Inggris bersiap mengurangi pekerja asing. Pemerintahan konservatif yang dipimpin PM Boris Johnson memprioritaskan pekerja terampil serta ahli.
Oleh
·2 menit baca
Salah satu isu yang memicu kemenangan kelompok pendukung Brexit (pemisahan Inggris dari Uni Eropa/UE) adalah kehadiran tenaga kerja asing. Cerita keluhan para pekerja lokal terhadap serbuan warga asing menjadi salah satu bahan kampanye pendukung Brexit. Kedatangan tenaga kerja asing dalam jumlah besar, terutama akibat prinsip kebebasan bermigrasi di antara negara-negara anggota UE, dituduh sebagai penyebab penurunan gaji dan peningkatan pengangguran di kalangan penduduk negara itu.
Tidak lama setelah Inggris memasuki masa transisi dalam rangka pemisahan dari UE, pemerintah negara itu mengumumkan rencana untuk memprioritaskan pekerja asing yang terampil serta berkeahlian. Sistem baru ini akan berlaku mulai 1 Januari 2021.
Adapun masa transisi ialah periode pada 1 Februari 2020 hingga 31 Desember 2020. Dalam periode ini, Inggris resmi keluar dari UE, tetapi sementara tetap terikat dengan regulasi organisasi kawasan itu karena masih berlangsung negosiasi di antara mereka guna merumuskan model hubungan keduanya setelah transisi berakhir akhir tahun ini.
Langkah Inggris memprioritaskan tenaga kerja asing yang terampil dan berkeahlian dicapai dengan menerapkan penerimaan imigran berdasarkan poin. Seperti diberitakan harian ini, dalam sistem baru, calon pekerja asing terlebih dahulu dilihat keterampilan, kualifikasi, gaji, dan profesinya. Setiap aspek ini memiliki poin tersendiri. Setelah itu, visa diberikan hanya kepada mereka dengan poin tertentu.
Sebagian kalangan di Inggris selama ini melihat keanggotaan di UE menyebabkan London tak memiliki kedaulatan untuk menentukan imigran seperti apa yang boleh bekerja di negara itu karena warga dari negara UE bebas masuk ke Inggris. Oleh karena itu, saat menyampaikan sistem baru penerimaan tenaga kerja asing, pejabat Inggris menekankan, London sekarang mengakhiri prinsip kebebasan bermigrasi, serta kembali mengambil kendali atas perbatasan Inggris.
Meski demikian, beberapa asosiasi bisnis di negara itu segera menyatakan keprihatinan mereka. Diberitakan The Wall Street Journal, Konfederasi Industri Inggris, misalnya, memperingatkan bahwa pembatasan ketat terhadap migran dari UE berpotensi merugikan industri domestik di sektor konstruksi, perhotelan, serta makanan dan minuman. Dengan kata lain, sejumlah kalangan melihat, tenaga kerja yang kemungkinan besar dikategorikan berketerampilan rendah dan tidak akan mendapat visa sesungguhnya masih sangat dibutuhkan di Inggris.
Tarik-menarik itulah yang perlu dicermati pemerintahan konservatif Inggris. Bukan tak mungkin, pembatasan tenaga kerja asing justru bakal menciptakan tantangan lebih berat bagi perekonomian negara itu.