Inovasi Mencipta Pilot Tempur
TNI AU berhasil memperbaiki ”human centrifuge” yang rusak sejak 2007. ”Kompas” berkesempatan menjajal alat yang berfungsi menyimulasikan gaya gravitasi bagi pilot tempur itu. Setidaknya sampai tekanan 3 G.
TNI AU berhasil memperbaiki ”human centrifuge” yang rusak sejak 2007. ”Kompas” berkesempatan menjajal alat yang berfungsi menyimulasikan gaya gravitasi bagi pilot tempur itu. Setidaknya sampai tekanan 3 G.
Pada Jumat (21/2/2020), Kompas mencoba alat human centrifuge di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa TNI Angkatan Udara. Alat itu adalah wahana untuk menyimulasikan gaya gravitasi atau G-force kepada para pilot tempur TNI AU.
Semua pilot pesawat tempur perlu menjalani pemeriksaan daya tahan terhadap G-force minimal setahun sekali. Dalam pengecekan itu, ia masuk ke dalam alat human centrifuge yang digerakkan secara sentrifugal (melingkar dengan titik pusat tertentu), sampai tubuhnya mengalami tekanan gravitasi yang diinginkan.
Untuk pilot tempur, standar latihannya ialah mengalami 9 G selama 15 detik. Angka 9 G yang berarti sembilan kali gaya gravitasi berarti secara awam pilot seperti harus menanggung beban sebanyak sembilan kali berat badannya searah dengan sumbu tubuh kepala-kaki. Jadi, kalau berat badan pilot 80 kilogram (kg), berarti ia harus menggendong beban 720 kg.
Secara lebih rinci, seluruh bagian tubuhnya akan tertarik ke bawah. Salah satu bagian tubuh yang paling penting adalah darah. Bayangkan, darah dari kepala akan tersedot ke bawah. Dalam kondisi ini, orang yang tidak terlatih bisa dipastikan akan pingsan. Hal itu menjadi risiko menengah. Apabila seorang pilot pesawat tempur pingsan di atas pesawat dengan kecepatan 2.000 kilometer (km) per jam, bisa dibayangkan apa yang terjadi.
Mayor (Pnb) Andri ”Harpy” Setyawan yang merupakan penerbang F-16/pilot penguji mengatakan, kondisi 9 G kerap dialami pilot saat ia melakukan manuver, misalnya berbelok dengan radius kecil, antara 1 dan 2 km.
Berpikir simultan
Untungnya, kemarin, Kompas hanya mengikuti simulasi dengan tekanan maksimal 3 G. Itu pun hanya dalam waktu 4 detik dari total 1,5 menit simulasi. Pengalaman Kompas, pada saat tekanan mulai naik di atas 1 G, gerakan pesawat melesat dengan cepat ke atas. Rasanya seperti naik roller coaster, tetapi dengan gerakan yang lebih mulus karena tidak ada getaran pijakan rel seperti roller coaster. Tubuh terasa tertekan walau telah mengenakan G-suit, baju antigravitasi di bagian kaki. Dalam simulator yang terasa melesat ke atas itu, walau rasanya seru, otak seperti berhenti sejenak. Tangan juga agak sulit diangkat karena lebih berat dari biasanya. Kompas membayangkan situasi yang dihadapi seorang pilot tempur ketika ia, saat berbeban itu, harus mengemudikan pesawat, menjalankan misi, berkoordinasi dengan tim, mengatasi cuaca, menghadapi musuh, dan pulang dengan selamat.
”Susah memang jadi penerbang (pesawat) tempur,” kata Kepala Staf TNI AU Marsekal Yuyu Sutisna.
Mayor Harpy mengatakan, rata-rata manuver yang ia lakukan membuatnya terkena tekanan di atas 6 G. Untuk itu, yang paling penting adalah latihan. Bahkan, seorang penerbang pesawat tempur yang tidak latihan beberapa minggu saja akan gamang ketika harus terbang lagi. Selain itu, ada latihan fisik yang membuat otot-otot pilot bisa dikontraksikan sesaat sebelum bermanuver. Selain itu, pilot juga harus melatih Anti-G Straining Maneuver (AGSM), yaitu gerakan menegangkan leher agar darah tak mengalir ke bawah.
