Pengawasan Tak Jelas Jadi Celah Menurunkan Kualitas Rumah Penyintas
›
Pengawasan Tak Jelas Jadi...
Iklan
Pengawasan Tak Jelas Jadi Celah Menurunkan Kualitas Rumah Penyintas
Pengawasan teknis yang tak jelas membuka peluang adanya pengerjaan rumah atau hunian tetap tak berspesifikasi tahan gempa dalam program rekonstruksi pascagempa di Sulawesi Tengah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Pengawasan teknis yang tak jelas membuka peluang adanya pengerjaan rumah atau hunian tetap tak berspesifikasi tahan gempa dalam program rekonstruksi pascagempa di Sulawesi Tengah. Evaluasi diperlukan karena masih banyak rumah yang perlu diperbaiki dengan skema dana stimulan Rp 50 juta.
Sebelumnya, dalam inspeksi yang dilakukan tim gabungan Komando Resor 132/Tadulako, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng, Rabu (19/2/2020), ditemukan pengerjaan rumah atau hunian tetap yang tak memenuhi standar tahan gempa. Ditemukan jarak antarbehel pada besi untuk tiang rumah lebih dari 60 sentimeter (cm). Padahal, seharusnya jaraknya hanya 15 cm.
Hal lain yang juga disorot adalah besi dari cakar ayam hanya dua batang. Dua lainnya baru disambung dari slop. Padahal, seharusnya empat besi dirangkai dari cakar ayam hingga atap.
BPBD Kota Palu mencatat, sekitar 20 dari 1.594 rumah yang saat ini dikerjakan dibangun dengan mengabaikan standar tahan gempa. Jumlah itu bisa lebih banyak karena tim belum menjangkau semua rumah yang sedang dikerjakan. Satu unit rumah dihentikan pengerjaannya dengan dana stimulan tersisa Rp 20 juta. Rumah lainnya masih dikaji untuk diberlakukan sanksi serupa. Kota Palu dinilai yang terbanyak pelanggaran soal rumah tahan gempa.
Secara keseluruhan, di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, empat daerah yang terdampak gempa 28 September 2018, saat ini dibangun kembali rumah rusak berat tanpa relokasi sebanyak 4.500 unit untuk tahap pertama. Sekitar 45 persen sudah selesai.
Penyaluran dana stimulan untuk tahap kedua mulai dilakukan untuk total 15.000 rumah. Dana stimulan Rp 50 juta disalurkan kepada penyintas untuk membangun kembali rumahnya yang rusak berat.
Tak ada tenaga khusus yang memastikan pengerjaan rumah dilakukan sesuai dengan spesifikasi tahan gempa.
Sekretaris Jenderal Pasigala Center, konsorsium lembaga sosial yang mengawasi penanganan pascabencana, Khadafy Badjerey, menyatakan, skema pengawasan teknis penggunaan anggaran atau dana stimulan memang tak jelas. Pemerintah hanya menyiapkan dua skema, yakni sosialisasi yang dilakukan fasilitator tentang rumah tahan gempa beserta pembentukan kelompok masyarakat untuk mekanisme pencairan dana. Fasilitator berhenti bekerja begitu kelompok terbentuk.
Selain itu, ada asistensi anggota TNI yang terlibat dalam pengerjaan rumah, tetapi hal itu juga tidak efektif karena mereka bukan tenaga teknis. ”Tak ada tenaga khusus yang memastikan pengerjaan rumah dilakukan sesuai dengan spesifikasi tahan gempa. Pemerintah daerah harusnya bertanggung jawab untuk menyiapkan skema pengawasan teknis itu,” katanya, di Palu, Kamis (20/2/2020).
Langinda Wahio (68), pemilik rumah yang diinspeksi di Kelurahan Lasoani, Rabu, menyatakan, selama ini tak ada petugas dari pemerintahan yang mengontrol pengerjaan rumah. Ia menyerahkan semua urusan rumah itu kepada tukang, yang juga mengakui tak ada pengawasan dari petugas.
”Kalau memang perlu diperbaiki, termasuk ikatan besi tiang atau behel, kami akan perbaiki. Rumah saya belum selesai, masih bisa diperbaiki sesuai dengan hasil pemeriksaan,” ujarnya.
Rumah lama Langinda rusak berat akibat gempa pada 28 September 2018. Lantainya terbongkar dan dinding roboh. Rumah berukuran 7 meter x 10 meter itu juga miring ke arah barat. Saat ini, ia bersama tujuh anggota keluarganya tinggal di rumah sewa.
Pejabat pembuat komitmen BPBD Kota Palu, Safrudin, menyebutkan, skema swakelola memang membuka banyak celah kecurangan. Dalam skema tersebut, perencanaan, pengerjaan, dan pengawasan dipercayakan masing-masing kepada penyintas dan kelompoknya.
Kebanyakan rumah yang dibangun tak sesuai standar dimodifikasi ukurannya. Peraturannya, rumah yang dibangun berukuran 6 meter x 6 meter, tetapi penyintas membangun yang lebih besar. Akibatnya, ada bagian elemen rumah yang diturunkan spesifikasinya, misalnya ukuran besi yang seharusnya minimal 10 cm dipakai besi 8 cm.
Untuk mengantisipasi kecurangan serupa, pemerintah mempertimbangkan menyerahkan pengerjaan rumah selanjutnya kepada rekanan (aplikator). ”Kalau menggunakan rekanan, pengawasannya lebih mudah. Kalaupun ada pelanggaran, tinggal diputus kontraknya. Sementara kalau swakelola, masih banyak aspek sosial yang perlu dipertimbangkan lagi, seperti pertimbangan kemanusiaan,” tutur Safrudin.
Di Kota Palu, dari 1.594 hunian tetap yang dibangun dengan skema stimulan Rp 50 juta, sebanyak 235 unit digarap aplikator. Dalam skema ini, penyintas tinggal terima kunci karena rumah dikerjakan oleh rekanan.