Kejayaan Legenda Sirkus Indonesia
”The Great 50 Show” pada 14 Desember 2018 hingga 20 Januari 2019 rupanya menjadi pengantar menjelang sang legenda sirkus menutup layar pertunjukannya.
Pertunjukan pada 12 Januari 2020 menjadi salah satu jejak terakhir bisnis Oriental Circus Indonesia, sirkus yang berjaya sejak setengah abad lalu.
Pada akhir pertunjukannya, Oriental Circus Indonesia (OCI) menyuguhkan atraksi akrobat, sekaligus perjalanan cerita, sejarah, sirkus, teater modern, hingga kecanggihan teknologi melalui teknologi drone dan laser. Bedanya, kali ini tak ada lagi atraksi hewan yang biasanya jadi daya tarik utama sirkus.
Menurut Hans Manansang, salah satu pendiri OCI yang juga managing director acara, sejak beberapa tahun terakhir OCI memang mengganti pertunjukan hewan dengan boneka binatang. Selain itu, para pemain yang terlibat pada pertunjukan terakhir merupakan kolaborasi artis sejumlah negara, seperti Mongolia, China, India, dan Jerman.
Gambaran terakhir pertunjukan OCI kontras dengan suatu masa di tahun 1970-an. Riuh manusia duduk di dalam tenda besar sembari terpesona dengan musik yang mengiringi atraksi gajah, beruang, simpanse, harimau. Saat-saat semacam ini adalah hiburan istimewa di masa itu. Gaya kocak manusia badut, sulap, hingga ternganga melihat kelincahan pemain melempar tangkap bola (juggling) atau ketangkasan ayunan tinggi (trapeze) juga menjadi hal yang tidak terlupakan.
Itulah pertunjukan awal sirkus. Bagi sebagian dari kita yang pernah mengalami masa kecil tahun 1970 hingga 1980-an, hampir bisa dipastikan pernah menonton atau mendengar hiburan keluarga ini.
Pertunjukan sirkus memang telah mengalami perjalanan panjang dengan berbagai perubahannya. Pada masa 1970 hingga 1980-an, sirkus terkenal dengan atraksi harimau, singa, gajah, burung, anjing, simpanse, beruang, ataupun kuda.
Sampai kemudian pada awal 1980-an konsep sirkus mulai berubah ketika kelompok Cirque du Soleil Entertainment dari Kanada mulai mengenalkan konsep yang lebih menekankan kreativitas dan seni yang digarap secara multimedia. Konsep ini kemudian menginspirasi berbagai kelompok sirkus di banyak negara.
Gambaran yang sama tentang perjalanan sirkus dikemukakan juga dalam laman circusnow.org. Sirkus, merujuk pada laman tersebut, merupakan sebuah seni serta menjadi sarana untuk menunjukkan keindahan dan ekspresi diri melalui tarian, teater, dan semacamnya.
Sang legenda
Bagaimana dengan perjalanan sirkus di Indonesia? Pembicaraan tentang perjalanan pertunjukan sirkus di Indonesia dapat dipastikan tak bisa lepas dari OCI.
Beginilah cerita legenda sirkus Indonesia. Dengan kru 70-an orang, awalnya OCI mengunjungi setidaknya 15 kota setiap tahun, dengan jumlah penonton 200-1.500 per pertunjukan. Penelusuran dari pemberitaan Kompas dan riset pustaka Tiga Macan Safari (Gramedia Pustaka Utama, 2019) menunjukkan, OCI telah berkelana hampir di semua kota di Indonesia dari Sabang sampai Maluku.
Adalah Hadi Manansang sosok di balik berdirinya OCI. Sebelum tahun 1960-an, Hadi Manansang sebetulnya sudah mempertunjukkan ”sirkus sederhana” berupa mengamen sambil berjualan koyok ramuan dari China di beberapa kota, seperti Jakarta, Bogor, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Kediri, dan Malang. Mengamen itu adalah atraksi salto, lempar trisula (tombak bermata tiga), dan menancapkan sepotong besi ke dadanya sampai melengkung.
Tahun 1963-1964, lelaki yang sejak kecil terpincut pada dunia akrobat itu kemudian mendirikan grup Bintang Akrobat dan Gadis Plastik. Tiga tahun kemudian, 1967, ia membentuk Oriental Show yang kemudian berganti menjadi Oriental Circus Indonesia (1972).
Bintang Akrobat dan Gadis Plastik umumnya menyuguhkan atraksi lempar tangkap bola (juggling), handstand sambil memutar sejumlah ring (cincin besi), dan kemampuan ”melipat-lipat” tubuh. Tahun 1963, dua kelompok ini sudah melakukan show di Malaysia dan Singapura. Pada 1968, Oriental Show tampil pertama kali di Jakarta Fair.
