RUU Ketahanan Keluarga Dinilai sebagai Langkah Mundur
›
RUU Ketahanan Keluarga Dinilai...
Iklan
RUU Ketahanan Keluarga Dinilai sebagai Langkah Mundur
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dinilai sebagai langkah mundur. Bukannya memperkuat keluarga, RUU ini justru mendorong perempuan kembali ke ruang domestik dengan fokus mengurus rumah tangga.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga mengundang kritik dari kalangan organisasi perempuan. RUU tersebut dinilai patriarki karena menarik perempuan ke ranah domestik dan akan menempatkan perempuan pada posisi yang rentan mengalami kekerasan berlapis.
”RUU tersebut sebaiknya tidak perlu dibahas karena semangatnya bukan membangun ketahanan keluarga, melainkan justru akan menghancurkan keluarga,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari di sela-sela Pembukaan Festival Kepemimpinan Perempuan dan SDGs serta Kongres Nasional V KPI di Asrama Haji Sukolilo, Jawa Timur, Kamis (20/2/2020).
Kehadiran RUU Ketahanan Keluarga, menurut Dian, sebenarnya menunjukkan bahwa parlemen benar-benar melihat tubuh perempuan itu sebagai pertarungan politik, bahkan sampai seksualitas dan rahim perempuan pun harus diatur oleh negara. ”Itu betul-betul menjadikan tubuh perempuan itu sebagai komunitas politik dan pertarungan politik. Maka, kami menolak keras RUU tersebut,” kata Dian.
Apa yang diatur dalam RUU tersebut juga tidak sejalan dengan perjuangan untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender. Saat ini justru didorong agar pembagian peran dan tanggung jawab dalam keluarga, laki-laki dan perempuan harus sama-sama bertanggung jawab, tetapi di RUU Ketahanan Keluarga malah membuat perbedaan peran.
Bukannya laki-laki dan perempuan didorong bertanggung jawab untuk urusan keluarga di domestik ataupun publik, RUU itu malah justru menarik perempuan untuk masuk di dalam rumah. Itu akan bisa menghancurkan ketahanannya karena zaman sekarang itu enggak bisa kehidupan keluarga itu ditopang oleh satu pihak saja,” ujar Dian.
Dengan menempatkan perempuan di ranah domestik, justru membuat perempuan atau istri tidak memiliki kelenturan dalam menghadapi kebutuhan dan persoalan keluarga, apalagi sebagai pencari nafkah, jika kemudian tiba-tiba terjadi sesuatu kepada suami. Misalnya, jatuh sakit mendadak, kena stroke, dan istri selama ini hanya jadi ibu rumah tangga, maka kondisi itu akan menimbulkan persoalan. Jika itu terjadi, sang istri akan memiliki beban ganda, yakni merawat suaminya dan merawat anak-anaknya. Namun, istri tidak punya pengalaman mencari nafkah.
Dalam kondisi seperti itu, perempuan rentan menjadi korban termasuk korban poligami. ”Karena itu, kita akan menolak RUU itu. Mendingan memperbaiki undang-undang perkawinan. Apalagi RUU itu sudah keluar dari ranahnya. UU Ketahanan Keluarga masuk rumpun apa ?” ujar Dian.
Ditemui di tempat yang sama, anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfa Ansor, menyatakan, ada beberapa faktor yang harus dilihat dari RUU Ketahanan Keluarga. Pertama, soal perspektif yang sangat patriarki, masih menganggap urusan perempuan urusan rumah tangga. Kedua, RUU tersebut menunjukkan negara mengatur hal-hal privat yang bukan menjadi kewenangannya.
Ketiga, di antara pasal-pasal yang diatur dalam RUU tersebut, sebagian sudah diatur di tempat lain, misalnya di UU Perkawinan dan UU Kesehatan. Ketahanan keluarga mesti dilihat dari berbagai aspek, seperti ekonomi dan tenaga kerja.
”Jadi, kalau kita lihat dari pasal per pasal, sebagian besar duplikasi di undang-undang lain. Menurut saya, UU ini mungkin lebih pas kalau yang lain-lain dibuang, lalu jadi UU Pengasuhan, tetapi dengan catatan masih banyak yang harus diperbaiki,” kata Maria.
Soal pengaturan tempat tidur, misalnya, menunjukkan RUU tersebut sudah sangat memasuki wilayah pribadi orang. Urusan anak mau tidur di mana itu cukup menjadi norma di dalam keluarga.