Sapu Jagat yang Menentang Alam
Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik karena dinilai meminggirkan aspek lingkungan hidup. Padahal, tren global justru mengarah ke investasi hijau.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dibuat dengan mimpi untuk menarik investasi demi mendorong pembangunan ekonomi. Namun, dengan meminggirkan dimensi sosial dan lingkungan hidup, undang-undang berkonsep sapu jagat ini justru menentang investasi hijau yang menjadi tren global dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah telah berulang kali menyatakan, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dengan konsep omnibus law atau sapu jagat bertujuan untuk mempercepat dan menyederhanakan proses perizinan guna mendukung investasi serta pembangunan. Presiden Joko Widodo menyatakan, izin di tingkat kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten atau kota masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Ada sekitar 42.000 regulasi yang tumpang tindih.
”(Problem) Ini akan kita selesaikan. Insya Allah minggu ini kita akan mengajukan omnibus law ke DPR. Ada 74 undang-undang yang langsung kita mintakan revisi agar semuanya selesai,” kata Presiden (Kompas, 16/1/2020).
Pernyataan ini juga disampaikan Tim Satuan Tugas Omnibus Law Cipta Kerja, saat berkunjung ke Redaksi Kompas, di Jakarta, Kamis (20/2/2020). Satgas yang dipimpin Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menyebutkan, meski tim satgas diisi orang-orang Kadin, subtansi RUU ini berasal dari kementerian dan lembaga terkait, sehingga diharapkan tidak bias kepentingan pengusaha saja.
Baca juga Jangan Abaikan Pembangunan Berkelanjutan
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2020), menyatakan, RUU Cipta Kerja (RUUCK) tak meminggirkan aspek lingkungan hidup, namun sebaliknya akan memberikan kepastian penegakan hukum lingkungan dan menyejahterakan masyarakat.
Namun naskah RUU CK yang telah diserahkan Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari 2020 ini ternyata berbeda dengan pernyataan sejumlah pejabat. Substansinya dikritik karena bias kepentingan pengusaha dengan meminggirkan lingkungan hidup dan sosial, selain juga buruh.
"Agar tidak terjebak pada polemik, silakan lihat pasal-pasalnya. Saya sudah mencermati satu per satu dan memang banyak masalah terkait lingkungan hidup dan kehutanan," kata Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Hartodihardjo.
Analisis yang dilakukan para peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga menemukan sejumlah pasal dalam RUU CK yang dinilai meminggirkan lingkungan hidup. Misalnya, usaha wajib amdal yang semula diatur dengan 9 kriteria di Pasal 23 UU Lingkungan Hidup dijadikan menjadi satu kriteria dengan indikator abstrak. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup karena harus berkompromi dengan aspek lainnya, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
Agar tidak terjebak pada polemik, silakan lihat pasal-pasalnya. Saya sudah mencermati satu per satu dan memang banyak masalah terkait lingkungan hidup dan kehutanan.
Izin lingkungan juga dihilangkan, diganti perizinan berusaha. Hal ini tertera dalam Pasal 23 angka 4 mengenai perubahan Pasal 24 ayat (5) UU LH. Para peneliti ICEL juga menemukan, pengawasan dan pemberian sanksi administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup diamputasi dengan menghapus Pasal 72, 73, 74, 75, serta mengubah Pasal 76 UU LH. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi ketegasan tentang instansi yang bertanggung jawab dalam pengawasan lingkungan hidup.
Dalam hal pelestarian keanekaragaman hayati, menurut catatan ICEL, RUU Cipta Kerja berpeluang mempermudah masuknya produk genetik dan rekayasa genetik dari luar negeri ke wilayah Indonesia. Sebab, Pasal 32 angka 4 UU CK mengubah Pasal 44 UU tentang Hortikultura dengan menghilangkan kewajiban pemenuhan standar mutu, menghilangkan persyaratan pemasukan, dan menghilangkan pengutamaan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri.
Tata ruang
Selain itu, menurut Direktur ICEL Raynaldo Sembiring, banyak pasal dalam RUU ini berpotensi menimbulkan masalah terkait penataan ruang, pertambangan mineral dan batu bara, perkebunan, kehutanan, kelautan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ketenagalistrikan dan keanekaragaman hayati.
