Ketegasan pemerintah menolak pemulangan kombatan NIIS yang disertai konsiderasi kemungkinan memulangkan perempuan dan anak-anak di bawah umur 10 tahun mendapat dukungan berbagai kalangan.
Oleh
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
·3 menit baca
Ketegasan pemerintah menolak pemulangan kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang disertai konsiderasi kemungkinan memulangkan perempuan dan anak-anak di bawah umur 10 tahun mendapat dukungan berbagai kalangan masyarakat.
Jajak pendapat Kompas (17 Februari 2020) menunjukkan, sebanyak 61,5 persen responden tidak setuju pemulangan WNI eks NIIS, 32,8 persen setuju pemulangan, dan sisanya menjawab tak tahu.
Meski demikian, agenda negara pasca-penolakan pemulangan kombatan itu jauh lebih kompleks, pelik, dan memerlukan kerja serius pemerintah dalam jangka panjang. Sebab, radikalisme adalah gerakan yang semangatnya berkiblat pada dalil utopis disertai adonan sentimen primordial, ras, suku, agama, serta nasionalisme eksklusif sebagai legitimasi ideologi.
Ia telah menjadi fenomena global yang mempergunakan sentimen primordialisme sebagai instrumen merebut kekuasaan negara. Gagasan itu menjadi sangat ampuh karena dikemas dengan realitas kesenjangan sosial ekonomi yang melebar serta menguatnya oligarki elite politik. Politik identitas bahkan sudah mengarah ke permusuhan antarwarga.
Fenomena itu bukan hal baru karena pada 1911 Robert Michels mengenalkan ”hukum besi oligarki” dalam bukunya, Political Parties. Dalil klasik itu tetap aktual saat oligarki melanda jagat politik, pada tataran mondial ataupun politik domestik. Satu dasawarsa terakhir, oligarki elite penguasa menguat. Akibatnya, kepercayaan publik pada parpol, lembaga perwakilan rakyat, dan pemerintahan daerah sangat rendah. Tragedi demokrasi terjadi karena lembaga-lembaga politik tradisional korup dan makin memarjinalkan rakyat kecil.
Radikalisasi makin marak akibat gelombang populisme serta matinya akal sehat yang dicekik politik pasca-kebenaran. Perdebatan publik jadi sangat rumit dan mudah tersesat dalam idiom yang mengaburkan akal sehat.
Radikalisasi makin marak akibat gelombang populisme serta matinya akal sehat yang dicekik politik pasca-kebenaran. Perdebatan publik jadi sangat rumit dan mudah tersesat dalam idiom yang mengaburkan akal sehat. Kebohongan dipelintir sebagai kebenaran alternatif. Mereka juga menggali dasar-dasar ”filosofis” dengan silat kata yang mengaburkan substansi, antara lain memperdebatkan hakikat kebenaran dengan merelatifisasi kebenaran menjadi beberapa jenis; kebenaran empiris, dogmatis, dan matematis.
Ketidakpercayaan publik atas lembaga yang bertugas melayani publik mendorong masyarakat mencari alternatif sendiri. Jawaban paling mudah dan simplistis adalah tawaran kebahagiaan kilat; asal bersedia mati dengan janji nikmat surgawi. Untuk itu, diperlukan legitimasi religi yang memudahkan penetrasi dalil-dalil anarki menjadi suara hati. Semakin tinggi tingkat pembusukan lembaga, semakin mudah masyarakat mengidap sindrom res·sen·ti·ment, perasaan tak percaya diri, kecewa, dan rasa benci yang luar biasa. Sentimen perusak keharmonisan menjadi permanen karena pendidikan yang mematikan inderawi, persepsi, dan rasa kenyamanan hidup harmonis serta pembatinan dalil-dalil sesat.
Ancaman itu sangat serius. Karena itu, agenda negara ialah menjadikan masyarakat mempunyai kompetensi berwarga negara. Intinya, mengukir jiwa generasi muda agar memiliki tingkat militansi moral yang tinggi sehingga mampu merawat dan menjaga harmoni serta memuliakan kehidupan bersama. Derajat militansi mereka harus melampaui kadar semangat kelompok radikal yang mengancam musnahnya peradaban bangsa dan negara.
Pendidikan harus dimulai dari usia pra-rasional, biasa disebut pendidikan usia dini. Pada usia ini, anak-anak diasah rasa dan kepekaannya agar punya daya cecap tinggi terhadap keindahan keharmonisan, keselarasan, keteraturan, ketertiban, keadilan, kesederhanaan, dan keterbukaan. Pengalaman mereka mencecap kenyamanan mengelola hasrat mulia yang terbudayakan sejak usia dini akan menjadi kebiasaan (habitus) sehingga ”otomatis” perilakunya terukur.
Pada usia ini, anak-anak diasah rasa dan kepekaannya agar punya daya cecap tinggi terhadap keindahan keharmonisan, keselarasan, keteraturan, ketertiban, keadilan, kesederhanaan, dan keterbukaan.
Berbuat baik dan bijak seperti halnya orang bernapas, tak perlu dipikir, sudah berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu resep ampuh memahat jiwa anak-anak ialah keteladanan orang-orang di sekitarnya, terutama orangtua. Kegagalan membentuk jiwa usia dini akan menjadikan rasionalitas sebagai budak hawa nafsu dan insting hewani, yang secara agresif akan bisa membuat saling memangsa sesamanya.