Dilumat Ombak hingga Tersesat di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi
”Itu di sana so gelap, ayo pulang sudah, sebentar lagi pasti badai,” kata seorang remaja laki-laki yang menemani sang pengemudi kapal cepat yang kami tumpangi pada Oktober 2012. Gelombang tinggi akhirnya melanda kami.
”Itu di sana so gelap, ayo pulang sudah, sebentar lagi pasti badai,” kata remaja laki-laki yang menemani sang pengemudi kapal cepat, yang kami tumpangi berlima pada Minggu, 21 Oktober 2012.
Ketika itu saya bersama wartawan Kompas, Ida Setyorini, dan suaminya, Budi Santoso, fotografer lepas Tiar Ing Mbali, serta Raiyani Muharramah untuk kedua kalinya masuk di ”surga” yang berlokasi di Wayag. Wayag, satu dari ribuan gugusan pulau yang ada di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Saat itu sedang berlangsung Festival Raja Ampat 2012.
Si remaja ini pun beberapa kali mendatangi kami agak ke tengah laut agar segera mengakhiri berbagai aksi luapan kegembiraan dengan berenang, main pasir, dan naik kayak setelah turun dari puncak Wayag. ”Mama, mama, ayo sudah, susah memang nanti kita balek ke Wasai kalau so hujan. Kapal ini tidak ada arti dibandingkan dengan ombak yang bisa sebesar gunung,” katanya kembali memohon kepada kami untuk segera naik ke kapal.
Saat bersamaan, gerimis mulai datang sehingga membuat kami langsung terbirit-birit mencari barang bawaan, tas bersama isinya, sepatu, topi, dan tentu peralatan kerja kamera. Harta pribadi itu kami letakkan sembarangan saja di pinggir pantai setelah mendaki ke puncak Wayag, lalu menikmati laut.
Setelah lengkap, kapal pun langsung melaju beranjak menuju Pantai Waisai Tercinta, yang jika cuaca baik dan laut tenang, perjalanan dengan kapal cepat sekitar 5-6 jam. Badai benar-benar melanda kawasan itu dan semakin mendekati kapal kami.
Baca juga: Boleh ke Raja Ampat asal…
Baru setengah jam perjalanan, gunungan ombak sudah terlihat semakin mendekati posisi kapal. Kapal kami yang berbobot 3 gros ton dan berisi tujuh orang itu mulai terempas ombak setinggi 5 meter. Air pun masuk ke kapal dari segala penjuru, membuat kami basah kuyup. Terjangan air menjadi-jadi karena ketika ombak terus menjulang tinggi, hujan pun seolah tidak mau kalah dan mengguyur deras.
Di tengah empasan ombak dan hujan, beberapa kali mesin kapal terpaksa dimatikan karena kemasukan sampah berupa potongan kayu. Kadang kemasukan plastik atau sampah lain. Saat itu kapal semakin tak bisa dikendalikan dan bergerak mengikuti alunan ombak tinggi.
Sambil terus memegang kendali kemudi, pengemudi hanya berteriak-teriak kepada anak remaja yang berada di belakang untuk terus membuang air yang masuk ke kapal. ”Ayo kuras sudah,” begitu sang pengemudi kapal memberi komando dari depan.
Melihat kapal yang cenderung sudah dikepung ombak, hampir semua wajah kami pucat. Jantung pun kian serasa berhenti berdegup ketika pengemudi kapal yang tengah berjuang mengendalikan kemudi meminta agar semua barang kami segera dibungkus baik-baik dan diletakkan di bagian haluan bawah.
Barang-barang ditempatkan persis di depan kursi nakhoda supaya bebas dari siraman air laut dan hujan. Saya pun memasukkan dompet dalam kantong plastik yang memang sudah disiapkan sejak berangkat dari Surabaya. Kamera saya masukkan saja dalam tas antiair lalu ditumpuk di bawah kemudi itu.
Saat membungkus semua ”aset” itu, saya berucap dalam hati,” jika kami hilang digulung ombak dan lantas disantap sama ikan hiu, semua barang ini tidak akan mengikuti jejak kami. Suatu saat kantong plastik ini akan muncul ke permukaan dan ditemukan”.
Baca juga: Menyusur Jejak Penghuni Awal Nusantara di Misool, Raja Ampat
Hati saya kian ciut karena sebelum berangkat ke Wayag, ada teman yang bercerita bahwa jalur Waisai-Wayag lautnya terkenal sangat dalam. Beberapa kapal berikut penumpangnya tenggelam bersama ombak di jalur menuju ”surga” ini dan umumnya tak pernah ditemukan lagi.
Situasi kami saat itu seolah memasuki sakraktul maut. Segala doa dipanjatkan agar laut tenang kembali dan kami bisa tiba dengan hati gembira di Waisai. Ombak yang menerjang kapal benar-benar tinggi, bahkan sempat mencapai 5 meter, sehingga posisi kapal hendak menanjak bak naik prosotan tetap berlawanan arah.
