Kebersihan sistem saluran air atau drainase di kota mencerminkan kepedulian warganya. Kotornya saluran drainase saat ini menggambarkan pengabaian warga terhadap kebersihan lingkungan.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Sejumlah petugas berseragam biru sibuk menyusuri sisi Jalan Kebon Sayur, kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (22/2/2020). Dari sisi jalan itu, sebagian dari mereka masuk menyusuri saluran seraya menyerok kotoran di dalamnya.
Sebagian besar kotoran yang dikeluarkan adalah lumpur. Lumpur di saluran juga bercampur dengan sampah dan berbagai barang lain. Siang itu, seorang petugas turut menyerok sendok dan garpu di antara endapan lumpur.
Maulana (21), petugas itu, bercerita bahwa sendok dan garpu di saluran air permukiman bukan hal aneh. Sepanjang siang hingga sore, para petugas dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta ini juga turut menyerok gelas, sudip, hingga gayung dari dalam saluran tersebut.
”Barang-barang seperti ini biasanya kami ambil. Saat hujan seperti sekarang, misalnya, barang sekecil apa saja bisa turut menyumbat saluran air,” ujarnya.
Kehadiran sampah serta barang-barang tadi seakan menunjukkan selokan yang belum menjadi perhatian warga. Jika memperhatikan sisi sepanjang Jalan Kebon Sayur, sampah di selokan seakan menggantikan tempat sampah yang absen di sana.
Masih di sepanjang jalan tersebut, Kompas sedikitnya menemukan dua warung. Saat diamati, penjual makanan dari kedua warung pun kerap membuang sisa makanan dan air cucian dari dapur ke selokan. Hartini (34), salah satu penjaga warung, mengaku sudah biasa membuang sisa makanan ke selokan.
”Untuk sisa makanan dan air cucian, saya pikir tidak apa-apa dibuang ke selokan. Sebagian sampah juga nanti, kan, mengarah ke kali,” ujar Hartini.
Fenomena selokan seperti di Jalan Kebon Sayur mungkin bukan satu-satunya. Di Jakarta, sampah di selokan seakan menjadi pemandangan lazim yang banyak ditemukan. Kita pun mengingat banjir yang membuka awal tahun 2020, hampir seluruh selokan di Jakarta saat itu meluap hingga turut membawa sampah ke jalan raya dan permukiman.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi, pekan lalu, membenarkan bahwa masalah sampah di selokan kerap diabaikan warga. Menurut dia, sebagian besar sampah yang mengotori selokan dan sungai berasal dari rumah tangga.
”Permasalahan selokan di kota hanyalah soal sumbatan, sering kali penyebabnya adalah sampah. Bahkan, mesin pompa pengendali banjir juga sempat rusak karena sumbatan sampah. Kalau tidak ada sampah di selokan, saya berani jamin 60 persen permasalahan genangan di kota bisa tertangani,” tutur Dudi.
Belum terencana
Pengamat lanskap perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyebutkan, sampah serta berbagai sumbatan lain memperparah sistem drainase Ibu Kota yang belum terencana secara baik. Setidaknya, selama 10 tahun terakhir, belum ada audit seberapa siapnya sistem drainase kota dalam menampung air saat curah hujan tinggi.
Keadaan tersebut juga diperparah dengan minimnya daerah resapan air di kota. Padahal, resapan ini dapat mengurangi aliran air ke sistem drainase saat curah hujan tinggi.
”Permasalahan drainase kota memang pelik. Sudah sistemnya tidak terencana matang, wilayah resapan air untuk mengurangi aliran air saat genangan juga minim. Sudah begitu, warganya kurang teredukasi pula dalam memperlakukan sistem drainase di permukiman,” ucapnya.
Yayat menambahkan, warga pun kurang memahami dampak dari drainase yang tercemar sampah.
Dalam buku Cerdas Olah Sampah (2019) yang diterbitkan Redaksi Trubus, disebutkan bahwa jenis sampah organik berpotensi sangat besar mencemari air dan tanah. Sebagai simulasi, 1 liter sampah organik yang dibuang ke sungai berpotensi mencemari sedikitnya 10.000 liter air sungai.
Sampah organik yang dibuang ke kawasan hilir sungai meningkatkan kandungan kebutuhan oksigen biologis (KOB) dan kebutuhan oksigen kimia (KOK) hingga melebihi ambang batas. Dampaknya, terjadi proses anaerobik pada air di kawasan sungai. Hal ini yang menyebabkan air sungai di Jakarta berwarna abu-abu tua, bahkan hitam, dan berbau menyengat.
Kondisi drainase seperti ini jelas membahayakan kesehatan warga yang hidup di kota. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 menyebutkan, sekitar 12,6 juta penduduk dunia meninggal setiap tahun karena menderita penyakit saat tinggal di lingkungan kumuh. Dari jumlah itu, 3,8 juta adalah penduduk Asia Tenggara.
Presiden Indonesia Solid Waste Association Sri Bebassari menyatakan, warga selama ini belum memperlakukan drainase sebagai bagian dari lingkungan rumah. Di sisi lain, warga juga belum menjadikan faktor kebersihan lingkungan sebagai salah satu investasi dalam hidup yang sehat.
”Banyak orang yang luput soal kebersihan ini. Kalau warga sakit karena lingkungan yang kurang bersih, kan, memengaruhi produktivitas mereka sendiri,” katanya.
Terkait soal ini, Sri menekankan bahwa warga harus benar-benar sadar terhadap dampak dari drainase yang buruk dan tercemar sampah. Ia mengingatkan, hal ini dapat dimulai dengan langkah kecil untuk terbiasa membuang dan memilah sampah mulai dari rumah tangga.
Selain itu, penegakan hukum terhadap warga yang buang sampah sembarangan juga harus dilakukan. Dengan hukum yang tegas, warga akan turut mengikuti sistem yang ada. ”Jadi, selain ditumbuhkan di dalam diri, kesadaran lingkungan ini juga harus dipaksa agar muncul melalui produk hukum,” ucap Sri.
Terlepas dari perencanaan drainase kota yang belum matang, kita sebagai warga kota tetap bertanggung jawab terhadap kebersihan di sekitar tempat tinggal kita. Kita sebagai warga kota punya sedikit andil dalam menjaga kebersihan lingkungan masing-masing.
Pada akhirnya, drainase kota bukan hanya urusan pemerintah, melainkan juga warga yang tinggal di sekitarnya. Jangan sampai keabaian kita membuat lingkungan kota semakin buruk dan pada akhirnya berdampak pada banjir yang menahun.