Pemerintah Susun Peta Jalan Investasi Hijau demi Kredit Karbon
›
Pemerintah Susun Peta Jalan...
Iklan
Pemerintah Susun Peta Jalan Investasi Hijau demi Kredit Karbon
Indonesia sedang berfokus menggarap kredit karbon. Untuk menopangnya, Indonesia berkomitmen untuk memelihara sumber daya alam penyerap emisi karbon di sektor kelautan dan perikanan, serta kehutanan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang menyusun peta jalan investasi hijau. Peta jalan itu guna menopang rencana Indonesia melakukan perdagangan karbon dan investasi berbasis kredit karbon.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam seperti hutan mangrove, gambut, rumput laut, dan terumbu karang yang dapat berkontribusi 75 persen karbon kredit dunia. Potensi perdagangan karbon dan kredit karbon itu senilai 82 miliar dollar AS hingga 100 miliar dollar AS.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan, Kamis (20/2/2020), mengatakan, Indonesia sedang berfokus menggarap kredit karbon. Untuk menopangnya, Indonesia berkomitmen memelihara sumber daya alam penyerap emisi karbon di sektor kelautan dan perikanan serta kehutanan.
Di sektor kelautan dan perikanan, misalnya, upaya yang dilakukan adalah memelihara rumput laut, hutan bakau, dan terumbu karang. Adapun di sektor kehutanan, upaya yang ditempuh adalah memelihara 160 juta hektar kawasan hutan dan memperbaiki kawasan hutan yang rusak.
”Potensi sumber daya alam itu menyumbang kredit karbon yang besar terhadap dunia. Kontribusinya sebesar 75 persen terhadap dunia,” kata Luhut seusai rapat koordinasi tentang ”Strategi Natural Capital dan Persiapan Green Investment di Papua dan Papua Barat” di Jakarta.
Potensi sumber daya alam itu menyumbang kredit karbon yang besar terhadap dunia. Kontribusinya sebesar 75 persen terhadap dunia.
Rapat koordinasi itu antara lain dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo, dan Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu.
Kredit karbon berbentuk sertifikat atau izin yang dapat diperdagangkan atau diinvestasikan ke dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi hijau dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Satu kredit karbon setara dengan 1 ton karbon dioksida.
Pasar karbon dunia ini cukup prospektif. Sebab, negara yang menghasilkan emisi karbon melebihi ketentuan harus memberikan sejumlah insentif kepada negara yang bisa menyerap karbon. Hal itu bisa dilakukan dengan membeli kredit karbon atau berinvestasi melalui kredit karbon.
Menurut Luhut, pemerintah akan membuat peta jalan investasi hijau. Formatnya saat ini sedang disusun. Yang akan didorong dalam investasi hijau itu antara lain tidak ada lagi penebangan hutan, serta penanaman pohon yang bisa berkontribusi menambah oksigen dan mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di bidang kemiskinan.
”Konsep itu akan diumumkan dalam Indo-Pacific World Economy Forum di Jakarta pada Juli 2020. Konsep itu juga akan dipromosikan dalam Konferensi Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia, November 2020,” ujarnya.
Indonesia, lanjut Luhut, juga telah meminta Bank Dunia membantu dalam program pembiayaan pelaksanaan peta jalan investasi hijau itu. Skema pendanaan akan berbentuk pendanaan campuran (blended finance). Pemerintah juga akan melibatkan perbankan nasional, antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, DBS, dan CIMB Niaga.
Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun aturan tentang perdagangan karbon. ”Perpres kita buat. Orang beli kredit karbon dari Indonesia. Nanti, Indonesia yang atur pasar,” kata Luhut.
Mari Elka Pangestu, yang menjabat Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia per Maret 2020, mengapresiasi inisiatif Pemerintah Indonesia untuk menggarap kredit karbon. Ia menilai, pertumbuhan dan kepedulian terhadap lingkungan dapat dicapai bersamaan.
”Dulu orang melihat kalau kita peduli pada lingkungan akan menurunkan pertumbuhan. Padahal, itu bukan trade off, tetapi bisa mencapai dua-duanya, dengan cara membangun infrastruktur yang berkelanjutan atau tidak merusak hutan. Kita bisa mendapat kredit karbon. Banyak cara agar kita bisa mencapai dua-duanya,” katanya.
Mari menambahkan, pembangunan berkelanjutan merupakan agenda besar Bank Dunia. Seluruh proyek atau agenda yang didukung Bank Dunia harus selalu memiliki dampak terhadap pembangunan berkelanjutan.
”Pendanaannya, kan, berskema blended finance, dari multilateral dan komersial. Kalau ada komitmen pemerintah, akan jauh lebih mudah mengundang swasta dan komersial masuk,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Human Capital dan Kepatuhan BNI Bob Tyasika Ananta mengemukakan, BNI selama ini telah mendukung investasi hijau. Salah satunya dengan mengikuti standar pembiayaan yang mendorong investasi ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (green financing).