”Pilot tempur harus banyak olahraga anaerobik, latihan lari malah tak boleh terlalu jauh. Tujuannya agar jantung bisa meningkat detaknya sehingga bisa memompa darah lebih cepat ke otak untuk mencegah darah turun dari otak,” kata Harpy.
Saat alat human centrifuge ini diuji coba oleh pilot F-16 Letnan Satu (Pnb) Panji ”Groot” Satrio Dewanto, ia terlihat beberapa kali melakukan AGSM. Yuyu beberapa kali mengajak Panji berbicara lewat radio untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Seorang pilot yang tak tahan mendapatkan 9 G akan secara bertahap mengalami tunnel vision,yaitu penyempitan lapang pandang tepi, lalu penglihatan jadi buram, gelap, dan terakhir pingsan alias G-Lock. ”Yang utama itu latihan karena kemudian pilot punya memori otot, gerakannya sudah otomatis,” kata Panji.
Latihan di human centrifuge adalah keharusan. Sejak tahun 2007, satu-satunya alat human centrifuge yang dimiliki TNI AU rusak. Akibatnya, pilot-pilot tempur TNI AU harus latihan di negara-negara sahabat di Eropa ataupun di Korea Selatan, Singapura, dan Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan masalah karena artinya data paling rahasia, yaitu kemampuan setiap pilot TNI AU dimiliki negara lain.
Inovasi
Yuyu Sutisna ingin melakukan perubahan yang bersifat strategis. Pilot-pilot TNI AU harus bisa berlatih di human centrifuge milik sendiri. Human centrifuge adalah satu dari 47 unit peralatan yang semula rusak, tetapi ternyata bisa diperbaiki sendiri sejak Yuyu menjadi KSAU tahun 2018. Ceritanya, tahun 2018 Yuyu menjalani tes kesehatan rutin di Lakespra dr Saryanto. Ia melihat human centrifuge yang yang dibeli dari Perancis tahun 1998 dalam kondisi rusak. ”Sejak itu perbaikannya dikerjakan, selama 14 bulan dan ternyata bisa,” kata Yuyu.
Mantan penerbang tempur TNI AU ini mengatakan, ia merasa senang bisa memaksimalkan kemampuan sumber daya manusia dalam negeri. Tidak saja TNI AU bisa menghemat anggaran, tetapi juga ada beberapa keuntungan strategis yang diperoleh.
Selain human centrifuge, pesawat tempur F-16 berhasil diperbarui dalam program Enhanced Mid-Life Update (EMLU)-The Falcon Structural Augmentation Rodmap (Falcon STAR) yang dilakukan anggota TNI AU dibantu PT Dirgantara Indonesia. Pemeliharaan berat Boeing 737 juga telah bisa dilakukan di dalam negeri dan menghemat biaya Rp 11 miliar per pesawat untuk satu kali pemeliharaan.
Kerja sama sipil-militer sangat kental dalam proses perbaikan human centrifuge yang dipimpin Komandan Komando Pemeliharaan Materiil TNI AU (Koharmatau) Marsekal Muda Dento Priyono yang melibatkan beberapa depo pemeliharaan dan ahli sipil. Di tahap awal, cukup banyak kendala.
Hal itu, kata Sekretaris Dinas Litbang TNI AU Kolonel Teguh, disebabkan tidak adanya suku cadang, komputer, serta manual yang lengkap. Perusahaan Latecoere tidak lagi memproduksi alat serupa. TNI AU lalu menggandeng Dadang Sastrawan, mantan karyawan PT Dirgantara Indonesia yang memiliki keahlian dalam bidang perangkat lunak penerbangan. Dadang yang pernah sekolah perangkat lunak real-time untuk penerbangan di Perancis lalu merekonstruksi sistem komputer.
”Awalnya tidak ada komputer yang jalan, jadi kita ganti semua dan kita programming ulang, pesan-pesan error dalam bahasa Perancis saya terjemahkan,” kata Dadang.
Sulitnya mencipta pilot pesawat tempur yang andal tidak saja membutuhkan belasan tahun sekolah, ribuan jam latihan, dan ribuan jam kerja. Sayap-sayap Tanah Air itu membutuhkan dukungan seluruh bangsa dalam semua hal, termasuk kebijakan pertahanan dan tersedianya persenjataan serta pesawat tempur yang cukup secara kuantitas dan kualitas. (Edna C Pattisina)