Fakta serupa ada di halaman utama Kompas (Minggu, 12/1) yang menampilkan foto kapal-kapal penjaga pantai China (6 buah) membayangi ketiga kapal perang kita. Kita tidak punya kapal penjaga pantai sehingga kapal perang dikirim ke perairan Natuna utara.
Saya pribadi malu melihat foto tersebut. Bagi China, kapal-kapal perang kita hanya sekelas kapal penjaga pantai mereka, tidak perlu mengeluarkan kapal perang.
China menjadi besar karena musuh terbesarnya, yakni masalah dalam berbangsa dan bernegara, sudah berhasil diatasi. Sementara kita? Di Kompas (12/1) halaman dua, ada berita: ”Suap di Balik Pengutak-atikan Kursi”. Ya, korupsi berjemaah masih menjadi tren.
Masih ingat pernyataan seorang Wakil Ketua DPR: ”Korupsi justru jadi oli pembangunan”. Kalimat tersebut mustahil keluar dari pejabat di negeri China. Ini hanya bisa terjadi di Indonesia karena korupsi sangat membudaya. Kita sudah menjadi kanibal antaranak bangsa sehingga tak mampu menghadapi musuh dari luar.
Soal kanibalisme lain adalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Tidak perlu bicara banyak melihat perkembangan SARA di tanah air, cukup sebuah pernyataan anak bangsa: ”Kalau tidak beragama, kita dikatakan komunis dan itu dilarang. Namun, kita yang beragama dan mau sembahyang di rumah sendiri juga dilarang. Lalu harus bagaimana?”
Inilah cermin bangsa Indonesia.
Djoko Madurianto Sunarto
Jalan Pugeran Barat, Yogyakarta, 55141
”Zebra Cross” untuk Pasar Mede
Pasar Mede di barat Jalan RS Fatmawati, Kelurahan Cilandak Barat, banyak pembeli. Namun, masyarakat di timur Jalan Fatmawati harus menyeberang jalan cukup yang ramai menuju Pasar Mede.
Sebelum jalur MRT dibangun, ada tempat penyeberangan (zebra cross) dilengkapi lampu peringatan warna kuning. Setelah MRT selesai dibangun, ada celah selebar 1 meter di bawah jalur, tetapi tak ada tanda jelas untuk pejalan kaki atau motor.
Jalur itu akhirnya dipakai banyak keperluan karena tepat di depan pasar. Bagi pengendara motor, jalur itu lebih dekat daripada memutar di depan Wisma Subud atau di dekat perempatan Jalan Fatmawati dan Jalan TB Simatupang.
Pejalan kaki sulit menyeberang karena kecepatan kendaraan dan tidak ada zebra cross. Mohon perhatian.
Abdul Faridhan
Jalan Cilandak Bawah I,
Jakarta Selatan, 12430
Mohon Ada Polsek
Sejak kurang lebih lima tahun lalu, kami masyarakat tujuh desa di Kecamatan Tajurhalang tidak lagi merasakan pengayoman dan pelayanan Polri karena ada pemekaran Kecamatan Bojonggede menjadi dua kecamatan: Bojonggede dan Tajurhalang.
Seluruh personel di Polsek Bojonggede, Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, ditarik ke kantor polsek baru di Desa Bojonggede, Kecamatan Bojonggede. Namun, Kecamatan Tajurhalang yang ditinggalkan belum memiliki polsek sendiri pasca-pemindahan sampai sekarang.
Akibatnya, daerah kami menjadi rawan kriminalitas. Pencurian sepeda motor merajalela. Pernah dalam sebulan, kantor sebuah SMA swasta di Desa Tonjong tiga kali menjadi korban maling.
Selama ini, kami masyarakat Tajurhalang harus pergi ke kantor polisi Bojonggede yang jauh untuk mengurus dokumen terkait kepolisian.
Kantor polsek lama—lengkap dengan asrama—yang dibangun 1982 di atas area 7.000 meter persegi kini rusak serta sebagian plafon ambrol dan bocor di sana-sini.
Kami, masyarakat Kecamatan Tajurhalang, berharap memiliki polsek sendiri.
R Hendratmo
Tajurhalang, Bogor