Mulai 1 Mei 2020, ekspor batubara wajib menggunakan kapal angkutan nasional. Sudah ada pihak yang membatalkan pembelian batubara dari Indonesia akibat ketentuan ini.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban ekspor batubara menggunakan kapal angkutan nasional dikhawatirkan mengganggu ekspor batubara Indonesia. Ketersediaan kapal angkutan nasional yang terbatas mengancam kegiatan eskpor.
Ketentuan yang berlaku mulai 1 Mei 2020 ini menyebabkan produsen batubara Indonesia bisa kehilangan pembeli.
Kewajiban menggunakan kapal angkutan nasional diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Pasal 3 Ayat 1 aturan itu menyebutkan, eksportir yang mengekspor batubara ataupun minyak kelapa sawit wajib menggunakan angkutan laut perusahaan nasional.
Seharusnya, ketentuan ini berlaku sejak April 2018. Namun, ditunda menjadi mulai 1 Mei 2020.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, aturan tersebut menyulitkan pengusaha batubara Indonesia. Sebab, jumlah kapal angkutan perusahaan nasional sangat terbatas. Padahal, aktivitas ekspor batubara Indonesia sangat tinggi dibandingkan penjualan ke dalam negeri.
”Batubara tak bisa diekspor. Pembeli bisa beralih ke negara penjual lain. Hal ini tentu memberatkan kami di tengah harga batubara yang tertekan dan pasokan batubara dunia yang tengah melimpah,” kata Hendra dalam konferensi pers, Kamis (20/2/2020), di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara Indonesia pada tahun ini ditargetkan 550 juta ton. Dari jumlah itu, 155 juta ton dipasok untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan sisanya sebanyak 395 juta ton diekspor. Tahun lalu, dari 610 juta ton produksi batubara Indonesia, sebanyak 472 juta ton diekspor.
Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82 Tahun 2017 menyebutkan, jika angkutan laut nasional tidak tersedia, eksportir dan importir dapat menggunakan angkutan laut milik asing ataupun perusahaan nasional.
Namun, menurut Hendra, belum ada petunjuk teknis mengenai hal tersebut.
Sudah ditunda
Direktur Pemasaran PT Adaro Indonesia Hendri Tan menambahkan, ketentuan tersebut sudah menyebabkan penundaan dan pembatalan atas pembelian batubara asal Indonesia. Akibatnya, ekspor batubara asal Indonesia terganggu. Jika hal ini terjadi berlarut-larut tanpa solusi dari pemerintah, menurut Hendri, nyaris 100 persen kegiatan ekspor batubara bisa terhenti.
”Untuk ekspor batubara dari Indonesia, sebagian besar yang menyewa kapal adalah pembeli. Apakah mereka bersedia menyewa kapal asal Indonesia dengan jumlah sangat terbatas? Yang terjadi, mereka akan beralih ke negara penjual batubara lainnya,” tutur Hendri.
Apakah mereka bersedia menyewa kapal asal Indonesia dengan jumlah sangat terbatas? Yang terjadi, mereka akan beralih ke negara penjual batubara lainnya.
Penundaan dinilai beralasan
Menurut Tulus Situmeang dari Komite Pemasaran dan Logistik APBI, batubara digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Negara pembeli batubara memerlukan keandalan pasokan demi menjaga ketahanan energi di negara mereka.
”Pada 2018 ada 7.645 perjalanan kapal untuk kegiatan ekspor batubara Indonesia. Dari informasi yang kami terima, jumlah kapal angkutan nasional hanya 182 unit. Jumlah itu jelas sangat tidak mencukupi,” tutur Tulus.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA) Carmelita Hartoto, yang dikonfirjmasi mengenai data jumlah kapal angkutan nasional di Indonesia, belum menjawab.
Sektor tambang mineral dan batubara Indonesia pada 2019 menyumbang Rp 44,8 triliun bagi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun ini, pemerintah menargetkan perolehan PNBP sektor ini Rp 44,4 triliun, sebagai bagian dari target perolehan PNBP di Kementerian ESDM 2020 yang sebanyak Rp 181,7 triliun. (APO)