Pemahaman mengenai tengkes di masyarakat masih kurang. Tengkes masih dipahami sebagai persoalan tubuh pendek semata, bukan kurang gizi kronis.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
Pemerintah terus menggenjot semua pihak untuk bersama menanggulangi persoalan tengkes atau stunting di Indonesia. Bahkan, tengkes menjadi program prioritas yang melibatkan 23 kementerian/ lembaga. Hal ini dilakukan untuk mencapai generasi unggul dalam pembangunan bangsa di masa depan.
Namun, masalah mendasar yang dihadapi kini justru pada pemahaman tengkes yang masih kurang di masyarakat. Sebagian pihak menilai, tengkes hanya persoalan proporsi tubuh yang pendek. Padahal, tengkes harus dipahami sebagai masalah gizi kronis yang bisa berdampak panjang pada perkembangan seseorang.
Pemahaman yang salah ini juga menyebabkan intervensi yang dilakukan untuk mengatasi tengkes menjadi tidak tepat sasaran. Sejumlah kasus tengkes yang ditemukan di lapangan pun penanganannya terlambat.
”Ada gagal paham pada persepsi masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, terhadap stunting. Itu sebabnya, penanganan yang dilakukan justru menjadi sebuah kepanikan, bukan upaya konkret yang menyasar pada persoalan utama,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan, yang juga Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia Pasifik, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Tengkes harus dipahami secara utuh, yakni kondisi ketika seorang anak bertubuh pendek dengan tinggi di bawah dua standar deviasi seperti yang ditunjukkan dalam kurva WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).
Selain itu, anak yang dikatakan tengkes mengalami malnutrisi atau gangguan nutrisi kronis. Sementara anak pendek didefinisikan memiliki tinggi badan di bawah minimal dua standar deviasi yang ditetapkan dari standar nasional.
Aman berpendapat, pemahaman yang salah pada pengertian tengkes menyebabkan upaya penanganan yang dilakukan juga menjadi salah. Beberapa contoh adalah intervensi yang diberikan pada usia anak sekolah.
”Padahal, sudah terlambat jika penanganannya sudah melewati usia dua tahun, apalagi di atas lima tahun. Kesalahpahaman ini yang harus segera diselesaikan,” ucapnya.
Pemerintah berupaya menangani tengkes sejak 2015. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka tengkes tercatat mencapai 37 persen. Artinya, ada 9 juta anak berusia di bawah lima tahun yang mengalami tengkes. Data itu juga menunjukkan, sebanyak 160 kabupaten ataupun kota memiliki rapor merah dalam penanganan tengkes.
Dari upaya yang dilakukan, pemerintah pun mengklaim ada penurunan angka tengkes di Indonesia. Hal itu ditunjukkan melalui hasil survei Status Gizi Balita pada 2019. Dalam laporan itu terlihat persentase tengkes turun menjadi 27 persen.
Pencapaian itu dinilai belum cukup. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi tengkes bisa di bawah 20 persen pada 2024, bahkan diharapkan bisa mencapai 14 persen.
Tidak sesuai
Aman menilai, pencapaian penurunan persentase tengkes yang disampaikan dalam survei Status Gizi Balita 2019 perlu dicermati kembali. Sebab, capaian itu tidak sesuai dengan kualitas bayi lahir.
Riskesdas 2018 menunjukan, proporsi anak usia 0-59 bulan dengan bayi kurang dari 48 sentimeter justru meningkat dari tahun 2013. Pada 2013, prevalensi anak dengan tinggi kurang dari 48 sentimeter 20,2 persen dan meningkat jadi 22,7 persen pada 2018.
”Ini aneh. Stunting membaik, tetapi kualitas bayi lahir justru menurun,” ucapnya.
Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2020, pekan lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memaparkan, tengkes menjadi salah satu isu prioritas di bidang kesehatan yang harus diselesaikan pada periode pemerintahan 2019-2024. Penanganan tengkes pun telah diatur dalam konsep yang lebih komprehensif.
Setidaknya ada dua intervensi yang dilakukan, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik menjadi wewenang Kementerian Kesehatan, seperti promosi dan konseling pemberian makanan bayi, peningkatan layanan kesehatan ibu hamil, serta pemberian suplementasi tablet tambah darah pada ibu hamil dan remaja.
Sementara intervensi sensitif dilakukan oleh lintas kementerian/ lembaga lain untuk memenuhi ketersediaan sumber pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan pengasuhan di tingkat keluarga dan masyarakat.
”Kolaborasi dan koordinasi dari semua lintas sektor sangat menentukan keberhasilan penanganan stunting di Indonesia. Selain antar-kementerian dan lembaga, koordinasi yang baik juga diperlukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata Terawan.
Deteksi dini
Aman menambahkan, intervensi langsung yang juga harus diperhatikan dalam penanganan tengkes dimulai dari awal kelahiran bayi. Sejak lahir, pemantauan kondisi kesehatan bayi harus dilakukan dengan baik dan teliti. Pemantauan itu setidaknya meliputi panjang bayi, berat badan, serta lingkar kepala.
”Ini semua sebenarnya sudah ada dalam buku panduan KIA (kesehatan ibu dan anak). Jika kurva yang tercatat dalam masa tumbuh kembang anak menurun, intervensi harus segera dilakukan. Jadi, peran petugas puskesmas ataupun posyandu sangat penting dalam pemantauan tumbuh kembang anak,” tuturnya.