Tidak hanya ombak tinggi yang ternyata menghajar kami, sesekali gunungan sampah berupa potongan kayu besar-besar terlihat dengan jelas menghantam dinding kapal. Maka, kemiringan kapan pun tidak lagi bisa diantisipasi. Dampaknya, kapal yang disewa Rp 30 juta dengan rute Waisai-Wayag pergi pulang beberapa kali nyaris terbalik. Hampir dua jam kami benar-benar naik roller coaster dalam arti sesungguhnya.
Selepas dua jam pada masa kritis dan seolah tidak punya harapan bisa lolos dari terjangan ombak, secara perlahan laut mulai tenang. Meski hujan belum juga berhenti. Dalam situasi yang benar-benar menakutkan, kami berlima nyaris tidak ada yang bicara.
Sambil berpegangan sekuat-kuatnya pada tiang di kapal, atau apa saja yang bisa dipegang agar tidak terempas, kami cuma saling bertatapan tanpa bicara. Guncangan ombak itu membuat kami secara bergantian terjatuh dalam kapal karena pegangan kurang kuat atau terlalu lelah.
Baca juga: Melancong ke Raja Ampat Jangan Modal Nekat
Ida yang waktu itu bersama Budi, suaminya, mereka memang sedang cuti, dan kami bertiga, saya, Tiur, dan Raiyani, sebenarnya ”menumpang” di kapal itu pun diam seribu bahasa. Ida sempat berujar, ”Duh, Mbak Eta, anakku masih kecil-kecil, kami berdua lagi perginya.”
Saat itu saya tidak merespons perkataan Ida. Saya cuma diam dan diam. Sepanjang pertarungan di tengah ombak itu, tanpa henti saya mendaraskan doa agar laut segera tenang sehingga kami bisa menikmati surganya bumi di Raja Ampat.
Separuh perjalanan lagi menuju Pantai Waisai Tercinta, situasi laut benar-benar tenang, dan kami pun tiba dengan kondisi basah kuyup sekitar pukul 18.00 Wita.
Sebenarnya, sehari sebelumnya saya, Tiar dan Raiyani juga sudah ke Wayag bersama wartawan Kompas, Arbain Rambey. Perjalanan kami ke Wayag merupakan rangkaian dari kegiatan Festival Raja Empat. Ketika bersama rombongan pertama ini, kapal lebih besar berpenumpang delapan orang. Ada dua kapal yang bersama kami ke Wayag.
Begitu kapal mulai berlayar, hati pun senang karena sebentar lagi akan menginjakkan kaki di ”Surga Kecil Jatuh di Bumi” Wayag. Memang kurang lengkap jika sudah menginjakkan kaki di Raja Ampat tanpa meninggalkan jejak di Wayag.
Sejak berangkat dari dermaga di Pantai Waisai Tercinta pukul 08.00 WITA, kapal cepat langsung tancap gas. Mata benar-benar dimanjakan dengan pemandangan yang elok dan air laut jernih sehingga segala penghuni bawah laut, seperti terumbu karang dan ikan, tampak jelas. Betapa indahnya Raja Ampat. Hampir tak ada yang tidak indah di daerah itu. Luar biasa indahnya ciptaan Tuhan.
Ketinggian puncak Wayag dari bibir pantai 150 meter. Ada dua lokasi untuk naik ke puncak Wayag, satu lokasi bisa lewat pinggir pantai, melintasi pasir putih yang berseri, atau lokasi lain yang naik langsung dari kapal. Di Titik ini pendaki harus sigap menangkap kayu, atau karang lalu melompat dari kapal..
Begitu lepas dari Waisai, kapal mulai masuk Pulau Kabui, yang dipenuhi gugusan bukit karst. Kapal kami memang tidak mampir di pulau yang dilalui karena tujuan utama mengejar kesempatan untuk ke Wayag. Waktu di Wayag tidak bisa berlama-lama karena paling lambat pukul 15.00 Wita kapal sudah harus keluar dari wilayah surga itu.
Baca juga: Mengasah Kreativitas, Menjaga Lingkungan
Sebagai surga kecil di bumi, memasuki wilayah Wayag ada ekstra aturan yang harus dipenuhi. Sebelum ke Wayag, pengunjung wajib melapor di pos Conservation International Indonesia (CII). Lokasinya kira-kira dua jam sebelum memasuki Wayag.
Setiap orang yang datang harus mengisi buku tamu dan membayar Rp 250.000 per orang untuk turis lokal dan Rp 500.000 per orang bagi wisatawan mancanegara. Setelah melapor dan membayar, pengunjung akan diberikan pin plastik berdiameter 6 sentimeter berlaku satu tahun. Dana dari pin dipakai untuk konservasi sumber daya alam di Raja Ampat. Raja Ampat berada di jantung pusat segitiga karang dunia atau coral triangle dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia.
