Pertunjukan teater-sastra ”LaluKau” memanggungkan puisi-puisi Radhar Panca Dahana. Sebagian puisi mengulik kekosongan manusia dalam kehidupan zaman sekarang. Manusia sibuk, bergerak, bertemu dengan sesama, tapi kosong.
Oleh
CEICILIA MEDIANA
·4 menit baca
”Siapa begitu sibuknya, mondar-mandir memenuhi kota? Ruang menciut napas mengerut, maut di jejak siap menjemput. Siapa kamu mengada lalu?”
Radhar Panca Dahana membacakan puisinya sendiri, ”Kau yang Kosong 2” pada pementasan teatrikal puisi ”LaluKau”, Selasa (18/2/2020) malam, di Gedung Kesenian Jakarta.
Budayawan itu mengenakan baju koko, selendang, celana, dan peci putih. Layar di panggung diisi rangkaian foto lalu lalang manusia di jalan raya kota malam hari, lengkap dengan gedung-gedung tinggi. Lampu deretan kursi penonton sengaja dipadamkan. Sumber cahaya hanya di panggung. Sorot lampu selalu terarah pada sosok yang membacakan puisi. Di belakang panggung terpasang layar menayangkan video dan gambar.
Puisi, gambar di layar, dan tampilan Radhar yang serba putih seolah meneguhkan suasana kota yang riuh, tetapi kosong. Orang-orang berjibaku mondar-mandir, berkejaran atau mengejar impian, tetapi sejatinya hampa. Manusia masih terus bertemu satu sama lain, tetapi kehilangan makna.
Pertunjukan yang dihelat dua hari, Selasa dan Rabu, ini cukup banyak membicarakan kekosongan. Dikemas dalam bentuk teater-sastra, pentas menampilkan pembacaan 20 puisi karya Radhar. Dari semua itu, ada sejumlah puisi mengulik soal kosong.
Sejumlah seniman tampil membacakan puisi. Sebut saja aktor senior Deddy Mizwar, aktris senior Niniek L Karim, soprano Aning Katamsi, dan penyanyi Iwan Fals. Beberapa puisi yang mereka baca juga bercerita soal kekosongan.
”TentangMu semua kutahu. Aku tak tahu semua kurasa. Tak kurasa, badan hampa, bukan siapa, bukan apa.” Ini puisi ketiga ”Penuh Ketika Kosong” yang dibaca Niniek.
Untuk mempertegas, perempuan itu tampil membacakan puisi keempat yang secara gamblang mengungkap fenomena orang-orang yang tampil dengan simbol agama, seperti peci, gamis, sajadah, tasbih, dan masjid. Kenyataan seperti ini jamak ditemui di masyarakat.
”Siapa Tuhan kau puja selalu yang mana? di mana? di ujung lidah toksikmu? di tiap kontaminasi rakaatmu? atau beban di receh sedekahmu?”
Dalam puisi keempat yang berjudul ”Kau yang Kosong 3” tersebut, penampilan simbol-simbol agama di muka umum menghampakan hati. Sadar tidak sadar inilah yang Radhar sindir.
Niniek bahkan membaca dengan penuh penekanan bagian penutup puisi itu. ”Sementara di pojok hatimu, Ia bercahaya, dikurung masa dan gelap yang kau cipta, yang aku merasa tersiksa sepanjang usia. Sepanjang manusia ada dalamku.”
Satu judul puisi yang dibawakan Iwan Fals juga memuat kata ”kosong”. Narasinya menyiratkan hubungan manusia satu dengan lain yang kehilangan makna. Seseorang memeluk orang lain, tetapi pelukannya hanya permukaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kosong bermakna tidak berisi, tidak berpenghuni, hampa, berongga, tidak bergairah, tidak ada sesuatu yang berharga, atau dapat juga berarti tidak ada muatannya.
”Kosong” bagi budayawan Radhar Panca Dahana merujuk ke nama teater yang dia bangun sejak tahun 1981. Lebih dari sebuah nama atau kata, kosong bagi dia bermakna tataran spiritualitas yang seharusnya dimiliki peradaban manusia agar bisa menerima perbedaan.
Bagi Radhar, manusia menjadi kosong karena tidak menyediakan ruang bagi manusia lain yang berbeda. ”Menciptakan ruang kosong dalam dirinya sehingga manusia menerima perbedaan. Kalau tidak menerima, ya berantem. Tatanan ’kosong’ paling puncak adalah menerima Sang Khalik,” ujarnya.
Manusia bisa menjalani kehidupan bagai air yang mengalir dan luwes sesuai keadaan. Namun, sekarang kita terus dijejali dengan aneka mazhab. Teknologi dibajak untuk berbagai kepentingan. Agama kerap hanya dirayakan pada simbolnya, tetapi minim penghayatan sosial.
”Waktu sekarang menjadi problematis. Memahaminya menjadi dilematis dan bahkan cenderung bersifat materialistik. Dulu, orang memakai waktu untuk merenung, tetapi kini tidak sehingga yang terjadi adalah kosong,” katanya seusai pentas.
Dulu, orang memakai waktu untuk merenung, tetapi kini tidak sehingga yang terjadi adalah kosong.
Pertunjukan teater-sastra ”LaluKau” adalah bagian dari tetralogi. Sebelumnya, pementasan mengambil judul ”LaluWaktu”, ”LaluBatu”, dan ”LaluAku”. Keempat judul itu berhubungan dan mempunyai benang merah pemaknaan kehidupan manusia.
Teatrikal puisi ”LaluKau” ditutup penampilan Radhar bersama Deddy, Niniek, Iwan, dan Aning. Mereka menyanyikan paragraf demi paragraf puisi berjudul ”Basmalah”. Paduan suara Bianglala Voices turut tampil dan menjadi backing vokal. Puisi ”Basmalah” ditampilkan terakhir seolah ingin mengingatkan agar manusia selalu kembali berjalan menuju pencipta-Nya.