Siasat Sedap Petani di Lahan Gambut
Dari kelapa dan kopra, petani gambut di Kalimantan Tengah berjaya. Mereka tak hanya bisa mengangkat derajat ekonomi, tetapi juga berperan menyelamatkan lingkungan.
Banyak komoditas pertanian yang pernah perkasa di Kalimantan Tengah kini mulai ditinggalkan. Mereka yang setia dengan komoditas itu tetap bertahan untuk lebih peduli terhadap lingkungan, khususnya di lahan gambut.
Zainal Arifin (58), petani kelapa di Kelurahan Bahaur Basantan, Kabuaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sudah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dengan kelapa. Sejak umur 20 tahun, ia sudah menjual kelapa (Cocos nucifera) dan juga kopra (daging kelapa).
Dari hasil menjual kelapa dan kopra, ia dapat membangun rumah dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sepanjang 1990 hingga 2000-an, kelapa menjadi primadona di desanya. Bagaimana tidak, saat itu setidaknya ada 600 hektar kebun di pinggir sungai Kahayan ditanami kelapa.
Namun, semuanya berubah ketika kelapa sawit mengekspansi kawasannya. Banyak lahan dikonversi ke tanaman sawit dengan sistem monokultur atau penanaman tunggal. Kelapa pun mulai ditinggalkan, apalagi kelapa sawit yang saat itu dinilai sangat menjanjikan.
Meskipun banyak perusahaan besar masuk di kawasan itu, petani kelapa di sekitar hanya menjadi penonton. Sebagian ikut bekerja di kebun sawit, sebagian menjual lahannya ke perusahaan.
”Harga kelapa dan kopra jatuh, padahal dulu jaya sekali. Sekitar tahun 2015 sudah banyak petani di sini beralih dan menyerah mengelola kelapa,” kata Zainal saat ditemui di rumahnya, Rabu (12/2/2020).
Tak sampai di situ, kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 juga hampir merenggut mimpi petani kelapa untuk bisa sejahtera. Apalagi 80 persen kawasan desa itu merupakan lahan gambut dengan ketebalan beragam, mulai dari 3 meter hingga 6 meter dalamnya.
Banyaknya pembukaan lahan dan pembuatan kanal-kanal di kampung Zainal membuat gambut menjadi kering. Gambut yang merupakan akumulasi sisa-sisa daun dan batang pun menjadi rentan terbakar.
”Itu bencana. Kami kesulitan bernapas, anak-anak sakit, lahan beserta tanamannya pun habis,” ucap Zainal mengingat kembali kejadian kelam tahun 1997 hingga 2015.
Karena kejadian itu, pemerintah kemudian melarang para petani mengelola lahan dengan cara membakar. Jika dilihat kebijakan itu, tentunya merugikan petani, apalagi di Pulang Pisau. Sebagian dari mereka masih membakar lahan, apalagi jika ingin membuat sawah.
Perlahan tetapi pasti, kebiasaan itu ditinggalkan karena Zainal dan delapan petani kelapa lainnya berinisiatif untuk tetap setia pada kelapa. Mereka kemudian membuat Rumah Kelapa, sebuah kelompok tani para petani kelapa yang kini menjadi badan usaha milik desa (BUMDes).
Didampingi dan difasilitasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) RI bersama Kemitraan-Partenrship, mereka mencari alternatif lain mengelola gambut tanpa membakar. Akhirnya, mereka membuat produk turunan kelapa, seperti virgin coconut oil (VCO), minyak goreng kelapa, dan keripik kelapa.
Harga kelapa dan kopra jatuh, padahal dulu jaya sekali. Sekitar tahun 2015 sudah banyak petani di sini beralih dan menyerah mengelola kelapa.
Bainudin (40), salah satu anggota Rumah Kelapa, mengungkapkan, VCO dan produk lainnya dipilih menjadi alternatif mata pencarian karena melekat pada kehidupan para petani kelapa. Mereka sampai saat ini masih menggunakan minyak goreng kelapa saat memasak karena lebih hemat dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Hemat karena mereka bisa membuat sendiri.
”Kalau VCO memang sudah dipakai sejak dulu kalau ada yang sakit, luka, dan obat stamina, ibu saya juga pakai untuk rambutnya,” kata Bainudin.
Baca juga: VCO, Penyelamat Kelapa yang Sekarat
Bainudin menjelaskan, pengetahuan itu tidak datang begitu saja, tetapi lewat generasi ke generasi. Lalu, untuk memasarkan produknya, mereka didampingi ahli pengolah kelapa.
