Penghitungan suara dimulai. Dari hasil sementara, diperkirakan sekutu terdekat Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei akan mendapatkan kursi mayoritas. Keberadaan mereka penting bagi kepemimpinan Iran saat ini.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Pada Jumat (21/2/2020), Iran menggelar pemilu parlemen ke-11 sejak Revolusi Iran 1979. Sebanyak 7.148 kandidat memperebutkan 290 kursi parlemen. Pemilu parlemen di Iran merupakan terpenting kedua setelah pemilu presiden.
Para elite politik Iran menganggap pelaksanaan pemilu parlemen dan presiden adalah bagian dari legitimasi keberlangsungan sistem politik Vilayat e-Fakih. Sistem politik Vilayat e-Fakih adalah sebuah konsep sistem politik hasil gagasan Pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Imam Khomeini dan pertama kali diterapkan di dunia politik Muslim Syiah pasca-Revolusi Iran 1979.
Sistem politik Velayat e-Fakih yang sudah berusia 41 tahun kini tengah menghadapi tantangan berat, baik di dalam negeri Iran sendiri maupun terkait dengan pertarungan geopolitik Iran menghadapi lawan-lawannya di kancah regional dan internasional.
Karena itu, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyerukan, rakyat berbondong-bondong memberikan hak suara mereka dalam pemilu parlemen itu. Dalam pemilu parlemen sebelum ini, rata-rata partisipasi rakyat sekitar 60 persen.
Seruan Ali Khamenei itu bertujuan ganda. Pertama, besarnya partisipasi rakyat Iran dalam pemilu menunjukkan bahwa mereka masih loyal terhadap sistem politik Velayat e-Fakih. Kedua, dukungan itu sekaligus ingin menunjukkan gagalnya upaya lawan-lawan politik Iran yang berupaya menggagalkan pelaksanaan pemilu parlemen tersebut.
Guncangan
Iran dalam beberapa tahun terakhir menghadapi guncangan di dalam negeri. Guncangan itu berupa unjuk rasa rakyat. Aksi itu membuat posisi elite penguasa Iran saat ini, yang notabene diisi para mullah, semakin sulit.
Beberapa unjuk rasa yang terjadi antara lain meletus pada Desember 2017 dan Januari 2018. Unjuk rasa yang digalang konsumen dari kalangan milenial itu merupakan protes atas memburuknya situasi ekonomi.
Ada pula aksi unjuk rasa yang digalang kaum bazaari (kaum pengusaha) di sejumlah kota di Iran pada Juni 2018. Ada lagi aksi unjuk rasa besar rakyat Iran pada November 2019 yang dipicu oleh keputusan pemerintah mencabut sebagian subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga BBM naik 50 persen.
Semua aksi unjuk rasa besar di Iran itu dipicu oleh buruknya kondisi ekonomi. Pihak-pihak yang menjadi korban dari situasi itu adalah kaum muda atau generasi milenial Iran.
Persoalan itu membuat hubungan kaum muda dan kaum elite di Iran memburuk. Bagi kaum elite yang sekarang paling ditakuti adalah terjadi boikot besar-besaran dari kaum muda terhadap pemilu parlemen.
Penurunan partisipasi rakyat Iran secara signifikan dalam pemilu parlemen bisa ditafsirkan turunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan negara Iran. Turunnya kepercayaan itu pada akhirnya dianggap ancaman atas masa depan sistem politik Vilayat e-Fakih.
Penurunan partisipasi rakyat Iran secara signifikan dalam pemilu parlemen bisa ditafsirkan turunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan negara Iran.
Situasi itu menjadi kian rumit karena pada saat yang sama, ketika Iran menghadapi kondisi ekonomi sulit di dalam negeri, Iran kembali menghadapi blokade total dari Amerika Serikat menyusul Presiden AS Donald Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan Nuklir Iran 2015 yang dicapai pada era Presiden Barack Obama.
Regional
Di tingkat regional, Iran semakin sengit menghadapi pertarungan geopolitik melawan poros Arab Saudi. Pertarungan itu menyebabkan situasi di kawasan Teluk Persia terus menghangat.
Serangan atas kilang minyak Aramco pada 14 September 2019, rival Teheran menuduh—Iran ada di balik serangan itu, tetapi Iran membantah tuduhan itu— dan kasus tewasnya Komandan Brigade Al Quds dari Garda Revolusi Iran Mayjen Qassem Soleimani di bandara internasional Baghdad oleh serangan udara AS pada Januari 2020 merupakan wujud dari pertarungan sengit geopolitik itu.
Posisi Iran pun kini semakin berat akibat situasi dalam negeri, regional, dan internasional. Bagi elite politik Iran, semua tantangan itu merupakan ancaman terhadap wujud negara Iran yang berbasis pada sistem politik Velayat e-Fakih.
Beratnya posisi Iran menghadapi ancaman dalam negeri, regional, ataupun internasional itu mendorong para elite politik Iran saat ini berusaha mengecilkan, melupakan, atau menguburkan diskursus pertarungan kubu reformis dan konservatif di Iran selama ini.
Hampir dipastikan kubu konservatif Iran memenangi pemilu parlemen akibat posisi negara Iran yang sedang kesulitan menghadapi musuh-musuhnya itu. Sudah menjadi tradisi pada saat negara menghadapi ancaman keamanan cukup berat, kubu konservatif atau kanan yang muncul ke permukaan melawan ancaman itu.
Sudah menjadi tradisi pada saat negara menghadapi ancaman keamanan cukup berat, kubu konservatif atau kanan yang muncul ke permukaa, melawan ancaman itu.
Opini yang coba dibangun secara terus-menerus oleh kalangan elite politik dan agama di Iran saat ini adalah pentingnya rakyat Iran bersatu dan melupakan perpecahan internal agar semua potensi diperuntukkan menghadapi musuh-musuh Iran. Apalagi pada 2020 dan 2021 adalah tahun politik di Iran yang sangat sensitif terjadi perpecahan di lingkungan elite ataupun rakyat.
Pascapemilu parlemen ini, Iran segera menghadapi situasi politik menjelang pemilu presiden yang akan digelar pada 2021. Jabatan periode kedua presiden Iran sekarang, Hassan Rouhani, akan berakhir pada 2021. Rouhani menjabat presiden sejak 2013. Di Iran, jabatan presiden dibatasi hanya dua periode dan per periode hanya empat tahun.
Kekhawatiran
Dikhawatirkan, pascapemilu parlemen ini akan terjadi perpecahan di lingkungan elite, persisnya antara presiden dan parlemen yang kelak terpilih. Presiden Rouhani berasal dari kubu moderat, sedangkan parlemen mendatang diprediksi akan dikuasai kubu konservatif.
Posisi itu akan membuat gerak Presiden Rouhani akan semakin terbatas karena akan dikontrol secara ketat oleh parlemen yang dikuasai kubu konservatif. Atau sebaliknya, Presiden Rouhani akan semakin condong pada kebijakan konservatif untuk menyesuaikan diri dengan parlemen.
Dampaknya, Iran akan mengambil kebijakan lebih keras menghadapi AS dan Barat terkait dengan isu nuklir. Iran pun akan mengambil sikap serupa saat menghadapi poros Arab Saudi terkait isu-isu regional.
Konsekuensinya, ketegangan di kawasan Teluk Persia akan berlanjut, bahkan setiap saat mengalami eskalasi. Di dalam negeri, ketegangan antara elite penguasa dan kaum muda, korban buruknya kondisi ekonomi, juga terus berlanjut.