Kegiatan ekstrakurikuler Pramuka semestinya mengasyikkan bagi pembentukan karakter anak. Namun, di Sungai Sempor, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kegiatan kepanduan itu justru berujung getir dan duka.
Oleh
Haris Firdaus/Nino C Anugrahanto
·4 menit baca
Sumarno (76) tidak kuasa menahan tangis memandangi pusara sang cucu, Khoirunnisa Nurcahyani Sukmaningdyah, Sabtu (22/2/2020). Tepat pada hari ulang tahun ke-13 Khoirunnisa, yang seharusnya berlimpah bahagia, ia dan keluarganya mesti berkalang duka. Cucunya itu terseret arus Sungai Sempor saat kegiatan Pramuka, Jumat (21/2), dan ditemukan meninggal. Pada hari kelahirannya, Khoirunnisa dimakamkan tak jauh dari rumahnya di Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman. Isak tangis mengiringi kepergian remaja itu untuk selamanya.
Sumarno mengatakan, pada hari ulang tahun cucunya itu, anggota keluarga besarnya berencana berkumpul dan membuat perayaan sederhana. ”Hari ini, Khoirunnisa berulang tahun. Rencananya mau kumpul-kumpul, tetapi malah begini,” ujarnya.
Khoirunnisa adalah salah satu siswa SMPN 1 Turi yang meninggal. Ia hanyut saat berkegiatan susur sungai, Jumat, di Sungai Sempor, Desa Donokerto, Turi. Peserta susur sungai berasal dari kelas VII dan VIII SMPN 1 Turi. Saat kegiatan berlangsung, debit air Sungai Sempor tiba-tiba naik akibat hujan di kawasan hulu. Akibatnya, sejumlah murid terseret arus sungai dan tak terselamatkan.
Dari 249 peserta susur sungai, 239 orang selamat. Sementara hingga Sabtu siang, murid yang meninggal delapan orang. Dua siswa masih dalam pencarian. Korban meninggal semuanya perempuan.
Musibah ini membawa kesedihan bagi keluarga korban. Jelang pemakaman jenazah Khoirunnisa, isak tangis terus terdengar dari rumah duka. Orangtua, kerabat, dan teman-teman Khoirunnisa tak kuasa menyembunyikan kesedihan akibat meninggalnya siswi yang dikenal periang itu.
Ketika memberi sambutan jelang pemakaman, Sumarno tak kuasa memendam kekecewaan. Ia menyinggung penyelenggaraan susur sungai yang digelar saat musim hujan. ”Jika mau mengadakan sesuatu, harus diperhitungkan masak-masak, harus mempertimbangkan keadaan. Saya membayangkan, bagaimana jika 250 anak itu hilang semua,” ucap Sumarno sambil terisak.
Sumarno meminta kasus di SMPN 1 Turi menjadi pelajaran bagi sekolah lain agar peristiwa serupa tak terulang. ”Tolong, mohon perhatian kepada semua sekolah untuk berhati-hati dan mempertimbangkan keadaan supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi. Hal ini menjadi pelajaran yang besar bagi para pendidik,” katanya.
Duka mendalam juga dirasakan Hesti Wartini (52). Putrinya, Yasinta Bunga (13), termasuk siswi yang terseret arus saat mengikuti susur sungai. Hingga Sabtu petang, Yasinta belum ditemukan. Hesti setia menanti di SMPN 1 Turi untuk mendapat kabar kondisi sang anak.
Hesti menuturkan, dirinya sebenarnya sudah mengingatkan agar Yasinta tak ikut susur sungai. Saat itu cuaca di sekitar SMPN 1 Turi sangat mendung. Di kawasan hulu Sungai Sempor sudah turun hujan.
”Anak saya ini enggak bisa renang. Saya ingatkan, cuaca begini, kok, susur sungai, mbok enggak usah ikut. Ia bilang, kalau tak ikut, nanti dimarahi,” ujar Hesti, warga Dusun Dadapan, Desa Wonokerto, Turi.
Menurut Hesti, orangtua murid tak mendapat surat permohonan izin terkait kegiatan itu. Pengumumannya cuma lewat Whatsapp.
Berpegangan pohon
Seorang siswi SMPN 1 Turi, Syifa (13), mengisahkan, dalam susur sungai itu, murid dibagi dalam sejumlah kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 16 siswa dan ditemani dua kakak kelas. ”Cewek satu kelompok sama cewek, yang cowok sekelompok sama cowok,” ujarnya. Ia menambahkan, saat susur sungai, murid disuruh masuk ke sungai, lalu berjalan menyusuri tepian sungai dengan melawan arus. Kegiatan itu dimulai dari wilayah Sungai Sempor yang melintasi Dusun Dukuh, Desa Donokerto, lalu peserta berjalan ke utara atau menuju kawasan hulu. Selama kegiatan berlangsung, murid tak
memakai pelampung atau alat pengaman lain.
Tiba-tiba, saat menyusuri sungai, ada peningkatan debit air sungai. Arus pun menjadi deras sehingga sejumlah murid hanyut terseret arus. ”Tiba-tiba ada banjir gitu. Saya langsung berpegangan di pohon, lalu ditarik kakak kelas. Setelah itu, saya dibawa ke rumah penduduk,” ucap Syifa.
Siswi SMPN 1 Turi lainnya, Rameyza Widya (13), mengatakan, saat kegiatan dimulai, ketinggian air Sungai Sempor hanya sekitar 0,5 meter. Namun, setelah para murid berjalan kaki sekitar 30 menit, ketinggian air meningkat menjadi sekitar 1 meter. ”Saya selamat karena pegangan teman, lalu naik ke tebing,” ujarnya.
Risiko bahaya bisa diantisipasi karena pengelola punya standar dalam penyelenggaraan susur sungai.
Sungai Sempor kerap menjadi lokasi susur sungai atau outbond. Warga sekitar telah membentuk kelompok pengelola. Namun, pengelola outbond Sempor, Dudung Laksono, mengatakan, pihak SMPN 1 Turi tidak berkomunikasi dulu dengan mereka. Jika ada komunikasi, risiko bahaya bisa diantisipasi karena pengelola punya standar dalam penyelenggaraan susur sungai.
Kepala SMPN 1 Turi Tutik Nurdiana mengatakan, susur sungai rutin dilakukan dalam ekstrakurikuler Pramuka di sekolah itu. Namun, ia tak diberi tahu guru pendamping terkait dengan kegiatan itu.
Ketua Kwartir Daerah Pramuka DIY Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi mengatakan, susur sungai harus mempertimbangkan cuaca dan atas izin kepala sekolah.