Rancangan Undang Undang Cipta Kerja mesti memperhatikan paradigma pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi tren global. Pengabaian konsep itu hanya akan mendatangkan investasi dari pengusaha hitam atau bermasalah.
Oleh
Ahmad Arif/Deonisia Arlinta
·4 menit baca
Polemik seputar Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terus bergulir. Sejumlah kalangan menilai, draf rancangan undang undang tersebut justru berpotensi menarik investasi yang abai terhadap lingkungan hidup. Fenomena itu menyalahi paradigma pembangunan berkelanjutan dan tren investasi hijau di banyak negara.
”RUU (Cipta Kerja) ini bertentangan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan karena pasal-pasalnya menunjukkan marjinalisasi aspek lingkungan dan sosial,” kata Henny Warsilah, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang juga Tim Pengarah Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana, di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Henny mengatakan, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan integrasi tiga aspek, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun, RUU ini justru hanya memprioritaskan ekonomi dan investasi, dengan mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan. ”Jadi, ini merupakan kemunduran,” katanya.
Selain itu, RUU ini bakal meningkatkan risiko bencana. Dengan melonggarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), implikasinya potensi kerusakan lingkungan akan meningkat. Sementara peminggiran partisipasi publik dalam konservasi lingkungan akan berpeluang meningkatkan konflik.
Henny mengingatkan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sudah menjadi komitmen global, termasuk negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi pesaing kita untuk menarik investasi. Dia meyakini, RUU ini akan menghalangi Indonesia mencapai 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai agenda pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan Bumi.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nunu Anugrah saat ditemui di KLHK, Kamis (20/2/2020), di Jakarta, enggan memberikan tanggapan terkait dengan RUU Cipta Kerja. ”Masih dibahas secara teknis dan sistematis. Jangan sekarang (penjelasannya). Nanti ada waktunya (untuk dijelaskan). Sabar sebentar,” ucapnya.
Tren global
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang juga Ketua Tim Satgas Omnibus Law, Rosan Perkasa Roeslani mengakui, investasi hijau telah menjadi tren global. Karena itu, RUU ini tidak dimaksudkan untuk meminggirkan lingkungan.
Namun, Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengingatkan, pasal-pasal RUU Cipta Kerja ini justru bertentangan dengan pembangunan hijau yang menjadi tren global. ”Dengan RUU ini, pemerintah justru akan menarik investor hitam. Padahal, tren global, investasi saat ini justru sangat ketat dengan HAM dan lingkungan,” katanya.
Dengan RUU ini, pemerintah justru akan menarik investor hitam. Padahal, tren global, investasi saat ini justru sangat ketat dengan HAM dan lingkungan.
Pemerintah Indonesia, dengan dukungan Global Green Growth Institute (GGGI), sebenarnya telah mengeluarkan peta jalan kebijakan, perencanaan, dan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau sejak 2015. Dalam peta jalan itu disebutkan, pertumbuhan ekonomi hijau bertujuan mengurangi kemiskinan serta memastikan inklusi sosial, kelestarian lingkungan, dan efisiensi sumber daya.
Namun, menurut Hariadi, dengan RUU yang timpang pada kepentingan ekonomi, aspek lingkungan hidup dan kehutanan bakal terpinggirkan. ”Padahal, hambatan investasi di Indonesia belum tentu masalahnya ada di perundangan, tetapi juga institusi dan birokrasinya yang korup,” ujarnya.
Ketidakadilan
Hariadi menambahkan, di sektor kehutanan, RUU ini juga bermasalah karena berpeluang memicu ketidakadilan pemanfaatan hasil hutan. Contohnya, dalam pasal-pasal mengenai pemanfaatan hasil hutan di RUU Cipta Kerja, Pasal 27 dan Pasal 29 dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) justru dicabut.
Padahal, pasal-pasal yang dicabut itu mengatur hak perorangan dan koperasi untuk mendapat izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin pemungutan hasil hutan. ”Dalam perubahan Pasal 30 UUK, koperasi dan badan usaha milik desa hanya dapat bekerja sama dengan usaha besar, yaitu BUMN, BUMD dan BUMS yang bisa mendapat perizinan berusaha,” ujarnya.
Selain itu, RUU ini berpeluang melemahkan penegakan hukum dan bisa menghambat upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Itu terlihat dari perubahan Pasal 49 UUK disebutkan bahwa pemegang hak atau perizinan berusaha wajib mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan di areal kerjanya.
Dalam Pasal 49 UUK yang kini masih berlaku disebutkan bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Isi perubahan Pasal 49 UUK itu berpotensi melemahkan penegakan hukum akibat kebakaran hutan oleh korporasi dan ”mengunci” perubahan UUK.
Menurut Hariadi, meski Presiden Joko Widodo menyatakan tak akan melemahkan hak asasi manusia dan lingkungan hidup demi meningkatkan investasi, RUU yang diusulkan pemerintah ini mencerminkan sikap sebaliknya.
”Beberapa waktu lalu Menteri LHK mengatakan, RUU ini tidak melemahkan lingkungan. Amdal dilonggarkan karena sudah jadi satu dengan kelayakan lingkungan. Namun, bagaimana memformulasikan kelayakan lingkungan dalam perizinan, ini tidak jelas,” ujarnya.