberuntungan panen yang diperoleh.
Bahkan, tak sedikit orangtua yang mengoleskan nyale ke kening anaknya agar bisa seperti Putri Mandalika, putri Raja Tunjung Bitu bernama Tonjang Beru. Wajahnya digambarkan elok, tubuhnya ramping, dan perangainya halus. Intinya, arif dan jelita.
”Dapat sedikit, tetapi senang bisa hadir. Memang selalu diusahakan tiap tahun ke sini,” kata Dahri (25) yang datang dari Batukliang, Lombok Tengah, sekitar 45 kilometer dari Tanjung Aan. Ia datang dan menginap sehari sebelumnya bersama kakaknya.
Bagi masyarakat, nyale yang diperoleh untuk dikonsumsi. Namun, ada juga yang memanfaatkannya sebagai pupuk pertanian.
Dalam situs pariwisata Dinas Pariwisata NTB disebutkan, pesta Bau Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat, bahkan ada sejak sebelum abad ke-16 Masehi.
Masyarakat Sasak di sepanjang pantai Lombok Tengah hingga selatan meyakini, tradisi ini memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat (bahaya) bagi orang yang meremehkannya. (Kompas, 14 Desember 2009)
Legenda putri
Tradisi Bau Nyale itu sendiri berkembang di Suku Sasak. Bau lebih kurang berarti menangkap, sedangkan nyale berarti cacing.
Legenda Putri Mandalika menjadi awal dimulainya tradisi Bau Nyale. Konon di Lombok Tengah bagian selatan (Kuta) ada seorang putri cantik jelita bernama Mandalika Nyale. Kecantikannya membuat banyak pangeran dari seantero negeri atau luar negeri datang meminang.
Namun, sang putri tak berani menjatuhkan pilihan kepada salah satu di antaranya. Ia tak ingin terjadi pertumpahan darah di antara mereka akibat pilihannya.
Demi menghindari pertumpahan darah, ia meminta para pangeran dan pendukungnya berkumpul di Pantai Kuta Lombok pada dini hari. Benar saja, Putri Mandalika tiba saat gelap didampingi para prajurit.
Lalu, ia bergegas melangkah ke atas batu besar di tepi pantai. Dari sana, ia menerjunkan diri dan hilang, tidak ditemukan mereka yang mencari. Tak lama, muncul cacing-cacing warna-warni yang diyakini sebagai jelmaan sang putri cantik itu.
Kisah lain, di tengah kegusarannya karena harus memilih satu pangeran, pada suatu malam ia melarikan diri ke Pantai Kuta dan naik ke puncak Bukit Seger. Dari sana, ia menceburkan diri.
Semalaman, para pangeran dan warga berusaha mencari sang putri. Namun, tidak ada satu pun yang menemukannya.
Di tengah kebingungan itu, saat subuh, mereka menemukan gumpalan cacing laut berwarna-warni. Cacing-cacing laut itu memiliki panjang 25 sentimeter, mengambang di permukaan laut, dan bisa ditangkap dengan mudah.
Mereka yakin bahwa cacing-cacing itu jelmaan Putri Mandalika yang mereka namakan nyale (Kompas, 12 November 1975).
Pemerintah sedang berupaya meningkatkan sektor pariwisata sebagai sumber devisa terbesar.
Cacing nyale sebenarnya adalah binatang laut yang hidup di batu-batu karang. Kemunculannya berkala setahun sekali antara bulan Februari dan Maret.
Seiring waktu, tradisi Bau Nyale tidak hanya jadi milik masyarakat Lombok, namun juga masyarakat luar Lombok, termasuk wisatawan asing.
Secara khusus, berburu cacing nyale menjadi rutinitas di daerah di wilayah Nusa Tenggara, seperti NTT. Cacing-cacing nyale muncul setahun sekali dan menjadi pesta berburu protein.
Setiap tahun, Bau Nyale juga menjadi kegiatan budaya sekaligus pariwisata. Siapa saja bisa datang dan menikmati kecantikan Putri Mandalika.
