”Daycare”, Rumah Kedua bagi Anak-anak Keluarga Karier
›
”Daycare”, Rumah Kedua bagi...
Iklan
”Daycare”, Rumah Kedua bagi Anak-anak Keluarga Karier
Pengasuhan anak di kota besar kerap menyisakan dilema bagi orangtua yang bekerja. Kebutuhan mendidik anak dengan baik berhadapan dengan kebutuhan ekonomi serta sulitnya mencari pengasuh di rumah. Daycare jadi pilihan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Maina (3) belajar memasukkan baju kotornya ke dalam tas, di sebuah tempat penitipan anak (TPA/daycare) di Sudirman Park, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020). Seorang pengasuh anak menunjukkan cara melipat baju agar tetap rapi saat dimasukkan ke dalam tas.
Di kamar yang memiliki barisan tempat tidur tingkat, rak buku, serta seperangkat meja dan kursi itu, delapan anak lain sedang asyik membaca buku bergambar. Khaleel (4), salah seorang anak, menunjukkan pakaian spiderman yang ia kenakan. Badannya terlihat kekar mengenakan baju berbusa itu.
Manajer Operasional High Reach Daycare Lina Jenie menjelaskan, terdapat 25 bayi dan anak yang berusia di bawah enam tahun di daycare yang berada di Lantai 2 Tower B Sudirman Park ini. Mereka terbagi ke dalam lima kelas yang dibagi berdasarkan usia. Kelas pertama ditujukan untuk anak usia 3 bulan-17 bulan, kelas kedua 18 bulan-2 tahun, ketiga untuk 2 tahun-3 tahun, keempat 3 tahun-4 tahun, dan terakhir kelas kelima untuk anak 4 tahun-6 tahun.
Setiap pagi, bayi dipijit. Bayi-bayi itu juga diberikan kegiatan untuk meningkatkan perkembangan gerak (motorik). Sementara anak usia dua tahun mulai diperkenalkan huruf dan angka.
Selanjutnya, anak dalam rentang usia dua tahun sampai enam tahun juga melakukan circle time setiap hari. Mereka menari dan menyanyi untuk menambah kosakata. Tidak hanya itu, mereka juga berkegiatan di luar ruangan, seperti berenang setiap Jumat.
Lina memaparkan, daycare yang sudah berdiri sejak 2007 ini diperkuat oleh dua pengajar dan delapan pengasuh anak.
Untuk jasa ini, setiap bulan, para orangtua dikenakan biaya Rp 4,5 juta-Rp 4,9 juta. Ada juga program setengah hari untuk anak yang sudah belajar di taman kanak-kanak (TK) dengan kisaran biaya Rp 3,8 juta.
Setiap Senin-Jumat, lanjutnya, orangtua sudah bisa mengantarkan anaknya pada pukul 07.15. Mereka dijemput kembali pada sore harinya. Lina menuturkan, rerata orangtua yang menitipkan anaknya di sini merupakan pekerja. Mereka tinggal atau bekerja di sekitar Sudirman Park.
”Kalau dulu, orangtua dari suami istri yang bekerja ini (kakek-nenek anak) masih bisa dititipi untuk mengurus anak. Sekarang, kebanyakan kakek-nenek ini juga masih beraktivitas atau sudah sepuh sehingga tak bisa lagi dititipi anak,” katanya.
Pemilik Lovely Sunshine Daycare yang berlokasi di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Amanda Wangsa, bercerita, dirinya sendiri pernah mengalami kesulitan tatkala anak pertama lahir. Dia dan suami sama-sama bekerja di perusahaan swasta.
Di sisi lain, dia tak yakin meninggalkan anak bersama pengasuh anak. Mendatangkan orangtua yang tinggal di Jawa Timur untuk merawat anak juga dirasa tidak mungkin.
Dia pun sempat menggunakan jasa daycare di beberapa lokasi. Kemudian, berangkat dari hasil observasi di beberapa lokasi itu, dia memutuskan untuk membuat daycare sendiri pada tahun 2011.
Pertama dibuka, ada 10 anak yang dititipkan di tempatnya. Kini, jumlahnya mencapai 40 anak. Mereka terbagi dalam enam kelas, dari anak usia 2 bulan hingga 6 tahun.
Di Lovely Sunshine Daycare juga terdapat TK. Dengan membayar Rp 3,5 juta-Rp 3,8 juta per bulan, orangtua mendapat fasilitas penitipan sekaligus TK.
Salah satu solusi
Indri (35) merupakan salah satu orangtua yang menitipkan anaknya di daycare. Dia bekerja sebagai konsultan. Sementara suaminya bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta.
Sebelum memutuskan untuk menitipkan anak di daycare, ia pernah beberapa kali menyewa pengasuh anak. Tetapi, hasilnya tidak sesuai harapan.
Indri tidak merasa canggung ketika harus berbagi peran sebagai seorang ibu dan di saat bersamaan berstatus pekerja. Dia tumbuh besar di Jakarta dengan kondisi kedua orangtuanya juga bekerja. Dia pun besar bersama pengasuh anak.
”Jadi, saya tidak punya gambaran tentang menjadi ibu rumah tangga yang betul-betul di rumah saja. Jadi, kalau saat ini saya tiba-tiba di rumah, ya, bingung juga,” kata lulusan Universitas Indonesia ini.
Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, daycare merupakan fenomena urban. Industrialisasi membuka kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di ruang publik.
Daycare pun menjadi jalan keluar bagi pasangan yang sama-sama bekerja. Fenomena ini wajar dalam konteks masyarakat yang dilanda kesibukan saban hari.
Sebelum memutuskan untuk menitipkan anak di daycare, Indri pernah beberapa kali menyewa pengasuh anak. Tetapi, hasilnya tidak sesuai harapan.
Tetapi, kemudian, lanjut Derajad, daycare bergeser ke arah gaya hidup. Menitipkan anak dengan biaya jutaan rupiah per bulan dianggap sebagai prestise.
”Ada kecenderungan menitipkan anak menjadi status sosial. Sekarang fenomena keluarga muda kelas menengah atas kecenderungan untuk menitipkan anaknya itu tinggi. Kan, itu mahal,” katanya.
Keberadaan TPA diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang menyebut pendidikan anak usia dini bisa diselenggarakan lewat jalur formal, nonformal, dan informal. TPA merupakan bagian dari jalur pendidikan anak usia dini nonformal.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ada 2.988 TPA di Indonesia. Untuk wilayah DKI Jakarta, terdapat 22 TPA.