Begitu mendapat pin, jangan segera angkat kaki dari pos CII karena beragam ikan, termasuk ikan hiu yang juga sering muncul selama di perjalanan, menari-nari di dermaga. Setelah urusan beres, perjalanan dilanjutkan ke Wayag kecil. Gugusan Wayag ibarat hunian istana laut, bagaikan jamur yang berkembang di atasnya.
Baca juga : Avontur? Ya Raja Ampat!
Wayag dikelilingi pasir putih, air bening dengan gradasi air berwana hijau zamrud hingga sebiru langit. Semakin biru kegelap-gelapan, brarti kedalamannya kian tak terukur. Seram kalau mendengar informasi ini.
Tujuan terakhir adalah Wayag besar. Ketika kami tiba, ada satu kapal pesiar sedang lepas jangkar di tengah laut yang dilengkapi dua helikopter. Dua helikopter itu juga terus berputar-putar di sekitar Wayag dan beberapa penumpangnya berenang, main air di kawasan itu.
Untuk menuju puncak Wayag, kami harus sabar antre paling tidak 30 menit. Karena yang naik ke puncak jumlahnya dibatasi. Aturan main di Wayag tidak boleh lebih dari 10 orang berada di atas. Ini untuk keselamatan pengunjung dan kelestarian fauna. Menikmati pantai landai dengan aneka fauna laut, ikan laut berwarna-warni bisa disaksikan dengan mata telanjang. ”Wayag memang benar-benar surga kecil jatuh di bumi”.
Begitu giliran tiba, kami pun mulai satu demi satu menaiki tebing dengan karang tajam di kemiringan tebing antara 45 hingga 80 derajat. Jalan setapak dengan karang tajam benar-benar menguji ketangguhan selama 45 menit, apalagi suhu udara mencapai 34 derajat celsius. Maka, mandi keringat tak bisa dihindari.
Saat menapaki tebing perlu ekstra hati-hati karena harus mengatur ritme serta bergantian menggunakan ruang untuk yang sedang turun. Celakanya lagi, jika terpeleset, tubuh langsung baku cium dengan karang tajam. Bahkan, ketika berada di puncak, harus benar-benar hati-hati karena jika tergelincir sedikit saja, sudah pasti jatuh dan terbentur dinding karang.
Semua rasa lelah dan putus asa segera sirna begitu kaki menginjak puncak Wayag. Meskipun panas luar biasa, rasanya tak terasa begitu melihat langit biru dan gugusan karst serta degradasi warna laut benar-benar nyata indahnya.
Setelah puas menjelajahi kawasan Wayag, kami pun bergegas kembali ke Waisai. Tampaknya waktu kembali sudah melewati batas, artinya terlalu sore. Saat baru setengah perjalanan pulang, hari sudah gelap. Sepanjang perjalanan tidak ada penerangan yang bisa dijadikan penunjuk arah.
Baca juga: Pertahankan Raja Ampat
Malam mulai menjelang, tetapi hati kami semakin bahagia karena sepanjang perjalanan kami bisa menikmati sunset atau matahari terbenam yang begitu memesona. Malam pun kian larut, tetapi kapal tak juga sampai di Waisai, sementara kami sudah kehilangan jejak kapal yang satu.
Tiba-tiba pengemudi mengatakan bahwa kapal ini dari tadi di situ-situ aja. Artinya, sudah melenceng dari jalurnya dan kami tersesat. Sementara dia tidak dilengkapi kompas, senter, dan sempritan. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIT.
Arbain yang terkenal suka guyon berubah jadi pendiam. Jangankan sinyal, satu titik cahaya saja tak ada yang memancar sinarnya. Memang, rata-rata pengemudi kapal tidak memiliki standar suatu perjalanan. Jalur yang dilalui selama tujuh jam itu hanya berdasarkan pengalaman, tanda-tanda alam, dan perasaan.
Ketika itu saya kebetulan membawa senter kecil untuk dipakai melihat jalan pulang. Kapal selalu terbentur dengan dinding pulau-pulau itu. Hampir tiga jam kapal kami berada dan berputar-putar di antara gugusan pulau-pulau, dari kejauhan terlihat satu titik cahaya. Cahaya itu berasal dari warga setempat yang sedang dalam perjalanan pulang dan menuntun kapal kami sampai di Waisai.
Beriringan dengan kapal itu, kami pun akhirnya tiba di Waisai sekitar pukul 24.00. Begitu kami tiba, hampir semua orang yang ada di sekitar tempat Festival Raja Ampat 2019 sudah berkumpul di Pantai Waisai Tercinta. Wajah mereka tampak ceria begitu melihat kami turun satu demi satu dari kapal.
Kami gembira dapat menikmati keindahan surga kecil jatuh ke bumi, seperti sepotong lagu ”Tanah Papua”.
Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan
Tanah papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan ...
Memang butuh jiwa petualang supaya tidak gentar dengan segala rintangan karena tujuan akhir adalah surga berupa keindahan yang tiada tara.