Pengelolaan Lapangan Abadi, Blok Masela, memulai babak baru. Namun, perjalanan ladang gas Arun di Aceh perlu jadi pelajaran bagi Masela, betapa kekayaan alam tak sepenuhnya mampu memperbaiki hidup masyarakatnya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Akhirnya mulai ada titik terang masa depan gas dari Lapangan Abadi, Blok Masela, di Maluku. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero) meneken nota kesepahaman pembelian gas dengan Inpex Corporation pada Rabu (19/2/2020) malam, di Jakarta. Ini merupakan langkah awal dari perjalanan panjang bagaimana sumber daya alam di Indonesia sebaiknya dikelola.
Lapangan Abadi pada Blok Masela merupakan berkah Tuhan yang lain untuk negeri ini. Ditemukan pada 1998, cadangan terbukti gas Masela sebanyak 18,5 triliun kaki kubik. Direncanakan berproduksi pada 2027, Blok Masela bakal menghasilkan gas alam cair (LNG) sebanyak 9,5 juta ton per tahun dan gas alam sebanyak 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Jauh lebih detail, kekayaan alam itu dikelola dengan modal mencapai 19,8 miliar dollar AS atau setara Rp 267 triliun. Perhitungan pemerintah menyebutkan, total penerimaan kotor dari Blok Masela akan mencapai 118,4 miliar dollar AS atau hampir Rp 1.600 triliun selama beroperasi. Bagian negara akan mencapai 38,9 miliar dollar AS atau Rp 525 triliun. Sisanya merupakan bagian dari kontraktor dan biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery).
Bagaimana agar nasib Masela tak seperti daerah penghasil sumber daya alam lainnya di Indonesia? Sebagai pembanding ialah ladang gas Arun di Lhokseumawe, Aceh. Mulai berproduksi tahun 1979, gas Arun diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Arun tercatat sebagai produsen gas alam terbesar di dunia pada 1990 dengan kapasitas produksi 1,5 juta ton per tahun.
Seperti yang pernah ditulis di kolom ini pada 7 Desember 2019, sumur gas Arun kini kering kerontang dan berhenti beroperasi sejak Oktober 2014. Lantas, apa hasil gas Arun? Berdasarkan data statistik, angka kemiskinan di Aceh per Maret 2019 mencapai 15,32 persen atau jauh di atas rata- rata angka kemiskinan nasional di periode yang sama sebesar 9,41 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh pada 2018 adalah 71,19 atau sedikit di bawah IPM nasional yang sebesar 71,39.
Arun harus menjadi pelajaran bagi Masela. Betapa kekayaan alam yang melimpah ruah ternyata tidak sepenuhnya mampu memperbaiki hidup masyarakatnya. Hal itu disebabkan kekayaan alam dipandang sebagai komoditas penghasil devisa, bukan modal menggerakkan pembangunan di dalam negeri.
Urusan mengelola sumber daya alam memang bukan perkara sepele. Apalagi, Masela jauh lebih besar daripada Arun. Pengelolaannya pasti lebih rumit. Tanda-tandanya sudah terlihat saat polemik memutuskan apakah gas Blok Masela sebaiknya dikelola di laut lepas (off shore) atau diolah di kilang darat (on shore) beberapa tahun lalu. Pada akhirnya, gas Masela diputuskan diolah di kilang daratan.
Nota kesepahaman itu sudah ada di arah yang tepat. Gas alam cairnya menjadi sumber energi pembangkit listrik milik PLN. Sementara lainnya dimanfaatkan untuk menyokong industri pupuk. Memang, nota kesepahaman belum bersifat final dan mengikat layaknya perjanjial jual beli gas. Setidaknya ini merupakan langkah mula dari perjalanan jauh ke depan.
Bagi PLN, pemanfaatan gas dari Masela dapat menggantikan pemanfaatan bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik mereka. PLN meyakini pemakaian gas dapat menurunkan biaya produksi listrik dibandingkan menggunakan bahan bakar minyak. PLN sendiri diperkirakan bakal menyerap 2-3 juta ton gas alam cair Masela untuk kebutuhan pembangkit listrik.
Sementara bagi industri pupuk, gas sebagai bahan baku menjadi teramat vital. Lantaran bukan berupa gas alam cair, maka gas dari Lapangan Abadi disalurkan langsung lewat pipa menuju pabrik pupuk. Artinya, harus berdiri pabrik pupuk di daratan atau di pulau di sekitar sumber gas. Industri ini diharapkan mampu memberi lapangan kerja baru bagi daerah dan berkontribusi signifikan terhadap industri pupuk nasional.
Sekali lagi, Arun harus menjadi pelajaran bagi Masela. Gas harus benar-benar menjadi sumber energi untuk memberdayakan ekonomi di dalam negeri, bukan dijual untuk menghasilkan devisa. Pemerintah, baik di daerah maupun di pusat, harus mempunyai visi jangka panjang bagaimana agar Masela tidak bernasib seperti Arun di kemudian hari.