Petambak di Kalimantan Selatan kini mengembangkan budidaya udang windu secara organik. Udang windu yang dikelola secara organik ini banyak diminati pasar Jepang dan Eropa.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
KOTABARU, KOMPAS — Budidaya udang windu secara organik mulai dikembangkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Teknik budidaya organik tidak hanya bisa menekan biaya produksi, tetapi juga bisa meningkatkan produktivitas udang windu hingga 30 persen.
Proyek percontohan budidaya udang windu organik dilakukan di Desa Pantai, Kecamatan Kelumpang Selatan, Kotabaru, sejak tahun lalu. Pengembangan budidaya udang windu di Kotabaru itu dibantu Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru Zainal Arifin menuturkan, teknik budidaya udang windu secara organik mampu meningkatkan produktivitas dari rata-rata 50 kilogram (kg) per hektar (ha) menjadi 65 kg per ha. Bahkan, produktivitasnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan hingga 80 kg per ha.
Tahun ini, budidaya udang windu secara organik kembali dilakukan di tambak seluas 3,5 ha. ”Budidaya udang windu secara organik akan terus dikembangkan dan direplikasi secara luas di Kotabaru,” kata Zainal saat meninjau lokasi tambak udang di Desa Pantai, Kamis (20/2/2020).
Zainal mengemukakan, luas lahan tambak aktif di Kotabaru mencapai 6.038 ha. Lahan tambak itu tersebar di beberapa kecamatan, di antaranya Kelumpang Selatan (1.664 ha), Pamukan Selatan (1.654 ha), Pulau Laut Timur (1.060 ha), Kelumpang Hilir (720 ha), dan Sampanahan (452 ha).
Menurut Zainal, Kotabaru adalah daerah sentra produksi udang di Kalimantan Selatan. Udangnya selama ini diekspor ke Jepang. ”Dengan pengembangan budidaya udang secara organik, kami ingin membuka pasar ekspor baru, terutama ke Uni Eropa dan Arab Saudi. Pasar negara-negara tersebut memang mensyaratkan udang harus dibudidayakan secara organik,” tuturnya.
Dengan pengembangan budidaya udang secara organik, kami ingin membuka pasar ekspor baru, terutama ke Uni Eropa dan Arab Saudi.
Untuk budidaya udang secara organik, ujar Zainal, para petambak menggunakan pupuk organik yang diolah dari kotoran sapi dalam penyiapan tambak. Selain itu, digunakan pula kapur dolomit untuk menstabilkan tingkat keasaman (pH) air. ”Petambak sudah tidak lagi menggunakan pupuk kimia, terutama pupuk TSP (triple super phosphate) dan pestisida kimia,” katanya.
Konsultan Pengembang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kantor Perwakilan BI Kalimantan Selatan Untung Torang menjelaskan, proses penyiapan tambak untuk budidaya udang windu secara organik diawali dengan penaburan kapur dolomit. Setelah itu, lahan disemprot dengan cairan microbacter alfaafa atau MA-11, yang dibuat dari tanaman alfaafa.
Proses selanjutnya adalah penaburan pupuk superbokashi yang diolah dari kotoran sapi pada lahan tambak. Setelah itu, lahan tambak kembali disemprot dengan cairan MA-11, lalu disemprot dengan biofarm yang diolah dari urine sapi. Biofarm berfungsi sebagai racun pembasmi organisme pengganggu sekaligus pupuk untuk menumbuhkan plankton.
”Penyiapan lahan tambak memerlukan waktu 14 hari atau dua minggu. Setelah itu, baru tambak diisi air setinggi 30 sentimeter (cm). Lima hari kemudian, air ditambah lagi sampai ketinggian 70-80 cm. Setelah tambak dibiarkan 2-3 hari, baru ditaburi benih udang ataupun ikan,” tutur Untung.
Kepala Bidang Pemberdayaan Pembudidayaan Ikan Dinas Perikanan Kotabaru Sarawani mengatakan, masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Kotabaru umumnya menggantungkan hidup pada usaha perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya. Jumlah petambak di Kotabaru sekitar 1.400 keluarga.
”Masyarakat pesisir umumnya mengusahakan tambak secara polikultur. Dalam satu tambak, mereka memelihara udang windu, ikan bandeng, dan kepiting. Dengan begitu, hasilnya lebih banyak dan menguntungkan,” katanya.
Ketua Kelompok Petambak Cahaya Benur Desa Pantai Beddu (48) menuturkan, budidaya udang windu secara organik sudah diaplikasikan pada sebagian lahan tambaknya. Dari lahan tambak seluas 13 ha, lahan tambak seluas 3,5 ha di antaranya sudah menerapkan sistem organik. Dalam satu tambak organik, Beddu membudidayakan udang windu, ikan bandeng, dan kepiting.
Untuk udang windu dan kepiting, menurut Beddu, panennya per tiga bulan, sedangkan ikan bandeng panen per empat atau enam bulan. ”Sekali panen udang windu bisa mencapai 70 kg per ha. Jika harga udang windu Rp 105.000 per kg, dengan hasil panen 50 kg per ha saja sudah untung,” ujarnya.