Menimbang Serius Pernyataan Muhadjir Effendy soal Pernikahan Lintas Kelas
›
Menimbang Serius Pernyataan...
Iklan
Menimbang Serius Pernyataan Muhadjir Effendy soal Pernikahan Lintas Kelas
Ajakan Menko PMK Muhadjir Effendy agar orang kaya menikah dengan yang miskin untuk mengurangi kemiskinan dinyinyiri banyak pihak. Padahal, faktanya, makin banyak pernikahan yang setara, makin terbelah kelas masyarakat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI/ERIKA KURNIA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guyonan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bahwa perlu fatwa agar kelompok masyarakat yang kaya menikahi kelompok yang miskin untuk mengurangi jumlah kemiskinan di Indonesia ditanggapi serius dan menuai polemik. Benarkah perkawinan lintas kelas bisa menyelesaikan persoalan kesenjangan ekonomi sekaligus mengurangi kemiskinan?
Publik menganggap pernyataan Muhadjir sesuatu yang konyol. Bahkan, di media sosial, tak jarang berita tentang ucapan Muhadjir agar orang kaya menikahi orang miskin ditanggapi nyinyir. Warganet Indonesia seperti tak kekurangan bahan untuk mengolok pejabat setingkat menteri yang dianggap memberi pernyataan konyol seperti Muhadjir.
Namun, benarkah pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini konyol? Sebenarnya tak sepenuhnya begitu.
Sebuah artikel berjudul ”Equality in Marriages Grows, and So Does Class Divide” yang terbit di New York Times (NYT) pada 27 Februari 2016 silam dengan gamblang menjelaskan, semakin banyaknya pernikahan sederajat di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu terakhir telah mencerminkan perubahan mendalam dalam keluarga dan masyarakat negeri itu. Masyarakat di AS menjadi lebih dipisahkan oleh kelas.
Sosiolog University of Wisconsin-Madison, Christine Schwartz, yang dikutip NYT dalam artikel tersebut dengan gamblang menyatakan, gagasan tentang meningkatnya kesetaraan antara suami dan istri memiliki efek paradoks dari meningkatnya ketidaksetaraan di semua rumah tangga AS.
Hanya, memang di AS meningkatnya pernikahan yang setara ini lebih dipicu semakin tingginya pendidikan perempuan dan partisipasi mereka dalam angkatan kerja, peran jender yang baru, dan munculnya apa yang disebut ilmuwan sosial sebagai perkawinan asortatif. Perkawinan asortatif adalah gagasan bahwa orang menikah dengan orang-orang seperti diri mereka sendiri, dengan pendidikan dan potensi pendapatan yang serupa, serta nilai-nilai dan gaya hidup yang menyertai mereka.
Di AS, perkawinan asortatif biasa terjadi pada awal abad ke-20, lalu sempat menurun pada pertengahan abad dan telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Sosiolog University of California, Los Angeles, Robert Mare, menyebut ini sebagai sebuah pola yang secara kasar mencerminkan ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat.
Para peneliti mengatakan, kenaikan perkawinan asortatif terkait erat dengan ketimpangan pendapatan. Keduanya meningkat secara bersamaan. ”Orang yang menikah cenderung lebih beruntung, dan di atas itu, orang yang lebih beruntung menikahi orang-orang seperti mereka sendiri. Jadi, orang-orang itu cenderung diuntungkan dua kali lipat,” ujar Schwartz.
Efeknya menjadi lebih jelas pada generasi mendatang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pendapatan dan pendidikan orangtua memiliki efek yang sangat besar pada peluang dan prestasi anak-anak. Sementara anak-anak di AS saat ini lebih cenderung tumbuh di perumahan di mana orangtua mereka lebih mirip satu sama lain penghasilannya daripada yang berbeda.
Meski fakta bahwa pernikahan pasangan yang selevel membuat masyarakat semakin terpisah kelasnya, ajakan Muhadjir malah dinyinyiri daripada ditimbang lebih serius oleh warganet dan para pengamat di Indonesia.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengatakan, implementasi wacana tersebut berpotensi menimbulkan masalah lain di masa depan. Pembangunan keluarga dikhawatirkan tidak sehat karena menggunakan pendekatan materialistis.
