Persetujuan Lingkungan dalam ”Omnibus Law” RUU Cipta Kerja
›
Persetujuan Lingkungan dalam...
Iklan
Persetujuan Lingkungan dalam ”Omnibus Law” RUU Cipta Kerja
Penyederhanaan perizinan berusaha menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Namun, beberapa perubahan pengaturan pada RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keberlangsungan lingkungan.
Oleh
WIRDATUL AINI
·4 menit baca
Ruang lingkup peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha pada Bab III RUU Cipta Kerja meliputi empat bagian pengaturan. Aturan ini mengenai penerapan perizinan usaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan, penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan penyederhanaan persyaratan investasi.
Kemudian, pada bagian penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan itu meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, serta persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.
RUU Cipta Kerja ini selanjutnya mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terkait perizinan usaha untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan.
Sebagai upaya tersebut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengalami perubahan. Hasil analisis Litbang Kompas menemukan 45 ketentuan pasal yang mengalami perubahan atau penghapusan. Perinciannya, 31 pasal diubah, 13 pasal dihapus, serta 1 pasal disisipkan dalam RUU ini.
Izin lingkungan
Pertama, ketentuan Pasal 1 Ayat 12, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) tidak lagi diperlukan bagi pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Pada Ayat 35, kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.
Kedua, ketentuan Pasal 20 Ayat 3 dan 5 diubah. Pada Ayat 3, sebelumnya, setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan syarat mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/wali kota. Ketentuan tersebut kemudian diubah dengan syarat mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Kemudian, Pasal 20 Ayat 5 pada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi satu dalam Ayat 4 pada RUU Cipta Kerja. Pada Ayat 5, ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup pada Ayat 2 huruf b,e,f diatur dalam peraturan menteri diubah diatur dalam peraturan pemerintah.
Keempat, ketentuan Pasal 24 ditambah. Pemerintah pusat dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat dalam melakukan uji kelayakan dan dapat menetapkan keputusan kelayakan lingkungan sebagai dasar pelaksana kegiatan dan persyaratan penerbitan perizinan berusaha.
Amdal
Hal lain yang berpotensi mengurangi kualitas lingkungan adalah ketentuan seputar analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). Terdapat enam pasal yang diubah terkait amdal.
Pertama, ketentuan Pasal 1 Ayat 11, 12, dan 35 diubah. Pada Pasal 1 Ayat 11, analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) diperlukan bagi pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini diubah menjadi amdal digunakan sebagai pertimbangan saja.
Kedua, perubahan pada ketentuan Pasal 23. Sembilan kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal dihapus dan diubah menjadi yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya. Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha diatur dengan peraturan menteri diubah menjadi diatur peraturan pemerintah.
Ketiga, perubahan Pasal 25, dokumen amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Sebelumnya, saran masukan serta tanggapan berasal dari masyarakat secara umum.
Keempat, ketentuan Pasal 26 diubah. Masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunan dokumen amdal adalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan atau kegiatan. Padahal, bunyi Pasal 26 sebelum diubah melibatkan masyarakat sebagai pemerhati lingkungan dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan amdal.
Dokumen amdal
Selanjutnya, perubahan ketentuan Pasal 27 berbunyi dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa dapat menunjuk pihak lain. Sebelum diubah, pemrakarsa dapat meminta bantuan kepada pihak lain.
Keenam, Pasal 28 Ayat 2 dan 3 pada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus di RUU Cipta Kerja. Sebelumnya, kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sudah ditentukan. Pada RUU Cipta Kerja, ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan pemerintah.
Pada Ayat 35, kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.
Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No 32 Tahun 2009 untuk melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu untuk menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia serta menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup.
Melalui draf omnibus law RUU Cipta Kerja, pemerintah berharap dapat menghilangkan faktor-faktor penghambat pertumbuhan ekonomi. Salah satunya terkait dengan persetujuan lingkungan tersebut untuk menyederhanakan perizinan berusaha.
Namun, sejumlah perubahan ketentuan pasal-pasal tersebut berpotensi mengurangi kualitas lingkungan hidup, seperti izin lingkungan, pembuangan limbah, pengawasan baku mutu lingkungan, serta amdal. Luasnya cakupan bidang lingkungan hidup juga perlu dilihat dengan kapasitas pemerintah pusat yang memegang porsi tanggung jawab besar dalam RUU ini. (LITBANG KOMPAS)