Pada akhir pertunjukannya, OCI menyuguhkan atraksi akrobat, sekaligus perjalanan cerita, sejarah, sirkus, teater modern, hingga kecanggihan teknologi melalui teknologi drone dan laser. Bedanya, kali ini tak ada lagi atraksi hewan yang biasanya jadi daya tarik utama sirkus.
Pertunjukan lain yang juga kerap mengundang decak kagum adalah salto tradisional, flying trapeze (ketangkasan ayunan tinggi), sulap, badut, dan keterampilan sejumlah hewan, seperti gajah dan harimau.
Memasuki tahun 1990 hingga 10 tahun berikutnya boleh dikatakan merupakan periode emas Oriental Circus Indonesia. OCI kerap menjadi bintang tamu di sirkus-sirkus luar negeri, mulai dari China, Inggris, hingga Amerika Serikat.
Pada Maret 2004, rombongan sirkus China, Zi Gong Shi Za Ji Tuan (Perkumpulan Sirkus Kota Zigong), dari Si Chuan, China, tampil di Taman Safari Indonesia, Bogor, Jawa Barat. Rombongan ini show bersama OCI selama setahun, hingga awal 2005.
Sesudahnya, periode gemilang pertunjukan sirkus sontak menghilang. Setelah tidak terdengar gaungnya selama lebih kurang empat tahun, nama OCI kembali terdengar.
Sepanjang Desember 2009 hingga Januari 2010, OCI tampil di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dua tahun berikutnya, yakni 2011-2012, OCI kembali berpentas di Kota Medan, Sumatera Utara, dan Kota Surabaya di Jawa Timur.
Panggung pertunjukan masih terus didirikan OCI tahun 2014-2015. Warga di sejumlah kota di Jawa, seperti Kota Surabaya di Jawa Timur serta Kota Solo dan Semarang di Jawa Tengah, masih menikmati pertunjukan spektakuler OCI. Bahkan, masyarakat di beberapa kota di luar Jawa, seperti Pangkal Pinang di Kepulauan Bangka Belitung dan Kota Balikpapan di Kalimantan Timur, menjadi saksi sisa kejayaan pertunjukan sirkus OCI.
Setahun sesudah itu, OCI masih menunjukkan kiprahnya, tampil dalam tema ”Hanoman The Dreamer” di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Pertunjukan pada tahun 2016 itu melibatkan sekitar 20 pemain Indonesia dan sembilan pemain sirkus asal Eropa.
Kelompok sirkus OCI juga tampil di Bandar Lampung, Cirebon, Padang, Kota Pekanbaru, dan Kota Jambi pada 2017. Tahun 2018, OCI kembali menghibur warga Jakarta di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan.
Pada pertengahan Januari hingga Februari 2018, OCI juga tampil bersama Spectacular Russian Circus dari Rusia yang tampil di Kota Medan. Sementara itu, pada awal November hingga Desember, The Great British Circus yang juga merupakan kelompok sirkus musikal asal Inggris hadir di BSD City, Tangerang.
Menutup layar
Layar pertunjukan sirkus masa kini tak lagi menghibur dengan berbagai atraksi unik hewan, tetapi lebih mengandalkan seni teater dan teknologi modern.
Apa yang ditampilkan OCI di masa kejayaannya merupakan konsep awal pertunjukan sirkus. Sebastian Kann, pengamat sirkus dari Utrecht University, Belanda, pernah mengulas, pada awalnya, sirkus identik dengan berbagai ciri seperti pertunjukan di dalam tenda dengan hiburan akrobat, hewan, dan badut. Konsep ini memang lebih menonjolkan sebuah hiburan yang mempertontonkan keterampilan yang unik atau tak biasa di mata awam.
Sejak 2017, bisnis hiburan dengan konsep pertunjukan hewan dan akrobat memang semakin meredup. Hal ini ditandai dengan berakhirnya kelompok sirkus tertua di dunia, The Ringling Bros.
Begitu juga dengan yang terjadi pada OCI. Menurut Ing Cuan, Supervisor OCI, bisnis ini memang semakin berat. Biaya operasionalnya mencapai ratusan juta rupiah, sementara pemasukan per pertunjukan tak lagi bisa menutup biaya tersebut.
Selain itu, akhir karier sirkus juga terkait oleh banyaknya desakan sejumlah organisasi pada masalah kesejahteraan hewan, terutama yang berstatus dilindungi. Menurut Marison Guciano, Direktur Investigasi Scorpion Wildlife Monitoring Group, para pengelola sirkus pada akhirnya menutup layar pertunjukan binatang setelah tekanan bertubi-tubi.
Tekanan itu berupa tuntutan agar menghentikan tampilan hewan dalam pertunjukan sirkus. Hewan pun kemudian diganti dengan atraksi barongsai atau sirkus yang seutuhnya dimainkan manusia saja.
Lepas dari pro kontranya, sirkus pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hiburan di berbagai belahan dunia pada masanya. Mungkin kini, semua itu cukup dinikmati sebagai bagian dari kenangan panggung hiburan. (LITBANG KOMPAS)