Setidaknya sejak 2017, tradisi Bau Nyale menjadi kalender wisata nasional bersama Festival Tambora dan Tour de Lombok-Sumbawa. Bau Nyale diadakan setiap Februari, sedangkan Festival Tambora setiap 11 April.
”Ini kali ketiga saya ikut Bau Nyale. Saya selalu senang melihat bagaimana kehangatan dan kebersamaan orang-orang dari banyak tempat yang hadir di sini,” kata Ching Cek Lam (65), wisatawan asal Malaysia.
Pensiunan mandor di salah satu perusahaan pengolahan sawit di Pahang itu mengatakan, ia juga sangat tertarik dengan legenda Putri Mandalika. Oleh karena itu, ia merasa sangat beruntung karena pada tahun ketiga bisa menyaksikan drama kolosal Putri Mandalika.
Drama yang menggambarkan legenda Putri Mandalika itu ditampilkan pada malam puncak Festival Pesona Bau Nyale 2020, Jumat (14/2/2020). Pada malam yang sama disuguhkan berbagai penampilan, antara lain hiburan musik, tarian-tarian tradisional, dan pemilihan Putri Mandalika.
Masyarakat larut dalam kebahagiaan. Bernyanyi, menari, berjoget, dan bertepuk tangan hingga pagi menjelang.
Mereka larut menyaksikan drama kolosal Putri Mandalika dan tarian kolosal The Mask of Mandalika. Baik drama maupun tarian kolosal mengangkat pesan tentang pengorbanan seorang Putri Mandalika. Apa persisnya? Mengorbankan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama.
Filosofi itu yang menurut Ching Cek Lam, juga sutradara dan koreografer The Mask of Mandalika, Lalu Suryadi Mulawarman, menjadi magnet pertunjukan.
”Saya ingin semua orang bisa seperti Putri Mandalika. Menjadi diri sendiri, menjadi panutan, dan teladan. Saya ingin agar Mandalika tidak hanya sekadar legenda, tetapi juga karakternya itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,” kata Suryadi yang melibatkan puluhan pelajar SMA dan SMK dalam tarian tersebut.
Diapresiasi
Festival Pesona Bau Nyale 2020 pada 8-14 Februari 2020 itu mendapat apresiasi banyak pihak. Dari sisi pengunjung, puluhan ribu orang diperkirakan ikut dalam tradisi itu.
Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ari Juliano Gema mengatakan, pemerintah sedang berupaya meningkatkan sektor pariwisata sebagai sumber devisa terbesar.
Oleh karena itu, kata Ari, semua diharapkan berperan, termasuk ketika saat ini dunia pariwisata terpukul oleh merebaknya virus korona jenis baru Covid-19. Hal itu membuat banyak wisatawan mancanegara enggan bepergian, termasuk ke Indonesia.
”Tetapi, kehadiran kita malam ini di Bau Nyale menunjukkan bahwa Indonesia aman untuk dikunjungi,” kata Ari.
Bupati Lombok Tengah Moh Suhaili Fadhil Thohir mengatakan, kebersamaan yang terbangun itu adalah esensi Bau Nyale. Itu menjadi modal besar untuk membangun Lombok Tengah ke depan.
Sejalan dengan Suhaili, Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, kemeriahan Bau Nyale menjadi simbol Lombok Tengah akan menjadi magnet baru pariwisata NTB. Ia berharap momen Bau Nyale juga menjadi bagian dari ungkapan rasa syukur atas hal itu.
Tidak hanya karena keelokan pantai di Lombok, tetapi juga tradisi-tradisi, seperti Bau Nyale, yang bisa dinikmati setiap tahun. Tahun depan, sorotan mata dunia, di antaranya, akan tertuju pada pergelaran balap motor paling bergengsi MotoGP di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Mari datang dan rayakan Bau Nyale serta agenda lain di NTB. Di sana, fenomena alam dan kisah legenda rakyat bersimbiosis mendatangkan harapan dan kebaikan sepanjang hayat.