Saat ini produk itu tak hanya dibuat di Kelurahan Bahaur Basantan, tetapi juga di tiga desa tetangga, yakni Desa Papuyu I Sei Pasanan, Desa Bahaur Hulu Permai, dan Desa Dandang. Dalam sehari mereka mampu memproduksi 35 botol VCO dan 10 botol minyak goreng kelapa. Keripik kelapa pun bisa dibuat mereka sesuai dengan pesanan dan saat ini sedang dalam proses pengepakan.
Semua produk yang dibuat Rumah Kelapa tanpa menggunakan campuran bahan kimia apa pun, bebas kolesterol, dan dibuat tanpa fermentasi. ”Kalau minyak goreng ini bisa digunakan sembilan kali, tidak seperti minyak goreng biasa yang tiga empat kali goreng warnanya sudah berubah,” kata Bainudin.
Baca juga: Target Peremajaan 500.000 Hektar Kelapa Sawit
Cerita kesuksesan juga datang dari kecamatan lain di Pulang Pisau, salah satunya di Kecamatan Maliku. Di wilayah ini, beberapa petani membuat inovasi dari jeruk nipis yang kemudian dijadikan sirop.
Sama seperti di Bahaur, jeruk nipis di wilayah ini merupakan komoditas yang mulai ditinggalkan karena harganya jatuh dan petani terjebak harga tengkulak. Saat ini, harga jeruk nipis di tempat itu hanya Rp 90.000 sampai Rp 100.000 per satu karung ukuran 50 kilogram. Padahal, harga normalnya Rp 150.000 per 50 kilogram.
Akhirnya, ibu-ibu dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Melati membuat sirop dari jeruk nipis dengan harga Rp 15.000 per 150 mililiter. ”Dalam bulan ini, kami sudah menerima 45 botol pesanan sirop,” kata fasilitator desa, Nina Rizky, yang mendampingi ibu-ibu tersebut.
Baca juga: Moratorium Sawit Belum Berjalan Optimal di Kalteng
Di Desa Sidodadi, Kecamatan Maliku, bawang dayak dan mengkudu diolah menjadi minuman bubuk dan teh. Pasarnya cukup besar, di Kalteng dan luar Kalteng. Bawang dayak diyakini berkhasiat untuk kesehatan.
Untuk bawang dayak dan mengkudu dalam bentuk teh dan bubuk siap seduh harganya Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per kemasan. Proses pembuatan dilakukan para ibu, mulai dari memanen, membersihkan, mengeringkan, sampai membuat menjadi bubuk atau teh. Dalam sebulan, mereka bisa memproduksi 100 kemasan ukuran 250-500 gram.
Revitalisasi ekonomi
Dari data Kemitraan sedikitnya terdapat 48 produk gambut lainnya dari 46 DPG di Kalimantan Tengah yang sudah mulai diproduksi dan dijual. Sebagian besar lahan masyarakat yang digunakan merupakan lahan atau kebun-kebun yang selama ini diolah dengan cara dibakar.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut RI Myrna Safitri mengungkapkan, program pendampingan ke masyarakat merupakan bentuk revitalisasi ekonomi. Keuntungan yang didapat, lanjut Myrna, diharapkan bisa dipakai untuk memelihara atau mengoperasikan infrastruktur pencegahan kebakaran, seperti sumur bor dan sekat kanal, yang sudah dibangun.
”Dampak lainnya, gambut terjaga karena mengurangi aktivitas tanpa bakar, tentunya ini akan membuat kegiatan restorasi lebih baik dan gambut terjaga,” kata Myrna.
Myrna menambahkan, terdapat tiga program restorasi gambut di Indonesia, yakni pembasahan lewat sumur bor dan sekat kenal, penanaman kembali, dan revitalisasi ekonomi. Berbagai macam produk yang dibuat dalam program revitalisasi ekonomi sebagian besar dilakukan dan diolah di lahan gambut miliki masyarakat atau kebun-kebun mereka, baik yang gambutnya masih bagus maupun kawasan yang sudah terdegradasi akibat kebakaran.
Di Kalimantan Tengah, BRG sudah membangun lebih kurang 8.875 sumur bor dan 2.534 sekat kanal. Selain itu, ada 92 paket revitalisasi ekonomi yang diberikan kepada masyarakat. Selain itu, melalui Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), juga sudah dibuat 3.225 sumur bor, 1.250 sekat kanal, dan 62 paket revitalisasi ekonomi. Total ada 12.100 sumur bor, 2.784 sekat kanal, dan 154 paket revitalisasi ekonomi di Kalteng.
”Jika dimanfaatkan dengan bijak, gambut menjadi lahan yang sangat produktif. Dengan revitalisasi ekonomi, masyarakat dampat untungnya, gambut juga terjaga,” kata Myrna.
Inovasi berujung pada pemenuhan biaya hidup sehari-hari masyarakat, seperti sekolah anak dan biaya kesehatan. Dengan inovasi pula lingkungan, khususnya, gambut terjaga.