Menurut Raynaldo, RUU CK bisa memicu pembelahan antara keinginan untuk menarik investasi atau tetap mengikuti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang bertujuan melindungi NKRI dari kerusakan lingkungan hidup, menjamin kelestarian ekosistem, serta menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Baca juga Aspek Lingkungan Hidup Menjadi Sorotan
Sementara Hariadi menemukan, dalam pasal-pasal RUU CK justru berpotensi memicu ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil hutan. Misalnya, RUUCK mencabut Pasal 27 dan Pasal 29 dalam UU Kehutanan yang mengatur hak perorangan dan koperasi untuk mendapat izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin pemungutan hasil hutan dan hanya memberikannya untuk BUMN, BUMD, dan BUMS.
Melawan tren global
Peneliti Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan, RUU ini merupakan bagian dari kebijakan koridor ekonomi global yang dijadikan sebagai pilihan pembangunan nasional. "Ini melanjutkan kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang dilanjutkan Pemerintahan Joko Widodo. Doktrinnya, ekonomi nasional tidak akan maju tanpa interkoneksi dan integrasi seluruh dimensi ekonomi," katanya.
Masalahnya, menurut Eko, konsep pembangunan ini mengabaikan ketimpangan struktural dan krisis ekologi yang telah terjadi di negeri. Akibatnya, jika RUU CK ini tetap dijalankan, ketimpangan sosial dan krisis ekologi justru berpotensi menguat.
Raynaldo menambahkan, ketika investasi hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, maka kalau terjadi dampak lingkungan atau konflik, biaya itu yang akan menanggung juga pelaku usaha dan pemerintah juga. "Jadi, melindungi lingkungan dan sosial itu juga mengurangi risiko kerugian
Menurut Hariadi, kalau pemerintahan mau membereskan perizinan usaha agar menjadi lebih efsien dan cepat, masalahnya bukan hanya perundangan, tetapi justru di kelembagaan yang korup. "Kajian kami terhadap perizinan model OSS (online single submission) di tiga provinsi, yaitu Kalteng, Kaltim, dan Sumsel tetap lama dan juga masih ada suap. Aturan ketat saja akan terus diakali kalau lembaganya bermasalah, apalagi kalau aturannya dilonggarkan," kata dia.
Hariadi menambahkan, negara pesain seperti Vietnam dan Thailand, juga tidak melonggarkan aspek lingkungan demi mengejar investasi. Bahkan, China yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar saat ini sangat serius memperbaiki kualitas lingkungan hidup mereka.
Misalnya, Beijing yang dulu dikenal sebagai salah satu kota paling kotor udaranya, memutuskan menutup seluruh pembangkit listrik batubaranya sejak Maret 2017. Ibu kota China yang berpenduduk 30 juta jiwa mengganti seluruh kebutuhan energinya, 11,3 juta kilowatt, dengan pembangkit energi ramah lingkungan, seperti gas alam, panel surya, dan angin.
Kebijakan ini merupakan bagian dari kampanye Perdana Menteri China Li Keqiang untuk membuat ”langit kita menjadi biru lagi” (China Daily, 2017). Perubahan ini terjadi karena studi WHO dan Akademi China untuk Perencanaan Lingkungan menemukan bahwa polusi udara di negeri ini menyebabkan antara 350.000 dan 500.000 orang meninggal dini setiap tahun (The Lancet, 2013).
Studi yang dipublikasikan di jurnal Science Advance pada Januari 2020 lalu juga menyebutkan, China secara signifikan berhasil mempebaiki kualitas air permukaan mereka. Masalahnya, perbaikan kualitas lingkungan mereka, di antaranya dengan menutup industri kotor, dan kemudian memindahkannya ke negara lain.
Studi Yu Lei dkk (MIT Press, 2014) menunjukkan, industri semen yang merupakan penyumbang pencemaran udara tertinggi di China, mulai dipindahkan ke negara-negara lain, salah satunya Indonesia. Hingga saat ini, China juga menjadi masih mendukung investasi batu bara di negara lain. Padahal, negara-negara lain, utamanya Eropa sudah menutup investasi kotor, termasuk batu bara.
Hariadi menambahkan, saat ini tren global sebenarnya mengarah pada investasi hijau. "Namun, dengan RUU CK ini pemerintah justru akan menarik investor hitam. Padahal, tren global, investasi justru sangat ketat dengan HAM dan lingkungan," katanya.
Pemerintah Indonesia, dengan dukungan Global Green Growth Institute (GGGI) sebenarnya telah mengeluarkan peta jalan kebijakan, perencanaan, dan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau sejak 2015. Dalam peta jalan ini disebutkan, pertumbuhan ekonomi hijau ditujukan untuk mengurangi kemiskinan serta memastikan inklusi sosial, kelestarian lingkungan dan efisiensi sumber daya.
Namun peta jalan ini agaknya bakal ditabrak dengan undang-undang sapu jagat yang menentang alam ini...