”Ada perbedaan nilai dan norma yang dianut dua orang dari kelas sosial yang berbeda. Ini bisa menimbulkan masalah baru. Pendekatan pembangunan keluarga juga jadi materialistis. Padahal, ada pendekatan lain, yakni dengan kesetaraan,” kata Derajad ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Ada perbedaan nilai dan norma yang dianut dua orang dari kelas sosial yang berbeda. Ini bisa menimbulkan masalah baru. Pendekatan pembangunan keluarga juga jadi materialistis. Padahal, ada pendekatan lain, yakni dengan kesetaraan.
Wacana pernikahan lintas kelas sosial dilontarkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy beberapa hari lalu. Ia mengusulkan agar Menteri Agama Fachrul Razi menerbitkan fatwa tersebut. Menurut Muhadjir, pernikahan antara dua orang yang setara berkontribusi melanggengkan kesenjangan sosial.
Privasi
Menurut Derajad, keputusan dua orang untuk menikah dan berkeluarga bersifat privat sehingga tidak bisa diintervensi negara. Adapun wacana pemerintah berpotensi membuat kesenjangan ekonomi di lingkup keluarga melebar. Hal ini dapat berdampak buruk bagi ketahanan suatu keluarga.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mengatakan, pemerintah tidak selayaknya mengatur hak pernikahan. Distribusi kekayaan melalui pernikahan juga tidak menjamin pendapatan masyarakat miskin terangkat.
”Dalam jangka panjang, saya khawatir konflik sosial akibat perbedaan kelas justru membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Jangankan menikah dengan orang miskin, orang kaya menikah dengan kelas menengah saja jarang terjadi. Itu karena ada faktor sosial yang memengaruhi, misalnya gengsi dan tekanan dari pihak keluarga,” ujarnya.
Data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menyatakan, angka perceraian di Indonesia pada 2018 mencapai 419.268 pasangan. Alasan perceraian, antara lain, adalah faktor ekonomi, tidak harmonis, dan adanya pihak ketiga.
Bhima mengatakan, solusi yang harus dihadirkan pemerintah untuk memeratakan kesejahteraan ekonomi adalah memperbaiki kebijakan untuk menekan kemiskinan dalam bentuk bantuan sosial (bansos).
Pemerataan bansos
Ekonom Indef lainnya, Tauhid Ahmad, yang dihubungi terpisah menyatakan, kebijakan bansos diharapkan lebih merata dan tepat sasaran. Hal ini penting untuk mencegah ketimpangan sosial-ekonomi yang lebih besar.
”Keberpihakan pada kelompok masyarakat rendah bukan hanya pendidikan dan kesehatan. Sekarang yang paling penting adalah akses ke pekerjaan ataupun pendapatan yang layak,” ujarnya.
Penelitian lapangan di Maroko, India, dan Indonesia oleh Banarjee dan Duflo menyatakan, ada tiga hal yang tidak boleh luput dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia. Ketiganya adalah pendidikan, layanan kesehatan, dan akses terhadap pangan. Ketiganya merupakan hak asasi setiap orang (Kompas, 28/10/2019).
Adapun data Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penyaluran bansos hingga akhir Juni 2019 mencapai Rp 70,49 triliun. Nilai itu meningkat hingga 56,37 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018, yang hanya sebesar Rp 45,08 triliun.
Data Badan Pusat Statistik menyatakan, jumlah penduduk miskin sampai Maret 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau 9,41 persen total penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta orang. Jumlah itu turun dari jumlah penduduk miskin September 2018 yang sebesar 25,67 juta orang (9,66 persen).
Berdasarkan daerah tempat tinggal, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 136.500 orang, dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019. Sementara itu, di perdesaan, jumlahnya turun sebanyak 393.400 orang, dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019.
Sementara itu, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini adalah sebesar 0,382 pada Maret 2019. Angka itu turun 0,002 poin dibandingkan dengan rasio gini Maret 2018 yang sebesar 0,389. Semakin kecil angka rasio gini hingga mendekati nol, berarti ketimpangan pendapatan semakin kecil dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat.
IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan melalui perolehan pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan hasil pembangunan lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, angka IPM Indonesia sebesar 71,39 atau tumbuh 0,82 persen dibandingkan IPM tahun 2017. Pertumbuhan IPM pada tahun itu didorong peningkatan semua indeks komponen pembentuknya. Indeks standar hidup layak merupakan komponen yang mengalami akselerasi paling tinggi, diikuti indeks pendidikan.
Peningkatan indeks pendidikan utamanya disebabkan oleh capaian indeks rata-rata lama sekolah yang meningkat sebesar 0,47 poin dibandingkan tahun 2017. Hal ini menggambarkan semakin tingginya penduduk 25 tahun ke atas dalam menempuh pendidikan formal.