Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berlanjut hingga triwulan I-2020. Kondisi ekonomi akan berbalik arah menuju perbaikan jika kinerja investasi dan konsumsi rumah tangga memberikan daya ungkit besar.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berlanjut hingga triwulan I-2020. Kondisi ekonomi akan berbalik arah menuju perbaikan jika kinerja investasi dan konsumsi rumah tangga memberikan daya ungkit besar.
Perekonomian Indonesia pada triwulan I-2020 berisiko tumbuh di bawah 5 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 sebesar 4,9 persen. Adapun pemerintah optimistis ekonomi tetap tumbuh sekitar 5 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2019, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen secara tahunan.
Angka pertumbuhan ini merupakan yang terendah sejak 2016. Pada triwulan IV-2019, perekonomian RI tumbuh 4,97 persen secara tahunan. Secara berturut-turut, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I, II, dan III tahun 2019 sebesar 5,07 persen, 5,05 persen, dan 5,02 persen secara tahunan.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi pelemahan daya beli masyarakat ditambah wabah Covid-19. Epidemi Covid-19 memengaruhi perekonomian Indonesia melalui pariwisata, perdagangan, dan investasi. Rektor Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko menuturkan, kondisi ekonomi domestik dan global tidak terlalu baik pada awal tahun ini. Tekanan global yang bersumber dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China berdampak ke hampir semua negara berkembang, termasuk Indonesia.
Konsensus global memperkirakan perekonomian China tumbuh 4-5 persen. ”Perekonomian Indonesia akan turut melambat karena ekspor-impor dan investasi terbesar saat ini dari China,” ujar Prasetyantoko saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/2/2020). Laman Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor Indonesia ke China pada 2019 senilai 27,918 miliar dollar AS, sedangkan impor senilai 44,907 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan Indonesia defisit 16,989 miliar dollar AS terhadap China. Prasetyantoko menambahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berbalik arah asalkan kebijakan domestik jangka pendek difokuskan untuk menstimulasi konsumsi. Sementara itu, kebijakan jangka menengah untuk mendorong investasi.
”Permasalahan Indonesia adalah implementasi. Alokasi anggaran mungkin ada, tetapi implementasi terhadap alokasi jadi masalah,” ujarnya. Langkah pemerintah menstimulasi konsumsi dengan mempercepat penyerapan belanja negara dinilai tepat. Namun, percepatan belanja harus benar-benar dilaksanakan hingga ke pemerintah daerah. Jangan sampai penyerapan anggaran di pemerintah pusat tinggi, tetapi mengendap di rekening pemerintah daerah.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga bisa didorong melalui penambahan alokasi anggaran bantuan sosial melalui transfer langsung serta pemberian insentif untuk sektor-sektor penopang ekonomi. Wacana insentif bagi sektor pariwisata perlu segera direalisasikan untuk mengantisipasi dampak wabah Covid-19.
Prasetyantoko menambahkan, pertumbuhan investasi merupakan faktor kunci untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Investasi akan memberikan dampak berganda terhadap peningkatan produksi industri dan pendapatan masyarakat. Maka, proses pemulihan ekonomi bisa lebih cepat. Tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp 900 triliun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, implementasi RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan akan meningkatkan daya tarik investasi. Syaratnya, pemerintah mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, termasuk pihak yang pro dan kontra atas RUU itu. ”Tidak ada yang bisa memastikan kapan kondisi ekonomi akan berbalik arah. RUU disusun untuk bersiap-siap di dalam negeri,” ucapnya.
Tidak mudah
Perlambatan pertumbuhan ekonomi China memengaruhi permintaan ekspor dan produksi industri dalam negeri. Namun, menurut Shinta, upaya mencari alternatif negara asal bahan baku selain China bukan perkara mudah. Jenis barang impor relatif sulit didapat dan harganya lebih mahal. Penjajakan dengan mitra dagang baru juga perlu waktu. ”Alternatif pasar impor bukan solusi utama mendorong produksi industri dalam negeri,” kata Shinta.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi China ke Indonesia masih terus dipantau. Sejauh ini, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi China menyeret turun pertumbuhan ekonomi RI 0,3-0,6 persen. Sejumlah industri menjadi perhatian karena impor dari China relatif tinggi, yaitu industri kosmetik dan farmasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perekonomian perlu stimulus untuk menjaga momentum pertumbuhan. Ada beberapa kebijakan belanja pemerintah untuk mendorong ekonomi, yaitu mempercepat belanja modal dan bantuan sosial serta mendorong kegiatan padat karya melalui transfer ke daerah dan dana desa. (KRN)