Kualitas tim nasional basket Indonesia dikhawatirkan menurun tanpa diperkuat pemain naturalisasi. Namun, timnas bisa sedikit lega karena tim raksasa Korea Selatan datang tanpa kekuatan terbaik.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjalanan tim nasional bola basket Indonesia pada kualifikasi Piala Asia FIBA 2021 dimulai dengan hadangan tim raksasa Asia, Korea Selatan, Kamis (20/2/2020), di Mahaka Arena, Jakarta. Tampil di rumah sendiri, motivasi timnas berlipat ganda untuk mengejutkan Korsel yang datang dengan tujuan regenerasi.
Timnas harus bermain tanpa diperkuat dua pemain naturalisasi, Lester Prosper dan Brandon Jawato. Proses naturalisasi yang dilakukan Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) sejak Oktober 2019 tidak selesai tepat waktu.
Guard timnas, Andakara Prastawa, mengatakan, keberadaan Prosper dan Jawato sangat krusial untuk tim. Prosper (2,09 meter) dan Jawato (1,93 meter) seharusnya bisa mengurangi selisih tinggi badan dengan tubuh tinggi pemain-pemain tim ”Negeri Ginseng”.
”Kalau ada mereka, pasti lebih membantu. Lester tinggi. Brandon energinya (besar). Tetapi, kan, sudah tidak bisa, masak mau ditangisi? Ini tetap harus lanjut. Anak-anak semangat semua karena ini motivasi tambahan main di Indonesia,” kata Pras di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Timnas praktis hanya mengandalkan pemain lokal. Skuad timnas nyaris sama dengan tim yang bertanding di SEA Games Manila 2019. Untuk menggantikan Prosper dan Jawato, pelatih Rajko Toroman memanggil dua pemain muda, Muhammad Arighi dan Derrick Michael Xzaviero.
Manajer timnas, Fareza Tamrella, mengatakan, keterlambatan proses naturalisasi dua pemain itu sudah diantisipasi. Beberapa pekan terakhir, Toroman telah menyesuaikan sistem permainan dengan hanya memanfaatkan pemain lokal. ”Kami manfaatkan yang sudah bermain bersama sejak Agustus, ditambah dua pemain muda,” ucapnya.
Tanpa pemain naturalisasi, tinggi rata-rata pemain timnas kalah dari Korsel. Rata-rata tinggi pemain lokal hanya 1,86 meter, sedangkan Korsel mencapai 1,94 meter. Indonesia hanya memiliki satu pemain yang tinggi tubuhnya lebih dari 2 meter, yakni Vincent Kosasih (2,03 meter), sedangkan tim tamu punya empat pemain.
Bayangan raksasa
Korsel adalah salah satu raksasa basket di Asia. Pada pertemuan di Asian Games 2018, tim asuhan Kim Sang-shik ini meremukkan timnas dengan skor 104-65. Namun, kali ini tim Korsel yang datang jauh berbeda. Kim membawa enam pemain muda ke Jakarta dengan tujuan regenerasi. Mereka tidak tampil pada Asian Games ataupun Piala Dunia 2019.
Kesempatan ini yang bisa dimanfaatkan timnas. Para pemain muda Korsel ini memang berbakat. Mereka adalah tulang punggung di liga lokal, seperti pemain tim Busan KT Supersonic, Heo Hoon dan Yang Hoeng-seok. Namun, mereka bukan raksasa sesungguhnya. Mereka belum teruji menghadapi panggung internasional dengan tekanan ribuan penonton yang diharapkan memenuhi Mahaka Arena.
Mereka juga datang tanpa pemain naturalisasi asal Amerika Serikat, Preston Ricardo Ratliffe, yang cedera. Ratliffe adalah aktor utama yang menggilas Indonesia pada Asian Games dengan 30 poin dan 19 rebound.
Absennya Ratliffe ini menjadi kesempatan terbaik timnas untuk mengejar kehebatan Korsel. Mantan pelatih timnas Asian Games, Fictor Roring, mengatakan, Ratliffe merupakan pemain paling berbahaya. Indonesia kalah jauh saat itu karena tidak ada pemain yang mampu mengimbangi kekuatan center setinggi 1,99 meter tersebut.
Ito, sapaan Fictor, menceritakan, timnas bisa mengimbangi Korsel saat Ratliffe berhasil dimatikan. Sebulan sebelum Asian Games, timnas sempat bertemu Korsel dalam turnamen persahabatan William Jones. Saat itu, Prastawa dan rekan-rekan hanya kalah tipis 86-92 pada babak perpanjangan waktu setelah pada waktu normal imbang, 79-79.
”Saat itu, kita pakai pemain asing, Kore White, yang rencananya mau dinaturalisasi juga. Kore bisa mengimbangi kekuatan dan tinggi Ratliffe. Terbukti kita bisa mengimbangi Korsel,” ucap Ito.
Persiapan matang
Timnas sudah siap menghadapai laga kualifikasi Piala Asia. Pelatnas berlangsung hampir setahun, sejak pelatnas SEA Games Manila dan berlanjut hingga kini. Mereka juga mengikuti kompetisi Liga Bola Basket Indonesia (IBL) bersama tim lokal sejak Januari 2020.
Pelatih Pelita Jaya Ocky Tamtelahitu yang pernah berhadapan dengan timnas mengucapkan, pemain-pemain nasional sangat potensial. Meskipun timnas kalah dari Pelita Jaya, hal itu dinilai wajar.
”Mungkin tidak dalam performa terbaik. Terbukti rekor mereka sepanjang IBL kan bagus, 8 menang 2 kalah. Menurut saya, ini adalah timnas terbaik yang pernah ada. Skill dan teknik mereka luar biasa. Belum lagi usia pemain masih muda-muda,” kata Ocky.
Kecepatan dan agresivitas pemain timnas terlihat menonjol di IBL. Kombinasi permainan cepat guard Prastawa dan Abraham Damar Grahita sering merepotkan tim lain. Apalagi, keduanya memiliki tembakan tiga angka yang sangat baik.
Duet ini sudah menjanjikan sejak dipasangkan pada SEA Games. Kecepatan transisi permainan ini yang akan menjadi obat timnas yang kalah dalam urusan tinggi badan pemain.
Indonesia sangat membutuhkan kemenangan di kandang untuk lolos ke putaran final Piala Asia. FIBA mensyaratkan timnas minimal meraih peringkat ke-10 pada Piala Asia jika ingin lolos langsung ke Piala Dunia 2023 saat Indonesia menjadi tuan rumah.