Uni Eropa akan memutus pasokan senjata ke Libya yang dilanda perang saudara. Langkah ini dinilai sia-sia karena UE tidak memberikan sanksi buat pemasok.
Oleh
·2 menit baca
Uni Eropa (UE) memutuskan menghentikan Operasi Sophia dan mulai mengerahkan kapal-kapal perangnya untuk lebih fokus pada penegakan embargo senjata yang masuk ke Libya. Operasi Sophia atau secara resmi disebut Operasi Laut Uni Eropa di Mediterania diluncurkan tahun 2015, empat tahun setelah krisis Libya.
Operasi Sophia adalah operasi untuk memerangi bisnis penyelundupan pengungsi dan jaringan perdagangan manusia, mengembalikan stabilitas dan keamanan di Libya, serta kawasan Mediterania Tengah. Ketika itu, puluhan ribu migran menyeberangi lautan dari negara di Afrika Utara, khususnya Libya, menuju Eropa (Kompas, 19/2/2020).
Meski demikian, pengerahan kapal perang tanpa sanksi tidak akan cukup untuk membangun perdamaian di Libya dan memerangi akar penyebab migrasi ke Eropa. ”Kapal itu seharusnya berada di dekat tempat orang yang biasa diperdagangkan,” kata anggota Parlemen Eropa, Erik Marquardt.
Tahun lalu, Italia memprotes kapal-kapal UE yang menyelamatkan migran dan memperbolehkan mereka turun di Italia. Baru-baru ini, Pemerintah Austria juga menentang pengiriman kapal di sepanjang pantai Libya karena hal itu justru menyebabkan peningkatan migran dari Libya ke Eropa. ”Ada konsensus dasar bahwa kita sekarang menginginkan operasi militer dan bukan misi kemanusiaan,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Austria Alexander Schallenberg.
Namun, Menlu Jerman Heiko Maas menegaskan, misi baru akan menempatkan kapal UE hanya ke Mediterania Timur, jauh dari rute laut yang digunakan migran. Seperti sudah banyak diketahui, penyelundupan senjata tidak selalu melewati rute yang diamati UE.
Komunitas internasional mengakui pemerintah yang berpusat di ibu kota Tripoli, yakni Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang dipimpin PM Fayez al-Sarraj. Di sisi lain terdapat pemerintahan tandingan yang berkuasa di bagian timur Libya, yang dipimpin Khalifa Haftar dari Tentara Nasional Libya (LNA). Keterbelahan ini mendorong mereka yang bertikai mengimpor senjata dan tentara bayaran asing, hingga perang saudara bisa berlangsung sampai hari ini.
Haftar didanai dan dipersenjatai Uni Emirat Arab. Sementara Rusia menyediakan tentara bayaran. Sarraj didukung oleh Turki, yang telah mengirim 2.000 pejuang dari Suriah. Sayangnya, UE pun terbelah. Perancis mendukung Haftar, sedangkan Italia mendukung Sarraj.
Pesimisme yang muncul menyertai pergelaran operasi baru ini, tak lepas dari belum menyatunya sikap UE. Perbedaan sikap itu tentu menimbulkan beda cara penyelesaian sehingga langkah apa pun yang akan diambil tak akan pernah efektif.